Someone Pleasure
Someone Pleasure
Genre: Psychological Romance, Mystery, Drama
Rating: 17+
Format: Web novel (bab per bab)
Sinopsis:
Arkan tidak pernah merasa bahagia. Di balik senyuman palsunya dan pencapaian karier yang cemerlang, hidupnya terasa hampa. Namun, segalanya berubah saat ia menerima pesan anonim bertuliskan:
"Aku tahu kamu tidak bahagia. Izinkan aku memberimu pleasure yang tak pernah kamu rasakan. — Someone"
Sejak saat itu, Arkan terlibat dalam serangkaian pertemuan misterius yang membawanya menyusuri lorong-lorong kelam hasrat, trauma masa lalu, dan batas tipis antara cinta dan kehancuran.
Siapa "Someone"? Dan kenapa pleasure yang ditawarkannya terasa begitu adiktif... namun mematikan?
Bab 1: Pesan Pertama
Senin, pukul 22.47 — apartemen Arkan, Jakarta Selatan
Hujan turun deras. Di luar jendela, lampu kota memantul di genangan air seperti serpihan kaca. Arkan baru saja melepaskan dasi dan menyalakan rokok saat notifikasi muncul di layar ponselnya.
[Pesan Anonim]
"Aku tahu kamu tidak bahagia. Izinkan aku memberimu pleasure yang tak pernah kamu rasakan sebelumnya."
Alisnya mengernyit. Tidak ada nama pengirim. Tidak ada nomor. Hanya teks yang terlalu personal untuk diabaikan.
Ia mencoba mengabaikannya. Tapi entah mengapa, jari-jarinya mengetik balasan:
[Arkan]
"Siapa kamu?"
Tidak ada balasan. Tapi dalam hatinya, sesuatu mulai bergerak. Ketertarikan? Rasa takut? Atau... harapan?
Malam itu, Arkan tidak tidur. Dan itu adalah awal dari segalanya.
Bab 2: Seseorang di Balik Layar
Selasa, pukul 03.12 pagi
Arkan masih menatap layar ponselnya. Tidak ada balasan. Hanya pesan tunggal yang terus ia baca ulang seperti mantra:
"Izinkan aku memberimu pleasure yang tak pernah kamu rasakan sebelumnya."
"Pleasure," gumamnya. Kata yang seharusnya berarti kesenangan… tapi terasa seperti ancaman.
Ia mencoba melacak nomor pengirim — tidak terdaftar, tidak bisa dilacak. Bahkan aplikasinya mengidentifikasi pesan itu sebagai "tidak terdeteksi sumbernya". Semakin ia mencoba melupakannya, semakin dalam rasa penasarannya menggerogoti.
Pukul 07.45 — Kantor PT Venzor Digital
Dengan setelan abu-abu dan kopi yang hampir hambar, Arkan menjalani rutinitas: rapat pagi, memeriksa laporan klien, memberi tekanan halus pada tim kreatif. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar ada di sana.
“Ar, lu kenapa dari tadi bengong aja?” tanya Alif, rekan kerja sekaligus teman sejak kuliah.
Arkan hanya mengangkat bahu. “Kurang tidur.”
Alif menatapnya sejenak. “Lu bukan tipe orang yang kurang tidur tanpa alasan. Ada masalah?”
Alih-alih menjawab, Arkan mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan pesan itu. Alif membacanya cepat, lalu mengerutkan dahi. “Creepy. Lu pikir ini prank?”
“Mungkin. Tapi... rasanya enggak.”
“Maksud lu?”
“Gue ngerasa kayak dia tahu gue beneran… kosong.”
Pukul 21.08 — Kembali di apartemen
Hari itu berakhir tanpa kejadian aneh, sampai Arkan kembali ke apartemennya dan menemukan sesuatu yang tidak biasa:
Sebuah amplop putih tergeletak di bawah pintu.
Tangannya gemetar saat membuka isinya. Di dalamnya, hanya ada selembar kertas bertuliskan:
"Pleasure pertama: Kejujuran.
Telanjanglah di depan cermin, dan lihat dirimu apa adanya.
Kirimkan fotonya padaku.
Aku akan tahu kalau kamu berbohong."
Tidak ada tanda tangan. Tidak ada nomor.
Tapi satu hal pasti:
Someone tidak hanya tahu nomor teleponnya. Orang ini tahu di mana dia tinggal.
Bab 3: Instruksi Pertama
Rabu, pukul 01.25 dini hari — Apartemen Arkan
Arkan belum beranjak dari kursinya. Amplop putih itu kini terbuka di pangkuannya. Cahaya dari lampu gantung memantul di cermin besar di seberang ruangan, seakan sengaja mengarahkan pandangannya ke sana.
"Pleasure pertama: Kejujuran."
Kejujuran seperti apa? Ia menatap bayangannya di cermin. Mata lelah, tubuh tegap tapi pucat, wajah yang terlalu sering tersenyum di tempat kerja dan terlalu sering kosong di rumah.
Dan kemudian, kalimat terakhir:
"Aku akan tahu kalau kamu berbohong."
Ia merasa dilihat—bukan hanya oleh mata orang asing, tapi oleh sesuatu yang lebih dalam. Seolah seseorang mengintip bagian dirinya yang selama ini bahkan ia sembunyikan dari diri sendiri.
Arkan berdiri perlahan. Ia menatap bayangannya di cermin besar. Ia menarik napas. Ia melepas satu per satu pakaian yang masih melekat di tubuh. Setelan kerja, kaus, hingga akhirnya... hanya kulit dan kerapuhan.
Tapi bukan ketelanjangan fisik yang menakutinya.
Yang lebih menyeramkan adalah:
Apakah ia benar-benar tahu siapa dirinya saat ia melihat ke cermin itu?
Pukul 01.42
Ia memotret bayangan dirinya di cermin. Tidak erotis. Tidak artistik. Hanya... jujur. Cahaya yang redup, mata yang hampir mati.
Arkan mengetik balasan ke pesan anonim itu, meski tak yakin apakah masih bisa terkirim.
[Arkan]:
Ini aku. Seperti yang kamu minta. Sekarang, siapa kamu sebenarnya?
Beberapa detik... tidak ada jawaban.
Lalu, tiba-tiba, layar ponselnya menyala. Sebuah gambar masuk.
Bukan wajah.
Bukan nama.
Sebuah ruangan dengan cat merah gelap dan kursi di tengahnya.
Dan pesan yang menyertainya:
“Pleasure kedua menunggumu. Kamis malam. Datanglah ke tempat ini.
Aku akan menunjukkan padamu sesuatu yang lebih dari sekadar kejujuran.
Jangan bawa siapa pun. Jangan bicara pada siapa pun.
Jika kau datang... kau akan mulai hidup.”
Arkan membaca ulang kalimat itu. Berkali-kali.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa detak jantungnya bukan karena takut...
...tapi karena ingin tahu rasa hidup yang dijanjikan.
Bab 4: Ruang Merah
Kamis malam, pukul 22.03 — Sebuah gedung tua, Jakarta Barat
Langkah Arkan terhenti di depan pintu besi yang sudah berkarat. Alamat yang dikirimkan Someone mengarah ke bangunan tua tiga lantai yang tampak seperti gudang terbengkalai. Sepi. Tak ada suara. Tak ada tanda-tanda kehidupan.
Di atas pintu, angka “17B” nyaris terhapus.
Arkan menggenggam ponselnya erat. Tidak ada sinyal. Tidak ada internet. Bahkan peta digital pun berhenti memandu sejak lima menit lalu.
Ia berdiri di sana, menimbang. Pergi, atau masuk?
“Jika kau datang... kau akan mulai hidup.”
Ia menelan ludah, lalu mendorong pintu itu perlahan.
Berderit.
Ruangan di dalam gelap, hanya diterangi satu jalur lampu LED merah yang mengarah ke sebuah tangga ke bawah. Seolah memberi petunjuk, atau peringatan.
Arkan menarik napas panjang dan melangkah masuk. Setiap langkahnya menggema. Tangga berakhir di sebuah lorong sempit dengan dinding beton tak bercat. Di ujung lorong, sebuah pintu terbuka sedikit. Dari celahnya, terlihat cahaya merah temaram.
Pukul 22.17 — Ruang Merah
Begitu Arkan mendorong pintu itu, aroma menyengat menyambutnya: campuran parfum mahal, alkohol, dan sesuatu yang... familiar tapi sulit dijelaskan.
Di tengah ruangan, ada kursi kayu tua. Di belakangnya, tirai beludru merah menutupi seluruh dinding.
Dan di samping kursi...
Seseorang berdiri.
Tidak bisa dikenali wajahnya. Ia memakai topeng putih polos, tanpa ekspresi. Posturnya tegap, namun tak mengancam. Ia mengenakan pakaian hitam, sepenuhnya tertutup. Tidak berbicara. Tidak bergerak.
Hanya satu suara terdengar. Suara perempuan — bukan berasal dari orang bertopeng, tapi dari speaker di sudut ruangan.
“Selamat datang, Arkan. Kamu memilih untuk hidup.”
Arkan diam. Jantungnya berdetak cepat, tapi ia tidak berlari.
“Pleasure kedua: Melihat kebenaran di balik kepalsuan.
Duduklah di kursi.
Dan jangan bicara sampai kamu diminta.”
Arkan menatap kursi itu sejenak, lalu duduk. Kursinya dingin. Tidak nyaman.
Lalu tirai di depannya perlahan terbuka. Dan di baliknya…
…layar besar menyala. Menampilkan rekaman.
Dirinya.
Berbicara.
Tersenyum.
Berbohong.
Rekaman demi rekaman ditampilkan — dari kantor, dari rumah, dari restoran tempat ia bertemu mantan kekasih. Semuanya diam-diam direkam.
Ia melihat bagaimana ia memalsukan kebahagiaannya. Bagaimana ia berkata "aku baik-baik saja" padahal hatinya koyak. Bagaimana ia menertawakan lelucon rekan kerja yang tak lucu, memuji hasil rapat yang sebenarnya ia benci.
Dan suara itu kembali berbicara:
“Ini kamu. Versi yang mereka lihat.
Tapi kamu tahu itu palsu.
Sekarang, aku ingin kamu jujur...
Apa kamu membenci mereka?
Atau kamu sebenarnya membenci dirimu sendiri?”
Arkan mulai gemetar. Matanya merah. Ia menatap dirinya sendiri di layar—versi dirinya yang selalu ia tunjukkan ke dunia.
Dan untuk pertama kalinya, ia tak bisa menghindar.
Bab 5: Refleksi
Jumat dini hari, pukul 01.02 — Masih di Ruang Merah
Suasana hening setelah pertanyaan itu dilontarkan:
“Apa kamu membenci mereka?
Atau kamu sebenarnya membenci dirimu sendiri?”
Pertanyaan itu menggantung di udara seperti asap rokok yang tak kunjung hilang.
Arkan menatap lantai. Ia mencoba menjawab dalam hati, tapi jawaban yang muncul tak pernah selesai. Setiap kali ia nyaris mengaku, suara kecil dalam dirinya memotong, mengingkari, menuduh.
Ia tidak tahu.
Atau lebih tepatnya: ia tidak berani tahu.
Seseorang bertopeng bergerak. Perlahan, menghampiri Arkan.
Lalu meletakkan sebuah benda di pangkuannya.
Sebuah cermin kecil. Bulat. Retak.
Di balik pantulan buram itu, Arkan melihat matanya sendiri. Merah. Lelah. Mati.
“Lihat matamu,” kata suara perempuan dari speaker, tenang namun menusuk.
“Apa kamu ingat kapan terakhir kali mereka memancarkan hidup?”
Arkan tidak menjawab.
“Kamu hidup dalam mekanisme. Kamu tertawa, bekerja, berhubungan…
Tapi kamu tidak pernah merasa hadir. Kamu tidak merasa cukup.
Kamu bukan kamu. Kamu adalah versi yang kamu kira dunia inginkan.”
Air mata jatuh tanpa suara.
Bukan karena sedih. Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa terbuka.
Terpapar. Telanjang. Bukan secara tubuh — tapi secara keberadaan.
Pukul 01.28 — Ruangan mulai meredup
Layar perlahan padam. Tirai menutup kembali.
Suara dari speaker kembali terdengar, tapi kali ini… lebih lembut. Seperti bisikan.
“Kamu sudah melewati dua pleasure.
Dan itu baru permulaan.”
“Jika kamu ingin lanjut…
Kirimkan pesan: ‘Saya siap kehilangan semuanya.’
Tapi ingat, Arkan —
Setelah ini, tidak ada jalan pulang.”
Klik.
Speaker mati. Lampu padam. Pintu terbuka perlahan, mengantar Arkan keluar.
Pukul 01.47 — Di luar gedung
Hujan turun rintik. Arkan berdiri sendiri di trotoar. Cermin kecil itu masih di genggamannya. Retaknya seolah mencerminkan pikirannya yang juga mulai… pecah.
Ia membuka ponsel. Layar menyala.
Pesan terakhir dari Someone masih ada di sana.
Jarinya gemetar di atas keyboard.
Saya siap kehilangan semuanya.
Kirim.
Pesan terkirim.
Dan langit malam seolah menjadi lebih gelap dari biasanya.
Bab 6: Kehilangan Pertama
Jumat sore, pukul 17.03 — Kantor PT Venzor Digital
Hari itu dimulai seperti biasa — atau setidaknya, terlihat begitu dari luar. Arkan datang tepat waktu, mengenakan jas biru tua dan parfum favoritnya. Tapi ekspresinya berbeda.
Mata yang kosong. Gerakan yang lambat. Napas yang pendek-pendek.
Seperti tubuh yang berfungsi, tapi tidak berjiwa.
Alif menghampirinya dengan segelas kopi.
“Lu sakit, Ar?” tanyanya, khawatir.
Arkan hanya melirik sekilas, lalu menjawab singkat, “Gue baik.”
Itu bohong.
Dan ia tahu Alif bisa merasakannya.
Pukul 17.28 — Email masuk
Satu email baru muncul di inbox-nya.
Tanpa pengirim. Tanpa subjek.
Hanya satu kalimat di badan email:
"Pleasure ketiga dimulai saat kamu kehilangan hal yang paling kamu anggap aman."
Arkan menahan napas. Ia memandang layar itu lama, sebelum notifikasi baru muncul… bukan di email, melainkan di WhatsApp:
[Alif]
“Bro, lu ngapain barusan? Kenapa gue dapet email pengunduran diri atas nama lu?”
Jantung Arkan seperti diremas.
Ia langsung membuka inbox kembali.
Ada satu email keluar, 5 menit lalu.
Dikirim ke HRD.
Judul: Resign Letter — Arkan V. Ramadhan
Isi lengkap. Formal. Tertulis jelas bahwa ia mengundurkan diri… efektif hari ini.
Bukan ia yang menulisnya. Tapi dari akunnya.
Panik. Bingung. Ketakutan mulai menjalari seluruh tubuhnya.
Ia berdiri. Ingin menjelaskan ke HR, ke atasannya, ke Alif. Tapi belum sempat bergerak — notifikasi lain muncul.
[Someone]:
“Kamu bilang siap kehilangan semuanya.
Jangan menyesal saat itu benar-benar terjadi.”
Pukul 18.02 — Parkiran basement
Arkan memutuskan keluar lebih awal. Pikirannya tak mampu memproses semua ini. Saat berjalan ke mobil, langkahnya goyah. Tapi saat ia sampai di mobil… ia berhenti.
Kacanya pecah. Alarmnya mati.
Dan di dalam… ada sesuatu di kursi pengemudi.
Sebuah foto.
Foto dirinya. Tidur. Di tempat tidurnya. Tadi malam.
Di balik foto itu, tertulis dengan spidol merah:
“Apa kamu masih merasa aman di rumahmu?”
Arkan jatuh terduduk. Kepalanya menunduk, napasnya memburu. Ini bukan permainan.
Ini bukan pleasure.
Ini…
...adalah perampasan. Perlahan. Sistematis. Dalam diam.
Dan entah kenapa — di tengah ketakutan itu, ia merasa detak jantungnya kembali seperti manusia.
Ia hidup. Tapi dengan harga yang belum sepenuhnya ia pahami.
Bab 7: Cinta atau Kepemilikan
Sabtu malam, pukul 20.14 — Kafe tua di bilangan Kemang
Hujan rintik membasahi kaca jendela kafe. Musik jazz pelan terdengar dari pengeras suara, namun tidak cukup untuk menenangkan kekacauan di kepala Arkan.
Ia duduk sendiri di sudut ruangan, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin sejak 30 menit lalu. Ponselnya diam, tak berbunyi. Tapi keheningan itu justru yang paling menakutkan.
Seolah Someone sedang memberi waktu... untuk berpikir.
Atau untuk menyerah.
Pukul 20.19
Pintu kafe terbuka. Seorang perempuan masuk.
Rambut hitam panjang, blouse putih sederhana, celana jeans — tidak mencolok. Tapi Arkan langsung merasa tubuhnya menegang.
Perempuan itu menatap sekeliling... dan melangkah langsung ke arahnya.
“Boleh duduk?” tanyanya tanpa senyum, tanpa basa-basi.
Arkan mengangguk, perlahan.
Perempuan itu duduk. Lalu meletakkan satu benda di atas meja.
Topeng putih polos. Sama persis seperti yang dikenakan Someone di Ruang Merah.
“Namaku Nayra,” katanya, datar.
Arkan menelan ludah. Ia menatap topeng itu, lalu menatap matanya.
“Kamu… Someone?”
Nayra tersenyum tipis. “Aku bagian dari Someone.”
Pukul 20.25
“Apa ini sekte?” tanya Arkan pelan, lebih ke dirinya sendiri.
Nayra tertawa kecil. “Bukan. Kami bukan sekte. Kami bukan organisasi. Kami bahkan bukan kelompok. Kami hanya... potongan-potongan orang yang hancur, lalu membangun ulang diri kami melalui rasa paling jujur: keinginan.”
Arkan menggeleng. “Ini bukan tentang keinginan. Ini manipulasi. Kamu — kalian — mengambil pekerjaanku. Membuatku merasa gila. Dan sekarang kamu duduk di sini... seolah ini semua biasa saja?”
Nayra menyandarkan tubuhnya ke kursi, tenang. “Kami hanya memberi kamu apa yang kamu sendiri minta.”
Arkan terdiam. Bagian dari dirinya tahu itu tidak sepenuhnya salah.
Pukul 20.40
Nayra meraih ponselnya, lalu memperlihatkan satu video. Arkan mengenali tempatnya — kamarnya sendiri.
Rekaman CCTV. Angle yang tak pernah ia pasang.
Dalam video itu, Arkan tertidur di tempat tidur. Dan sesosok perempuan duduk di ujung ranjang, memandangi wajahnya.
Itu Nayra.
“Kenapa kamu lakukan ini?” bisik Arkan.
Nayra menatap langsung ke matanya.
“Karena kamu milik kami sekarang.
Dan seseorang harus mengajarkan kamu…
Perbedaan antara cinta, dan kepemilikan.”
Pukul 21.03
Nayra berdiri. Mengambil topeng putih itu, dan meletakkannya perlahan di pangkuan Arkan.
“Babak selanjutnya dimulai malam ini,” bisiknya.
Ia menunduk, membisikkan kata terakhir sebelum pergi:
“Pleasure keempat: Kendali.
Kau akan belajar… bagaimana rasanya tidak memilikinya.”
Nayra pergi. Meninggalkan Arkan sendiri — bersama topeng, video, dan kesadaran baru:
Ia bukan lagi dirinya yang dulu.
Dan mungkin, itu bukan hal buruk.
Bab 8: Kendali yang Palsu
Minggu, pukul 02.17 dini hari — Apartemen Arkan
Topeng putih itu kini tergantung di dinding kamarnya. Sejak Nayra meninggalkannya semalam, Arkan belum bisa tidur. Ia duduk diam, menatap layar laptop yang kosong, sesekali melirik cermin kecil retak yang masih ia simpan di laci.
"Pleasure keempat: Kendali."
Kendali apa? Ia bahkan sudah kehilangan pekerjaan, rasa aman, bahkan definisi tentang dirinya sendiri.
Ponselnya bergetar.
[Someone]:
“Hari ini kamu akan diberi pilihan.
Tapi kamu tidak akan diberi tahu mana yang benar.
Dan apapun pilihanmu — kamu akan kehilangan sesuatu.”
Arkan memandang pesan itu lama, sebelum balas:
[Arkan]:
“Apa ini tentang menyiksa atau membebaskan?”
Balasan masuk seketika.
“Itu tergantung dari seberapa kuat kamu mencengkeram ilusi kendali yang kau pikir kamu punya.”
Pukul 08.42 — Kafe kecil di Cipete
Arkan menerima undangan misterius: bertemu dengan seseorang bernama Dina.
Ia tidak tahu siapa itu. Tapi ponselnya — secara misterius — hanya bisa membuka satu aplikasi pagi itu: Peta digital yang langsung menampilkan titik lokasi.
Ia menurut. Lagi-lagi. Seolah kendalinya telah dikikis secara bertahap, diganti dengan rasa penasaran yang menyakitkan.
Pukul 09.11 — Di dalam kafe
Perempuan itu duduk di sana. Rambut pendek, tatapan tegas, tampak seperti profesional. Di mejanya, dua gelas kopi. Ia melambaikan tangan saat Arkan masuk.
“Arkan, ya? Aku Dina.”
Arkan duduk tanpa bicara.
Dina langsung membuka percakapan:
“Aku tahu apa yang terjadi padamu. Aku juga pernah berada di posisimu.
Aku juga pernah ditekan, diuji, dihancurkan, lalu ditawari sesuatu yang terdengar seperti kebebasan — tapi sebenarnya... itu jebakan.”
Arkan menatapnya curiga. “Kamu bagian dari Someone?”
Dina tersenyum miris. “Dulu. Sekarang tidak. Aku keluar.”
Pukul 09.28
Dina menyodorkan satu amplop tertutup. “Ini tawaran dari pihak luar. Opsi kabur. Kamu bisa putus kontak dengan semua ini. Kami bisa bantu kamu hilang, aman, dan mulai dari awal.”
Arkan menatap amplop itu. Tangannya gatal untuk membukanya.
Tapi sebelum ia sempat menyentuh, ponselnya bergetar lagi.
[Someone]:
“Jika kamu ambil amplop itu,
Nayra akan menghilang.
Dan kamu akan hidup — tapi bukan sebagai dirimu.”
Pilihannya jelas. Tapi jawabannya tidak.
Ambil kembali kendali dan pergi?
Atau terjun lebih dalam ke lubang kelinci, dengan risiko kehilangan semuanya... bahkan dirinya sendiri?
Arkan menutup matanya.
Satu detik. Dua. Tiga.
Lalu ia mendorong amplop itu kembali ke arah Dina.
“Aku akan tetap di sini. Aku akan lihat ini sampai habis.”
Dina menatapnya lekat. Lalu mengangguk pelan.
“Kalau begitu, bersiaplah kehilangan hal berikutnya.”
Pukul 10.00 — Pintu apartemen Arkan
Saat ia kembali ke apartemennya, pintu tidak terkunci.
Ia masuk perlahan.
Semua barangnya masih ada.
Kecuali satu.
Cermin kecil retak itu — hilang.
Dan di tempatnya, ada secarik kertas:
"Jika kamu tak lagi bisa melihat dirimu sendiri,
apakah kamu masih bisa menyebut dirimu hidup?"
Bab 9: Mereka yang Menonton
Senin dini hari, pukul 03.26 — Apartemen Arkan
Ia terbangun karena suara… tepuk tangan.
Pelan. Teratur. Tepat di luar pintu apartemennya.
Arkan duduk perlahan, jantungnya berdetak kencang. Ruangan gelap. Ia meraih senter kecil dari laci dan berjalan menuju pintu depan.
Saat ia membuka pintu…
Tidak ada siapa-siapa.
Tapi di lantai, seseorang meninggalkan proyektor portabel, sudah menyala otomatis. Cahayanya diarahkan ke dinding lorong.
Satu pesan besar ditampilkan di sana:
“Pleasure kelima: Eksistensi
Dunia melihatmu, Arkan.
Pertanyaannya:
Apa kamu sadar selama ini kamu ditonton?”
Pukul 03.41 — Di dalam apartemen
Proyektor itu kini menyala di ruang tengah. Menayangkan sesuatu yang jauh lebih mengganggu dari film atau rekaman CCTV.
Ini live stream — dari berbagai sudut ruangan apartemennya.
Kamar mandi. Dapur. Kamar tidur.
Bahkan di dalam lemari pakaiannya.
Ada puluhan kamera tersembunyi — yang tak pernah ia sadari. Semuanya menyiarkan langsung ke situs yang hanya bisa dibuka lewat satu alamat IP: milik Someone.
Ia bukan hanya diawasi. Ia disaksikan.
Pukul 04.00
Ponselnya menyala lagi.
[Someone]:
“Ada 7.324 penonton aktif menunggumu bangun pagi ini.
Mereka tahu cara kamu menggosok gigi.
Mereka tahu lagu apa yang kamu dengarkan saat mandi.
Mereka tahu kamu menangis minggu lalu saat memeluk baju peninggalan ibumu.”
Arkan melempar ponselnya ke lantai. Tapi itu tidak memberi rasa lega. Karena kemudian…
Suara itu datang. Dari speaker proyektor.
Tapi kali ini bukan rekaman.
Ini suara Nayra. Langsung.
“Eksistensimu adalah hiburan.
Tapi hanya karena kamu ditonton,
bukan berarti kamu hidup.”
“Buktikan. Hari ini, kamu akan melakukan sesuatu yang hanya dilakukan manusia bebas.”
Pukul 05.15 — Di luar apartemen
Arkan keluar. Proyektor, ponsel, kamera tersembunyi — semua ia tinggalkan.
Nayra mengirimkan satu lokasi, dan satu instruksi:
“Bicara dengan orang asing.
Katakan kebenaran yang paling kamu sembunyikan.
Jika kamu gagal… rekaman hidupmu akan dibuka ke publik.”
Pukul 06.02 — Taman kota
Ia duduk di bangku taman. Hanya ada satu orang di sana:
Seorang pria tua yang memberi makan burung.
Arkan mendekat. Gugup. Tapi terdorong.
“Pak, boleh saya duduk?”
Pria itu mengangguk. Tidak menoleh.
Arkan menatap tangannya, lalu berkata, lirih:
“Saya bohong pada semua orang.
Saya bilang saya baik-baik saja.
Tapi sebenarnya saya kosong.
Saya hidup tanpa percaya saya pantas hidup.”
Pria itu menoleh perlahan. Menatap Arkan dengan mata yang jernih, tapi lelah.
Lalu ia berkata satu kalimat:
“Bagus. Setidaknya kamu sadar kamu sedang bernapas.”
Pukul 06.13 — Notifikasi masuk
[Someone]:
“Pleasure kelima selesai.
Kali ini, kamu selamat.”
Dan untuk pertama kalinya…
Tidak ada rasa lega.
Hanya keheningan yang anehnya... menenangkan.
Bab 10: Titik Balik
Senin sore, pukul 16.45 — Rooftop gedung apartemen
Arkan berdiri di tepi atap, angin menerpa wajahnya. Kota di bawahnya berkilauan, tapi ia merasa semakin jauh dari dunia yang dulu dikenalnya.
Setelah semua yang terjadi, ia bertanya pada dirinya sendiri:
“Siapa aku sebenarnya?”
Topeng putih, cermin retak, kamera tersembunyi, pesan misterius — semuanya seperti lapisan kulit yang menutupi wajah asli.
Ia menarik napas dalam. Ponselnya bergetar lagi.
[Someone]:
“Kamu telah melewati lima pleasure.
Ini waktunya memilih:
Terus berjuang atau menyerah pada bayang-bayangmu.”
Arkan menatap langit. Ia tahu jalan ke depan tidak mudah.
Tapi ada satu hal yang pasti.
Ia bukan lagi orang yang sama.
Pukul 17.02
Ia mengirim satu pesan:
“Aku memilih untuk berjuang.
Aku ingin menemukan siapa aku sebenarnya,
tanpa topeng, tanpa ilusi.”
Seketika, ponselnya mati. Layar menjadi gelap.
Tapi untuk pertama kalinya dalam minggu-minggu ini, Arkan merasa… bebas.
Epiloq
Beberapa menit kemudian, di sebuah ruangan gelap, layar monitor menampilkan kata-kata yang sama:
“Pleasure keenam sedang menunggu.
Tapi ini bukan tentang kehilangan.
Ini tentang menemukan.”
Dan suara baru terdengar, lembut namun kuat:
“Arkan, siapkah kamu bertemu dirimu yang sebenarnya?”
Komentar
Posting Komentar