Terjerat Cinta Tuan Arzeta
Terjerat Cinta Tuan Arzeta
🧡 Judul: "Terjerat Cinta Tuan Arzeta"
Genre: Romance, Drama, Psychological, 21+
Gaya: Gaya naratif intens dan emosional dengan alur lambat tapi penuh kejutan. Cocok untuk pembaca dewasa yang suka konflik batin, cinta terlarang, dan plot twist kelam.
📖 Sinopsis:
Ayla, seorang perempuan biasa dari desa kecil, terjebak dalam kontrak kerja sebagai asisten pribadi Arzeta Mahendra—seorang pria tampan, misterius, dan sangat dominan yang tinggal di villa mewah di tepi danau. Ternyata Arzeta bukan hanya pengusaha sukses, tetapi juga menyimpan rahasia masa lalu yang kelam dan tak pernah membuka hatinya untuk siapa pun.
Namun ketika Ayla mulai menyentuh sisi rapuh dalam dirinya, Arzeta justru mulai terobsesi. Ia tak ingin kehilangan Ayla, bahkan jika itu berarti mengurungnya dalam dunia yang ia ciptakan sendiri.
Di antara hasrat dan trauma, Ayla harus memilih: bertahan dalam cinta yang membelenggu, atau melawan takdir yang nyaris menelannya bulat-bulat.
Bab 1: Villa di Tepi Danau
Langit sore itu muram. Awan menggumpal kelabu seolah menandai bahwa ini bukan perjalanan biasa. Ayla menatap keluar jendela mobil tua yang mengantarnya. Pohon-pohon pinus berdiri sunyi di sepanjang jalan menanjak, dan udara mulai dingin meski belum masuk musim hujan.
“Villa Arzeta, ya? Sebentar lagi sampai, Nona,” kata sopir paruh baya yang menyetir tanpa banyak bicara sejak awal.
Ayla mengangguk. Tangan mungilnya menggenggam erat surat kontrak kerja yang baru saja ia tanda tangani seminggu lalu. Asisten pribadi untuk Tuan Arzeta Mahendra—posisi bergaji tinggi, fasilitas lengkap, tapi dengan satu syarat: tinggal di kediamannya selama kontrak berlangsung.
Syarat itu terdengar mencurigakan. Tapi Ayla tidak dalam posisi untuk banyak memilih.
Ibunya sakit, adiknya butuh biaya sekolah, dan dia baru saja keluar dari tempat kerja sebelumnya karena... hal yang tak ingin dia kenang.
Mobil berhenti di depan gerbang besi hitam setinggi hampir dua meter. Kamera CCTV mengarah tepat ke wajahnya. Beberapa detik kemudian, gerbang terbuka perlahan. Mereka masuk ke dalam halaman villa yang luasnya nyaris seperti lahan perkemahan.
Dan di sanalah, berdiri sebuah bangunan modern dua lantai bergaya Skandinavia, berdinding kaca dan kayu gelap, dengan danau biru kelam terhampar di belakangnya.
"Selamat datang di Villa Mahendra," kata pria bersetelan hitam yang berdiri di ambang pintu. Suaranya datar dan nadanya kaku. Seorang pelayan, pikir Ayla.
Tapi ketika Ayla menuruni mobil, langkah kakinya terhenti saat matanya menangkap sosok pria tinggi yang berdiri di balkon lantai dua.
Ia mengenakan kemeja hitam, lengan digulung, dan mata tajamnya menatap lurus ke arahnya.
Dingin. Seperti menelanjangi isi pikirannya.
Itukah dia? Arzeta Mahendra?
Tatapan itu membuat punggung Ayla merinding. Bukan karena takut, tapi… entah. Ada sesuatu dalam mata pria itu. Sesuatu yang membuat jantungnya berdetak terlalu cepat.
"Naiklah ke atas setelah kamu diberi kamar. Tuan Arzeta ingin bicara denganmu secara pribadi," ucap pelayan itu.
Ayla mengangguk pelan, tapi hatinya gemetar.
Ia bahkan belum sepenuhnya paham… pekerjaan macam apa yang sebenarnya sedang ia masuki.
Bab 2: Wajah di Balik Pintu
Langkah kaki Ayla terasa berat saat menaiki anak tangga menuju lantai dua. Derit anak tangga kayu di bawah sepatunya menambah kecanggungan dalam suasana yang sudah cukup tegang. Dinding kaca di sepanjang lorong memantulkan bayangan dirinya—seorang perempuan muda dengan ransel kecil dan mata penuh kebimbangan.
Sebuah pintu berwarna abu gelap berdiri di ujung lorong. Di depannya, ia melihat tulisan kecil bertuliskan: Office.
“Masuk saja. Dia sedang menunggu,” ucap pelayan yang menuntunnya ke lantai atas, lalu pergi tanpa banyak bicara.
Ayla mengangkat tangannya, mengetuk pelan.
Tok. Tok.
Tak ada jawaban. Ia mencoba sekali lagi, lebih mantap.
“Masuk.”
Satu kata itu terdengar dari balik pintu, dalam suara berat, rendah, dan dalam. Menyusup seperti bisikan ke dalam relung dada.
Ayla membuka pintu perlahan. Ruangan itu luas dan minimalis, dindingnya berlapis kayu gelap, dengan rak buku menjulang di sisi kiri dan meja kerja besar dari marmer hitam di tengahnya. Cahaya matahari sore masuk samar-samar dari jendela lebar di belakang meja.
Dan di sana, duduk seorang pria.
Tuan Arzeta Mahendra.
Dia lebih muda dari yang Ayla bayangkan. Mungkin awal tiga puluhan. Wajahnya tenang namun kaku, seolah semua ekspresi telah dipelajari dan disembunyikan rapi. Rahangnya tegas, alisnya tajam, dan mata itu… lagi-lagi menatapnya seperti membaca halaman pertama sebuah buku.
“Duduklah,” katanya, tanpa senyum.
Ayla duduk perlahan di kursi depan meja. Ia menunduk sesaat, menyembunyikan kegugupan.
“Nama lengkap?”
“Ayla Fadhlina, Tuan.”
“Usia?”
“Dua puluh tiga.”
“Mantan pekerjaan?”
“Staf administrasi di sebuah klinik. Saya juga pernah menjadi guru privat untuk anak-anak difabel.”
Dia mengangguk pelan, matanya masih meneliti Ayla seakan mencoba menemukan celah.
“Aku sudah membaca CV-mu. Kamu terlihat... terlalu jujur.”
Ayla terdiam.
“Dan itu biasanya berbahaya,” lanjut Arzeta, kini berdiri dari kursinya dan berjalan perlahan mendekat. Ia bersandar pada meja, hanya beberapa langkah dari Ayla. “Tapi aku tidak sedang mencari orang sempurna. Aku mencari seseorang yang bisa diam, bertahan, dan... setia.”
Nada suaranya tidak menggoda, tapi ada tekanan aneh di sana. Seolah sedang menguji, atau... memperingatkan?
“Aku hanya ingin bekerja, Tuan. Tidak lebih.”
“Bagus,” katanya, masih menatapnya tanpa berkedip. “Mulai besok pagi, kamu akan mengatur seluruh jadwal pribadiku. Dan kamu tidak diperbolehkan meninggalkan villa tanpa izin dariku.”
Ayla mengerutkan kening. “Maaf? Maksud Anda saya tidak boleh keluar—?”
“Tidak ada tamu. Tidak ada telepon luar. Tidak ada ruang untuk urusan pribadi. Selama kamu di bawah atap ini, kamu milikku.”
Dada Ayla sesak.
Pria ini... bukan sekadar kaya dan dingin. Dia mengatur setiap detail. Termasuk kebebasan orang lain.
Arzeta berbalik, kembali ke kursinya, lalu menutup laptopnya.
“Kamu bisa kembali ke kamar. Besok pagi mulai pukul tujuh, kamu harus sudah di ruang kerja. Jangan telat, Ayla.”
Ayla berdiri, membungkuk kecil, lalu berjalan keluar ruangan dengan tangan sedikit gemetar.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia menutup mata sesaat, mencoba bernapas lebih tenang.
Di tempat ini, bayang-bayang tidak hanya datang dari malam hari. Tapi juga dari pria yang menatap seolah memiliki dunia... dan mengurungnya di dalamnya.
Bab 3: Ketukan Tengah Malam
Pukul satu lewat dua belas.
Ayla terjaga.
Meski tubuhnya lelah, pikirannya tetap terjaga, berputar-putar sejak percakapannya dengan Arzeta sore tadi. Kata-katanya terus terngiang di telinga.
“Selama kamu di bawah atap ini, kamu milikku.”
Kamar tempat tinggalnya memang mewah—tempat tidur empuk, kamar mandi dalam, dan balkon dengan pemandangan danau. Tapi ia tidak merasa bebas. Ada suasana aneh, seakan semua dinding memiliki mata.
Ia duduk di ranjang, menatap tirai yang tertutup rapat. Hening. Terlalu hening.
Lalu...
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan dari arah pintu depan kamarnya. Pelan, namun jelas.
Ayla menegang. Siapa yang datang malam-malam begini?
Dengan langkah ragu, ia menuju pintu, menggenggam kenopnya, lalu bertanya pelan, “Siapa?”
Tak ada jawaban.
Ia hendak mundur, ketika suara berat itu terdengar—suara yang sudah mulai ia kenali.
“Buka pintunya, Ayla.”
Itu... Arzeta?
Dengan jantung berdebar, ia membuka sedikit pintunya. Dan di sanalah pria itu, berdiri dengan setelan tidur gelap, rambut sedikit berantakan, tapi mata tetap tajam seperti siang hari.
“Ada apa, Tuan?” tanyanya, mencoba tenang.
“Aku tidak bisa tidur.”
Nada suaranya datar, tapi matanya menatap dalam. “Aku butuh seseorang bicara.”
Ayla terdiam, tak tahu harus merasa tersentuh… atau terancam.
“Saya… apakah saya boleh tahu mengapa saya?”
“Karena kamu belum belajar menolakku.” Senyumnya muncul sekilas, tipis, dingin.
Ia melangkah masuk sebelum Ayla sempat menolak. Berdiri di tengah kamar, menatap sekeliling.
“Ruanganmu terlalu terang,” katanya sambil menarik tirai jendela, membiarkan cahaya bulan menyelinap masuk. “Cahaya bisa membuat orang lupa bahwa malam itu seharusnya gelap.”
Ayla menelan ludah. “Tuan… saya rasa ini tidak pantas. Jika Anda ingin bicara, mungkin besok pagi saat jam kerja—”
“Aku tidak membutuhkan asistensi pagi hari. Aku butuh seseorang yang ada ketika pikiranku mulai kembali ke tempat-tempat lama.”
Ia menoleh, menatap Ayla yang berdiri kaku.
“Maukah kamu duduk di sebelahku?”
Nada suaranya lembut kali ini. Bukan perintah. Bukan ancaman. Tapi luka.
Dan di balik ketakutannya, Ayla melihat sesuatu di mata pria itu—kehampaan. Seperti seseorang yang sudah terlalu lama bicara dengan dirinya sendiri.
Perlahan, ia duduk di kursi dekat jendela. Arzeta duduk di seberangnya, menghela napas.
“Dulu... kamar ini pernah ditempati adikku.”
Ayla menoleh cepat.
“Dia... menghilang. Tanpa jejak. Dan sampai hari ini aku tidak tahu kenapa.”
Ruangan terasa makin dingin. Ayla menggenggam jemarinya.
“Setiap malam seperti ini,” lanjut Arzeta lirih, “aku merasa bayangannya duduk di kursi yang kamu duduki sekarang. Kadang aku rasa dia sedang mendengarkanku.”
Ayla nyaris tak bisa bernapas.
“Tuan Arzeta... saya turut berduka.”
Ia tersenyum tipis. “Jangan sebut aku ‘Tuan’ malam ini. Cukup Arzeta.”
Hening sejenak.
Malam itu, mereka duduk dalam diam. Dua jiwa asing, diikat oleh luka yang belum selesai. Tak ada sentuhan, tak ada rayuan—hanya dua manusia yang terjebak dalam keretakan masa lalu masing-masing.
Tapi Ayla tahu...
Ini bukan sekadar malam sepi.
Ini awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam.
Dan mungkin... berbahaya.
Bab 4: Surat yang Tak Pernah Dikirim
Pagi di Villa Mahendra terasa sunyi, seolah dunia enggan bergerak. Ayla menatap jam dinding—pukul 06.45. Ia sudah rapi sejak tiga puluh menit lalu. Rambut diikat rapi, catatan kecil di tangan, dan wajah berusaha netral meski hatinya masih dihantui malam sebelumnya.
Arzeta.
Datang tengah malam, duduk bersamanya dalam gelap, dan pergi begitu saja tanpa pamit.
Ayla tak tahu apakah ia seharusnya merasa iba… atau mulai takut.
Ruang kerja itu kini sunyi ketika Ayla masuk. Laptopnya sudah menyala, catatan jadwal hari itu sudah ia siapkan. Tapi pria itu belum juga muncul. Biasanya tepat waktu.
Jam dinding berdetik perlahan.
Lalu...
“Sedang mencariku?”
Ayla terlonjak kecil. Arzeta berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan abu tua, wajah segar namun mata tetap menyimpan kabut.
“Selamat pagi, Tuan... maksud saya, Arzeta.”
Ia hanya mengangguk, berjalan melewati Ayla dan duduk di kursinya.
“Bagaimana tidurmu?”
Pertanyaan itu terdengar biasa, tapi tidak dari mulut pria yang tadi malam mengaku sedang dihantui bayangan adiknya sendiri.
“Cukup baik,” jawab Ayla. “Anda?”
“Lebih tenang. Terima kasih sudah mau mendengarkan,” katanya tanpa menatap langsung.
Ayla tersenyum kecil, meski tetap menjaga jarak.
Setelah beberapa jam bekerja, Arzeta berdiri dan berjalan menuju rak buku di sisi ruang. Ia menarik salah satu laci kayu tersembunyi—Ayla baru sadar itu bukan rak biasa. Di dalamnya, tumpukan surat tua. Semua dalam amplop polos, tak beralamat.
Ia mengeluarkan satu, menatapnya lama.
“Ini surat yang tak pernah terkirim,” katanya lirih.
Ayla memiringkan kepala. “Untuk siapa?”
“Untuk adikku, Zelia.”
Ayla diam. Nama itu... baru kali ini disebut dengan jelas.
“Aku menulisnya setiap bulan setelah dia menghilang. Tapi tak pernah punya keberanian untuk mengirimkannya, karena aku tahu... dia tak akan pernah membalas.”
Suara Arzeta serak. Wajahnya menegang.
“Tuan Arzeta… boleh saya tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Zelia?”
Ia menatap Ayla. Kali ini lama. Dalam. Seolah menimbang apakah perempuan itu layak tahu.
“Dia... mencintai pria yang salah. Seseorang yang memanfaatkan lukanya, mengendalikan pikirannya, dan akhirnya... menghancurkannya.”
Ayla menahan napas.
“Aku mencoba melindunginya. Tapi dia memilih pergi. Tanpa jejak. Meninggalkan hanya satu pesan tertulis...”
Ia membuka surat itu. Tinta biru yang mulai pudar.
‘Biarkan aku memilih siapa yang boleh menyakitiku, Kak. Setidaknya aku tahu rasa itu nyata.’
Ayla menutup mulutnya. Kalimat itu... begitu dalam. Tragis.
“Maukah kamu melakukan sesuatu untukku?” tanya Arzeta pelan.
Ayla menoleh.
“Temukan siapa pria itu. Dalam laptop ini ada dokumen rahasia dari penyelidikan lama. Aku tak percaya siapa pun selama ini... tapi kamu berbeda.”
“Kenapa saya?”
Ia mendekat. Hanya beberapa langkah memisahkan keduanya.
“Karena kamu tahu rasanya kehilangan... dan tetap memilih bertahan.”
Napas Ayla tercekat.
Kata-kata itu terasa seperti... pembuka gerbang baru. Antara kepercayaan dan jebakan. Antara kasih dan kendali.
Dan ia tahu…
Mulai saat ini, pekerjaannya bukan hanya sebagai asisten pribadi.
Tapi juga... sebagai saksi dari luka yang bisa saja menelannya bulat-bulat.
Bab 5: Aroma Kenangan di Lorong Selatan
Hari itu hujan turun deras. Kabut tipis menyelimuti danau di belakang villa, dan dedaunan pinus basah menggelantung dalam diam. Ayla duduk di depan laptop Arzeta, membuka folder yang disebut pria itu sebagai “Zelia Confidential.”
Ia hampir tidak percaya diizinkan menyentuh file pribadi milik pria yang bahkan tidak memperbolehkan dirinya keluar rumah tanpa izin.
Folder itu kosong.
Tidak. Bukan kosong—hanya… tersembunyi.
Dengan sedikit trik digital yang pernah ia pelajari saat masih bekerja sebagai staf IT di tempat kerja lama, Ayla membuka layer enkripsi kedua.
Dan di sanalah, puluhan foto, rekaman suara, dan email lama muncul. Beberapa dari Zelia kepada seseorang bernama “R.”
Ayla membaca cepat. Kalimat demi kalimat penuh harapan, tapi juga ratapan.
“Dia bilang cinta itu tak harus disetujui siapa pun. Tapi kenapa aku selalu merasa bersalah?”
“Jika aku menghilang… tolong jangan salahkan dia.”
Ayla menggigit bibir. Siapa dia?
Sore itu, Ayla berjalan melewati lorong belakang villa—tempat yang belum pernah ia lewati sebelumnya. Lorong itu lebih gelap, sepi, dan berakhir di sebuah pintu kayu ganda berwarna putih tua.
Pintu itu tidak terkunci.
Dengan ragu, ia mendorongnya.
Sebuah ruangan luas terbuka. Terang, bersih, dan penuh dengan aroma... lavender. Ayla hampir tak percaya. Ruangan itu seperti kamar tidur seorang perempuan muda. Lengkap dengan rak buku, meja rias, dan boneka kecil di atas ranjang.
Di dindingnya, tergantung satu lukisan berbingkai emas.
Seorang gadis muda, tersenyum samar, dengan mata yang mirip sekali dengan Arzeta.
“Zelia…”
“Jangan sentuh apa pun.”
Suara itu datang dari belakangnya. Pelan, tapi tegas. Ayla berbalik cepat.
Arzeta berdiri di ambang pintu, wajahnya lebih dingin dari biasanya.
“Maaf, saya tidak bermaksud—”
“Ruangan ini tidak untuk siapa pun. Termasuk kamu.”
Ayla mundur pelan. Tapi tatapannya masih terpaku pada foto-foto yang tersusun rapi di rak.
Arzeta masuk, mendekat, lalu berdiri hanya beberapa langkah darinya.
“Setiap inci ruangan ini masih seperti terakhir kali dia tinggalkan. Aku tidak pernah izinkan pelayan masuk. Bahkan debunya pun aku bersihkan sendiri.”
Ada getar di suaranya.
“Kenapa Anda menunjukkan semua ini pada saya?” tanya Ayla perlahan.
Dia menatapnya. Lama.
“Karena aku butuh seseorang yang bisa melihat sisi burukku… dan tidak langsung pergi.”
Hening. Hanya suara hujan di luar yang menyelip masuk lewat celah jendela.
Ayla menatap mata pria itu. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa... nyaris terbakar.
Bukan oleh kemarahan. Tapi oleh kerinduan.
“Apa kamu tahu,” bisik Arzeta pelan, “bahwa dalam cinta... orang bisa berubah menjadi monster, bahkan tanpa sadar?”
Ayla tidak menjawab. Karena sebagian dirinya... mulai percaya itu benar.
Dan sebagian lain—yang lebih dalam—takut bahwa ia sendiri… sedang mulai terjerat perlahan.
Bab 6: Nafas di Antara Dosa
Malam turun perlahan di villa Mahendra. Hujan telah berhenti, meninggalkan aroma tanah basah dan udara yang lebih dingin dari biasanya. Ayla duduk di tempat tidurnya, memandangi folder yang tadi siang ia temukan. Di dalamnya, satu nama terus berulang.
Revan.
Inisial “R.”
Pria yang mungkin terlibat dalam lenyapnya Zelia.
Dan kini... pria yang beberapa kali muncul dalam catatan pencarian Arzeta.
Ayla hendak menutup laptop ketika ketukan itu terdengar lagi.
Tok. Tok. Tok.
Ia sudah tahu siapa di balik pintu itu.
Ketika ia membukanya, pria itu sudah menatapnya—mata yang gelap dan dalam, namun kali ini tidak sekeras malam-malam sebelumnya.
“Bolehkah aku masuk?”
Ayla hanya membuka pintunya sedikit lebih lebar. Arzeta masuk, berjalan pelan ke arah balkon, membiarkan angin malam menerpa wajahnya.
“Ruang Zelia... masih wangi.”
Kalimat itu seperti desahan dalam mimpi buruk.
“Saya... melihat surat-surat itu, Arzeta,” kata Ayla lirih. “Dan nama Revan. Siapa dia?”
Arzeta menoleh. “Lelaki yang kupukul hingga berdarah. Yang katanya mencintai adikku, tapi justru membawa pergi warasnya.”
Ayla menahan napas. “Apakah dia... masih hidup?”
Arzeta mendekat. “Sayangnya, ya. Dan kabar terakhir yang kudengar… dia kembali ke kota ini.”
Seketika, udara terasa lebih berat.
“Jika dia muncul lagi, aku tidak akan sekadar memukulnya.”
Ayla menggeleng pelan. “Kamu tidak bisa menyelesaikan semua luka dengan kemarahan, Arzeta.”
Ia terkesiap ketika pria itu tiba-tiba berdiri hanya beberapa inci dari tubuhnya. Mata mereka bertemu. Nafas mereka bertabrakan.
“Lalu bagaimana caranya, Ayla? Bagaimana cara melawan kehancuran... kalau setiap malam kau masih mendengar namanya dalam mimpi?”
Tangan Arzeta terangkat, nyaris menyentuh wajahnya. Tapi ia berhenti, seolah menyadari dirinya sendiri.
“Kau harus pergi... sebelum aku membuatmu tidak bisa lari.”
Ayla tak bergerak. “Mungkin aku memang tidak datang untuk pergi.”
Seketika, bibir mereka hampir bersentuhan.
Tapi Arzeta memalingkan wajah. Menahan dirinya dengan dentingan ketegangan yang luar biasa.
“Kamu tidak tahu siapa aku, Ayla. Kamu tidak tahu apa yang bisa kulakukan.”
“Kalau begitu... beri tahu aku. Biar aku memutuskan sendiri.”
Hening. Detik terasa seperti menit.
Arzeta mundur satu langkah. Lalu dua. Menahan setiap emosi yang menyesak di dadanya.
“Aku telah menyakiti satu orang yang kucintai... Aku tidak akan mengulanginya.”
Dan sebelum Ayla bisa berkata apa-apa, ia sudah berjalan keluar dari kamar. Meninggalkan pintu terbuka, dan udara dingin menusuk masuk.
Malam itu, Ayla tidak menangis. Tapi dadanya terasa penuh.
Karena untuk pertama kalinya, ia tahu…
Cinta bisa terasa begitu dekat… bahkan ketika belum menyentuh kulit sekali pun.
Bab 7: Luka yang Paling Dalam Adalah yang Paling Tenang
Langit malam tampak tak berujung. Ayla berdiri di balkon kamarnya, memandangi danau yang memantulkan cahaya bulan. Di balik ketenangan air, pikirannya gelisah. Kata-kata Arzeta tadi masih mengganggu:
“Aku telah menyakiti satu orang yang kucintai... Aku tidak akan mengulanginya.”
Tapi benarkah ia tak akan mengulanginya? Atau... sudah dimulai lagi, hanya dalam bentuk yang lebih halus?
Ayla mengusap pelipisnya. Di tangannya, surat terakhir dari Zelia—yang ditemukan terselip di antara tumpukan dokumen tua—masih hangat dari genggamannya.
“Jika aku menghilang, jangan salahkan siapa pun. Ini pilihanku. Tapi... jika kau membaca ini, Kak, berarti aku gagal hidup untuk mencintai dengan tenang.”
Sebuah bunyi pintu dari lantai bawah membuatnya siaga.
Langkah kaki. Cepat. Berat. Lalu... hentakannya berhenti di depan kamarnya.
Ia berbalik. Jantungnya seperti dipukul dari dalam.
Tok. Tok. Tok.
Ia membuka. Arzeta berdiri di sana. Tanpa jas, tanpa ekspresi.
Tapi matanya...
Mata itu tidak bisa berbohong malam ini.
“Ada apa?” tanya Ayla pelan.
“Aku tidak tahan lagi.”
Seketika, pria itu masuk, menutup pintu, dan menarik Ayla ke dalam pelukannya. Tak kasar. Tapi juga bukan lembut. Lebih seperti seseorang yang menggenggam tepi jurang dan akhirnya jatuh... pada satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya.
“Ayla…” bisiknya. “Kau menghancurkan pertahananku.”
Ayla menahan napas. Tubuhnya tegang. Tapi tidak melawan. Karena yang ia rasakan bukan ketakutan… tapi getaran yang selama ini hanya ia temui dalam cerita orang lain.
Ia meletakkan tangannya di dada Arzeta. Merasakan detak jantung yang tak terkendali.
“Kalau kamu ingin aku pergi... aku akan pergi,” bisiknya.
“Tidak,” kata Arzeta pelan, hampir patah. “Aku ingin kamu tetap. Tapi jangan mencintaiku.”
Ayla menatapnya. Mata mereka hanya sejengkal.
“Kenapa?”
“Karena aku akan menghancurkanmu, seperti aku menghancurkan Zelia. Aku terlalu rusak untuk dicintai.”
Dan di saat itu, bibir mereka bertemu. Bukan dalam gairah yang terburu, tapi dalam luka yang saling memeluk.
Ciuman itu dalam, lambat, seolah mereka berusaha mengingat satu sama lain sebelum dunia merusaknya.
Ketika mereka berpisah, napas keduanya berat.
Tapi sebelum Ayla bisa berkata apa pun… Arzeta mundur.
Wajahnya berubah.
Pucat. Tegang. Dan... takut?
“Ada seseorang yang menyusup ke sistem pengaman villa. Aku baru mendapat notifikasinya.”
Ayla menegang. “Siapa?”
Arzeta menatapnya dalam-dalam.
“Revan. Dia sudah di kota ini. Dan dia mencarimu.”
Bab 8: Wajah yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi
Pagi itu, udara di villa terasa lebih berat dari biasanya. Awan mendung menggantung rendah, dan suara burung-burung pinus pun enggan terdengar. Ayla duduk diam di ruang kerja, memeluk tubuhnya sendiri. Tubuhnya masih hangat oleh ciuman semalam, tapi hatinya membeku oleh kalimat terakhir Arzeta:
"Revan mencarimu."
Bukan mencarinya karena Ayla bagian dari Villa Mahendra.
Tapi... karena Ayla adalah bagian dari masa lalu Revan juga.
Pintu terbuka perlahan. Arzeta masuk, wajahnya kaku. Kali ini tak ada senyum, tak ada kelembutan.
“Hari ini kamu tidak bekerja,” ucapnya tanpa basa-basi.
Ayla menatapnya. “Kenapa?”
“Karena dia sudah menghubungi hotline villa. Dengan nama samaran. Tapi aku tahu itu dia.”
“Revan…”
Arzeta mendekat, menatapnya. “Kamu kenal dia?”
Hening. Dada Ayla berdegup kencang.
“Aku... pernah mengenalnya. Waktu SMA. Dia sempat jadi—teman dekatku. Lalu menghilang tiba-tiba.”
“Teman dekat?” ulang Arzeta, suaranya menurun satu oktaf. Tajam. Nyaris beracun.
Ayla menatapnya, mencoba tetap tenang. “Kami tidak pernah pacaran. Tapi dia orang pertama yang membuatku percaya… sebelum akhirnya dia pergi tanpa penjelasan.”
Arzeta menoleh ke jendela, rahangnya mengeras. “Dia melakukan hal yang sama pada Zelia. Mendekati, menyentuh, lalu menghilang. Tapi saat dia kembali… semuanya sudah hancur.”
Siang itu, Ayla duduk di perpustakaan villa. Ia membuka buku-buku lama milik Zelia, mencari potongan cerita yang belum sempat disampaikan. Ia menemukan sebuah catatan kecil, tersembunyi di sela halaman novel klasik.
“Aku tahu dia punya dua wajah. Tapi entah kenapa, aku mencintai keduanya.”
Lalu, selembar foto kecil terjatuh dari dalam buku itu.
Ayla memungutnya… dan tubuhnya membeku.
Itu foto Revan. Bersama Zelia. Di taman kecil yang sangat dikenalnya.
Taman belakang rumah nenek Ayla—yang artinya...
Revan pernah ada dalam hidup Ayla dan Zelia… di waktu yang sama.
Sore hari, pelayan menyampaikan bahwa ada tamu yang menunggu di gerbang depan.
Ayla berjalan ke ruang pemantauan. Kamera CCTV menunjukkan sosok pria berjaket hitam, berdiri dengan senyum tipis dan tatapan tajam ke arah lensa.
Revan.
Masih setampan yang ia ingat. Tapi dengan aura berbeda. Lebih gelap. Lebih sadar akan kekuatannya.
Ia menatap ke kamera dan berbisik—cukup jelas tertangkap mic:
“Ayla… kamu masih mengingat aku, bukan? Karena aku belum pernah lupa.”
Dan di belakang layar, Arzeta menatap tayangan itu dengan rahang mengeras. Tangannya mengepal.
“Jika dia mendekatkan dirinya lagi... aku akan mengakhiri semuanya.”
Bab 9: Kebenaran yang Berdarah
Hujan kembali turun saat malam tiba. Petir menyambar jauh di balik lereng, memantulkan cahaya sesekali ke dinding kaca villa.
Ayla duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk lutut. Ia telah melihat Revan. Meskipun hanya dari layar, sorot matanya masih sama—seolah membawa dunia yang Ayla tinggalkan bertahun-tahun lalu.
Dan sekarang, dua dunia itu bertabrakan di tempat yang sama.
Pukul 21.10.
Pintu ruang kerja dibuka keras. Ayla bergegas turun, dan mendapati Arzeta berdiri di depan pintu utama, mengenakan jas panjang, dan pistol kecil tergantung di pinggangnya.
"Jangan pergi," kata Ayla tegas, berdiri di antara dia dan pintu.
"Dia mengundangku untuk bicara. Di kafe tua di bawah lembah. Sendiri. Apa menurutmu aku akan membiarkannya menyentuh tanah ini lagi?"
"Aku ikut."
Arzeta menatapnya tajam. "Tidak."
"Kau tak bisa menutup semua pintu, Arzeta. Jika ingin kebenaran, aku juga berhak tahu."
Kafe tua, 22.00 WIB
Tempat itu kosong. Hanya satu lampu gantung yang menyala, membuat bayangan menggantung panjang di lantai kayu yang berdebu. Di tengah ruangan, duduklah Revan. Dengan tenang. Dengan senyum yang tidak menua.
Ketika Ayla dan Arzeta masuk, suasana menegang seketika.
"Masih tampan seperti dulu," kata Revan sambil tersenyum kecil ke arah Ayla. "Dan masih setajam belati, ya, Arzeta."
"Apa maumu?" tanya Arzeta datar.
"Menutup cerita yang belum selesai," jawab Revan. "Tentang Zelia. Tentang kenapa dia pergi. Dan tentang Ayla."
Ayla menegang.
"Aku tahu kamu menyalahkanku, Zet," lanjut Revan. "Tapi kamu tak tahu bagian utamanya. Zelia… tidak meninggalkanku. Aku yang meninggalkannya karena dia tahu—dia tahu tentang kami."
“Kami?” ulang Arzeta dengan suara pelan tapi bergetar.
Revan menatap Ayla.
"Ayla dan aku pernah punya cerita. Tapi ketika aku mendekat pada Zelia, aku mulai menyadari... Ayla lebih mirip kamu. Kaku. Tak tersentuh. Dan entah kenapa… aku jadi terobsesi pada yang lebih rapuh."
Ayla menutup mulutnya. Matanya basah.
“Jadi kamu mainkan mereka berdua?” Arzeta menggertakkan gigi.
Revan mengangkat tangan. “Tidak. Aku mencintai Zelia. Tapi ketika dia tahu soal masa lalu antara aku dan Ayla... dia hancur. Dan kamu—kamu, Zet—kamu justru membuatnya lebih buruk. Kamu tak melindunginya. Kamu... mengurungnya.”
“Diam.” Suara Arzeta hampir berbisik.
“Dia ingin keluar dari rumah itu. Dari kamu. Dari semua aturanmu. Tapi kamu terlalu takut kehilangannya.”
Ayla menatap Arzeta—yang kini berdiri dengan tangan gemetar, wajah pucat, dan mata kosong.
Revan melangkah maju. “Kau tidak membunuh Zelia, Arzeta. Tapi kamu membunuh kebebasannya. Sampai akhirnya dia memilih mati dalam diam.”
Plak!
Tamparan Ayla melayang. Tapi bukan ke Revan.
Ke dirinya sendiri.
Karena ia baru sadar…
Selama ini ia mencintai pria yang menyayanginya... dengan cara yang salah.
Di luar, hujan makin deras.
Revan pergi tanpa luka. Tapi meninggalkan retakan.
Ayla berdiri di samping Arzeta. Tak bersuara.
“Jadi kau pernah mencintainya?” tanya Arzeta, pelan, tapi pahit.
“Pernah. Tapi bukan itu yang menyakitiku malam ini.”
“Lalu apa?”
Ayla menatap mata pria itu—mata yang tak lagi dingin, tapi dipenuhi penyesalan.
“Karena aku sadar... aku mulai mencintai seseorang yang tak pernah berhenti menghukum dirinya sendiri.”
Bab 10: Di Ujung Luka, Tumbuh Harapan
Matahari pagi menyelinap lembut lewat jendela kamar Ayla. Suara burung mulai bersahut-sahutan, menandai awal hari baru.
Ayla duduk di tepi ranjang, memandangi secarik kertas yang dipegangnya erat. Surat dari Arzeta, penuh kata-kata yang belum pernah ia dengar langsung darinya.
“Aku tidak pernah tahu bagaimana cara mencintai tanpa rasa sakit. Tapi aku ingin belajar, jika kamu masih mau.”
Detak jantung Ayla berdentang cepat. Ia berdiri, lalu melangkah menuju ruang kerja.
Di sana, Arzeta sudah menunggu. Tatapannya tak lagi dingin, tapi penuh harapan dan ketakutan yang sama-sama nyata.
“Maukah kau mencoba lagi? Bersamaku?” tanyanya lirih.
Ayla tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangan.
“Dengan syarat, kita belajar bersama. Tanpa mengulangi kesalahan yang sama.”
Arzeta menggenggam tangannya erat, seperti menemukan jangkar di tengah badai.
Beberapa bulan kemudian…
Villa di tepi danau itu tidak lagi sunyi. Tawa ringan mengisi ruang, dan aroma kopi pagi menyebar.
Ayla dan Arzeta berjalan berdampingan di taman kecil yang dulu menjadi saksi bisu luka dan rahasia mereka.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Arzeta.
“Lebih tenang,” jawab Ayla. “Karena aku tahu, cinta itu bukan tentang menguasai. Tapi tentang membebaskan.”
Arzeta mengangguk, menggenggam tangan Ayla lebih erat.
“Mungkin aku tak sempurna. Tapi aku berjanji akan terus berusaha. Demi kita.”
Di sana, di bawah langit biru dengan sinar mentari yang hangat, dua jiwa yang dulu terluka menemukan arti baru tentang cinta, pengampunan, dan harapan.
Epilog: Setelah Hujan Berlalu
Dua tahun telah berlalu sejak hari itu, ketika Ayla dan Arzeta memutuskan untuk memulai ulang bersama. Villa di tepi danau tetap menjadi saksi bisu perjalanan mereka, tapi kini bukan hanya cerita luka dan rahasia yang tersimpan di sana.
Pagi itu, Ayla berdiri di balkon, menikmati udara segar. Di tangannya, sebuah buku harian yang sudah penuh dengan catatan harian dan sketsa kecil—hadiah dari Arzeta yang kini belajar melukis sebagai bagian dari terapi jiwa.
Arzeta keluar dari kamar, tersenyum melihat Ayla.
“Kau tahu, aku tidak pernah percaya bahwa luka bisa jadi jalan menuju bahagia,” katanya.
Ayla tersenyum hangat. “Aku juga dulu begitu. Tapi aku belajar, bahwa luka bukan untuk disembunyikan. Tapi untuk dipahami dan diterima.”
Mereka berpegangan tangan, menatap danau yang tenang. Sinar matahari menari di permukaan air, mengingatkan mereka bahwa setelah hujan, selalu ada pelangi.
“Aku masih belajar mencintaimu, Arzeta. Tapi kali ini, aku tahu caranya lebih baik.”
Arzeta mengangguk, menatap Ayla dengan mata penuh cinta.
“Dan aku akan selalu berusaha menjadi pria yang layak untuk cintamu.”
Di ujung perjalanan mereka, bukan kesempurnaan yang ditemukan.
Tapi kehangatan, pengertian, dan harapan yang baru.
Komentar
Posting Komentar