Tuan Muda dan Maid di Kamar 27 (21+)
Tuan Muda dan Maid di Kamar 27
Bab 1: Ketukan di Pintu Kamar 27
POV: Elira (maid)
Aku mengetuk dua kali, pelan, seperti yang diajarkan Ny. Gilda sejak hari pertama aku masuk bekerja di rumah besar keluarga Arvella.
Kamar 27. Lantai atas. Sayap timur.
Tempat yang katanya tak boleh sembarang dimasuki kecuali diminta langsung. Dan hari ini... aku dipanggil.
Senyap. Tapi aku tahu dia ada di dalam. Bayangan tubuhnya sempat kulihat dari celah tirai jendela tinggi tadi saat membawa nampan sarapan. Jantungku berdetak lebih cepat—entah karena udara dingin di lereng kota Arvella yang menyusup dari balik balkon terbuka, atau karena dia. Tuan muda itu.
“Masuk.”
Suara itu rendah. Dalam. Tidak terdengar seperti perintah, tapi juga tak bisa ditolak.
Aku memutar kenop pintu perlahan. Aroma kamar itu langsung menyergapku—maskulin, pahit manis, seperti kayu hangus dan vanila. Lampu gantung tidak menyala, hanya cahaya dari jendela besar yang menerobos masuk, menyorot sebagian tubuhnya yang duduk di pinggir ranjang.
Kemeja putihnya tak dikancingkan penuh, menyisakan leher jenjang dan dada bidang yang dibalut kulit pucat. Rambutnya basah, tetesan air masih menuruni lehernya.
Dia menatapku. Lama.
“Aku butuh kau bersihkan luka di punggungku,” ucapnya akhirnya, sambil berbalik perlahan. Ada guratan memanjang di sana, merah kehitaman, baru.
Aku membeku. “Apa... Tuan ingin saya panggil dokter?”
“Tidak. Aku hanya ingin kau.”
POV: Adrian (Tuan Muda)
Dia terlihat gugup. Tangan kecilnya gemetar saat mengambil kapas dan antiseptik dari kotak pertolongan pertama di lemari kecil dekat ranjang. Aku menyukainya begitu. Kecanggungannya—tulus dan tak dibuat-buat. Bukan seperti para wanita yang biasanya datang ke rumah ini, yang tahu cara bermain peran dengan sempurna.
Namanya Elira, jika aku tidak salah dengar dari percakapan antar-maid di dapur. Baru dua minggu bekerja. Latar belakang bersih, sedikit terlalu lurus untuk selera keluarga Arvella. Tapi itulah yang membuatnya menarik.
“Apa kau takut padaku?” tanyaku, tanpa menoleh. Aku bisa merasakan dia berhenti sejenak.
“Saya... tidak tahu, Tuan.”
Jujur. Sangat jujur. Dan polos.
“Aku tidak akan menyakitimu, Elira,” kataku pelan, “kecuali kau ingin disakiti.”
Kutarik napas panjang, merasakan jemarinya yang mulai menyentuh kulit punggungku, pelan, hati-hati, tapi terlalu intim. Terlalu lama. Seolah dia mencoba membaca bukan hanya lukaku—tapi juga isi kepalaku yang selama ini hanya gelap.
Dan saat itu, aku tahu—permainan di Kamar 27 baru saja dimulai.
Bab 2: Perintah Tanpa Suara
POV: Elira
Tanganku masih gemetar saat merapikan perban di punggungnya. Meski luka itu tampak segar, tak ada satu pun erangan keluar dari mulutnya. Ia hanya duduk diam, tubuh tinggi dan ramping itu menegangkan setiap ototnya—seakan menahan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa sakit.
“Sudah selesai, Tuan.”
Aku menarik tanganku perlahan, tapi dia menggenggam pergelanganku. Tidak kuat. Tapi cukup untuk membuatku menahan napas.
“Mata itu,” katanya pelan. “Kenapa kau terus menghindar?”
Aku menggigit bibir. “Maaf, Tuan…”
Dia membalikkan tubuhnya. Jarak kami mendadak tak sampai satu jengkal. Matanya yang abu-abu—dingin tapi menyala dari dalam—mencengkeram mataku tanpa belas kasihan.
“Lihat aku.”
Aku melakukannya. Entah karena takut... atau karena suara itu membuatku tak bisa menolak.
“Ada yang pernah menyentuhmu sebelum aku, Elira?”
Pertanyaan itu membuat dadaku mencelos.
“Apa maksud Tuan?”
Dia tidak menjawab. Tangannya menyentuh rahangku, mengangkatnya sedikit. Tatapannya menelanjangiku, bukan secara fisik—tapi lebih mengerikan dari itu. Seolah dia bisa melihat semua bagian yang kusimpan rapat. Luka. Malu. Kerapuhan.
“Orang-orang di rumah ini akan menghancurkanmu,” bisiknya, “kalau kau tidak belajar cara bermain lebih cepat.”
Aku membeku. Aku tahu yang dia maksud. Bukan hanya tentang pekerjaan... tapi tentang hal-hal yang disembunyikan di balik pintu tertutup, malam hari, di kamar-kamar seperti ini.
POV: Adrian
Dia tampak ketakutan. Tapi bukan jenis takut yang ingin kuhancurkan. Justru sebaliknya—jenis takut yang membuatku ingin menyentuh lebih dalam, menanamkan kehadiranku sampai dia tak bisa memisahkan rasa takut dan ketergantungan.
Aku telah melihat banyak wanita, banyak pelayan, banyak tubuh... tapi Elira adalah lain.
Dia masih menyimpan sesuatu yang belum ternoda. Dan itulah mengapa aku menginginkannya.
“Mulai malam ini, kau hanya melayani kamar ini,” ucapku datar.
Matanya membesar. “Tapi, Tuan—saya—”
“Tak perlu alasan. Kau dengar perintahku.”
Dia mengangguk pelan. Tapi aku bisa melihat perlawanan tipis di balik sorot matanya. Itu... menarik.
Aku tahu dia belum sepenuhnya mengerti. Tapi cepat atau lambat, dia akan tahu: kamar 27 bukan hanya tempat tidur dan luka. Ini ruang antara kekuasaan dan pengakuan. Antara rasa bersalah dan kesenangan.
Dan aku... akan mendidiknya sendiri.
Bab 3: Ciuman yang Tidak Diajarkan
POV: Elira
Aku berdiri di depan cermin kecil di kamarku, mengenakan seragam maid yang baru diganti. Seragam yang katanya lebih “cocok” untuk pelayan pribadi Tuan Muda. Gaun hitam yang lebih pendek dari biasanya, leher terbuka sedikit lebih dalam, dan pita putih melilit di pergelangan tanganku seperti borgol halus.
Jantungku tak henti berdetak keras sejak keluar dari Kamar 27 pagi tadi. Kata-katanya—tatapannya—sentuhannya—semuanya seperti mengendap di bawah kulitku. Tak bisa kugosok bersih meski sudah mandi air dingin dua kali.
Dan malam ini, aku kembali dipanggil.
Kamar 27 kini remang. Hanya lampu meja menyala. Dia duduk di depan meja kayu mahoni, membolak-balik berkas, mengenakan jas hitam longgar, dan... tak pakai dasi.
“Tutupi pintunya. Kunci.”
Aku menuruti. Dalam diam. Tapi tubuhku tak diam. Ada desiran aneh dari perut sampai paha. Getaran halus, tak kasat mata. Tapi nyata.
Dia berdiri, mendekatiku. Gerakannya perlahan, seolah memberi waktu agar aku bisa kabur... tapi justru membuatku semakin terpaku.
“Kau tahu kenapa kau di sini malam ini?” tanyanya, suaranya rendah, seperti gumaman.
“Tidak, Tuan.”
Dia mengangkat daguku. “Karena kau belum belajar.”
“Belajar... apa?”
Dia tersenyum tipis. “Cara menerima keinginan tanpa harus bertanya kenapa.”
Sebelum aku sempat mencerna, bibirnya menyentuh bibirku—cepat, panas, tidak sopan tapi tidak beringas. Kuciuman itu tidak seperti yang diajarkan di buku atau film. Ini bukan soal cinta. Ini soal kuasa. Soal ujian.
Aku terpaku. Tangannya menahan tengkukku. Bibirnya bergerak perlahan tapi pasti, menguji batas. Saat dia menjauhkan diri, napasku masih tertahan.
“Kau akan mengingat itu sebagai pelajaran pertama.”
POV: Adrian
Dia tidak melawan. Tapi juga tidak menyerah.
Itu... sempurna.
Elira seperti halaman kosong yang belum disentuh tinta—dan aku ingin menjadi pena pertama yang menodainya.
Tapi aku bukan lelaki yang tergesa. Kamar 27 bukan tentang pemuasan cepat. Ini ruang pelatihan.
“Besok, kau akan mempelajari cara membuat teh untukku. Bukan dari buku. Tapi dari tubuhku sendiri.”
Dia mengernyit—tak paham maksudku.
Aku tertawa pelan. “Kau akan tahu. Perlahan. Setiap pelayan di rumah ini berpikir mereka tahu cara menyenangkan tuan mereka. Tapi mereka semua gagal. Karena mereka hanya meniru. Aku ingin kau... menciptakan.”
Dia terlihat gugup. Tapi aku tahu... dalam ketakutannya, ada rasa ingin tahu.
Dan dari sana... semuanya bisa dimulai.
Bab 4: Teh dari Tubuhnya
POV: Elira
Meja kayu itu masih hangat saat aku menyentuhnya pagi ini. Aku berdiri, membungkuk sedikit, mempersiapkan teh seperti yang dia minta semalam—tapi bukan sekadar teh biasa.
"Tanpa gula. Air mendidih tepat 92 derajat. Tuangkan dari kiri, bukan dari depan." Itu instruksinya.
Tapi ada satu perintah lagi... yang tidak tertulis. Tidak dia ucapkan dengan kata-kata.
Saat dia masuk, langkahnya pelan. Jasnya hari ini biru gelap. Matanya mengarah ke cangkir yang baru saja kuisi.
“Coba dulu,” katanya.
Aku mengerutkan dahi. “Tuan ingin saya—?”
“Cicipi di hadapanku. Perlahan.”
Suara itu mengiris syarafku seperti pisau beludru. Jantungku menolak, tapi tanganku sudah mengangkat cangkir ke bibirku. Hangat. Aromatik. Tapi bukan tehnya yang membuatku gemetar—melainkan tatapannya.
Mata itu mengikutiku. Menelanjangiku tanpa menyentuh.
“Bagus,” katanya datar. “Sekarang, letakkan cangkir itu. Duduk di meja.”
Aku nyaris menjatuhkannya. “Di... atas meja, Tuan?”
Dia mendekat. “Kau belajar dari tubuhku, sekarang tubuhmu jadi wadah belajar selanjutnya.”
Tangannya menyentuh pahaku. Naik perlahan, tapi tak sampai ke ujung gaun. Dia hanya menyentuh... dan menunggu.
“Tak perlu takut. Aku tidak akan menyentuh lebih jauh... kecuali kau mengizinkan.”
Lalu dia berhenti. Diam. Menatapku dengan satu ekspresi yang belum pernah kulihat—bukan hasrat... tapi haus. Haus akan kendali, bukan hanya tubuhku, tapi reaksiku. Tak hanya ingin menyentuh kulitku, tapi ketakutanku. Dan mungkin... hasrat yang mulai kugenggam, diam-diam.
POV: Adrian
Dia menggigit bibir. Matanya menolak, tapi tubuhnya tidak mundur.
Itulah yang paling kutunggu dari seorang wanita—bukan kepasrahan, tapi kesadaran saat mereka mulai kehilangan kendali, dan mengizinkanku untuk memegangnya.
"Setiap cangkir teh yang enak," kataku sambil menyentuh lututnya, "datang dari suhu tubuh yang tepat."
Dia merespon dengan hela napas tak stabil.
"Dan suhu tubuhmu... Elira... sedang mendidih."
Aku tidak menyentuh lebih jauh. Tidak hari ini.
Aku ingin dia pulang malam ini dengan jantung yang tak bisa tenang. Dengan rasa ingin tahu yang terus bergema di dalam dirinya.
Aku ingin dia mulai menunggu setiap panggilanku... tanpa sadar.
Bab 5: Hantu Lama di Balik Cermin
POV: Elira
Sudah tiga hari aku melayani kamar 27, dan setiap hari berarti satu bagian baru dari diriku yang hilang. Atau mungkin... terbuka. Adrian—aku belum pernah berani menyebutnya dengan nama itu, bahkan dalam kepala sendiri—membawaku melampaui tugas-tugas maid biasa. Tapi bukan tubuhku yang paling lelah... melainkan pikiranku.
Malam ini, aku datang bukan karena dipanggil. Tapi karena... aku tak bisa tidur jika tidak.
Pintu kamar 27 tak terkunci.
"Masuklah," katanya tanpa menoleh, duduk di depan cermin tua dengan bingkai emas kusam.
Aku melangkah pelan. “Tuan, saya... hanya ingin mengembalikan handuk yang tertinggal.”
Dia menatap bayanganku di cermin. Matanya... bukan seperti biasanya. Bukan dingin atau penuh kendali. Tapi... kosong. Penuh luka.
“Pernahkah kau melihat cermin dan bertanya... siapa yang sedang kau lihat?” tanyanya pelan.
Aku tidak menjawab. Dia berdiri. Mendekat. Tapi bukan dengan kekuasaan, melainkan keheningan aneh yang membuat napasku tercekat.
“Tiga tahun lalu, ada seorang wanita yang duduk di tempatmu berdiri sekarang,” katanya. “Namanya Lia. Dia juga maid. Tapi tidak bertahan lama.”
Aku menggenggam ujung rokku. “Apa... yang terjadi padanya?”
Adrian menatapku lama. “Dia terlalu mencintaiku... bahkan sebelum aku menginginkannya. Dan kamar ini... menelannya.”
POV: Adrian
Kupikir aku sudah menghapus semua jejak Lia dari kamar ini. Tirai diganti. Sprei baru. Parfum berganti. Tapi malam ini, saat Elira berdiri di tempat yang sama, bayangannya dan Lia tumpang tindih.
Aku melihat Lia lagi. Dengan rambut kecokelatan, suara lembut, dan mata penuh ketundukan. Tapi Elira... dia berbeda. Dia belum sepenuhnya tunduk. Itu yang membuatku takut.
Takut bahwa kali ini, mungkin aku yang akan ditelan.
“Elira...” Suaraku hampir pecah. “Jika aku mengatakan padamu untuk berhenti datang ke kamar ini, apakah kau akan pergi?”
Dia terdiam.
Lalu... “Tidak. Tidak malam ini.”
Dan dengan jawaban itu... aku kehilangan satu tembok terakhir yang selama ini kupertahankan.
Aku mendekatinya. Tidak menyentuh, hanya berdiri di hadapannya. “Aku bukan lelaki yang bisa kau jinakkan.”
“Aku juga bukan wanita yang bisa dijinakkan.”
Jawabannya membuatku ingin tertawa—dan menciumnya di saat yang sama.
Tapi aku tidak melakukannya. Karena malam ini, untuk pertama kalinya... bukan aku yang memegang kendali.
Bab 6: Aroma Parfum yang Sama
POV: Elira
Malam itu, aku tidur dengan pakaian lengkap. Tapi pikiranku telanjang.
Aku memutar ulang perbincangan kami di depan cermin. Nama Lia. Cara Adrian menyebutnya, suaranya... seperti luka yang belum kering. Aku tak tahu siapa dia, tapi aku bisa merasakannya—bekas perempuan itu masih tinggal di kamar 27. Di balik setiap sentuhan meja, sela bantal, dan bahkan dalam suara nafas Adrian saat ia terlalu diam.
Keesokan harinya, aku disuruh membersihkan kamar utama di lantai bawah—ruang tamu pribadi Ny. Arvella. Perempuan dingin dengan mata seperti belati perak.
“Elira, kan?” tanyanya, tanpa senyum. “Kau yang sekarang melayani kamar 27?”
Aku mengangguk, berusaha menunduk sopan. Tapi dia menatapku dari ujung kaki ke kepala. Bukan seperti menilai... tapi seperti menyamakan.
“Pakai parfum?” tanyanya tajam.
Aku menggeleng. “Tidak, Nyonya.”
Dia menyipitkan mata. “Aroma itu... terlalu mirip dengan Lia.”
Namanya muncul lagi. Kali ini, dari bibir sang Nyonya. Nafasku tercekat.
“Jangan berpikir semua yang masuk ke kamar itu keluar dalam keadaan sama,” lanjutnya dingin. “Ada alasan mengapa kamar 27 tidak pernah diberikan pada siapa pun terlalu lama.”
POV: Adrian
Ibuku tidak pernah suka ikut campur, kecuali kalau dia tahu permainan ini bisa melukai garis bangsawan yang mereka banggakan itu.
Tapi aku tahu, saat Elira turun dari tangga sore itu, langkahnya berbeda. Lebih berat. Lebih... takut.
Aku bisa mencium sisa parfum di lehernya. Dan aku tahu itu bukan miliknya. Itu parfum lama... milik Lia.
"Dia bicara padamu," kataku saat dia masuk kamar. Aku bersandar di ranjang, membuka dua kancing atas, seperti biasa.
Elira mengangguk. Tapi kali ini tidak menunduk.
“Siapa sebenarnya Lia, Tuan?” bisiknya, seperti bertanya pada hantu.
Aku menutup mata. “Dia wanita yang berpikir bisa menyelamatkanku.”
Hening.
“Elira, dengar aku baik-baik. Aku tidak ingin diselamatkan. Yang kuinginkan adalah seseorang yang bisa jatuh... tanpa perlu mencoba menolong.”
Dia menggigit bibir. Aku melihat air di matanya, tapi dia tidak menjatuhkannya. Wanita itu... keras kepala seperti api kecil di malam gelap.
“Dan jika aku memilih jatuh?” tanyanya pelan.
Aku berdiri. Mendekat. Tanganku menyentuh wajahnya, dan untuk pertama kalinya... sentuhan itu terasa gemetar.
“Maka aku akan pastikan kau tidak bisa naik lagi.
Bab 7: Perempuan di Balik Payung Hitam
POV: Elira
Hujan turun deras sore itu. Jendela-jendela rumah Arvella memantulkan bayangan kelabu, dan halaman depan dipenuhi aroma tanah basah. Aku baru saja menaruh nampan teh di kamar 27 ketika suara roda mobil tua terdengar di luar.
Rasa dingin menyusup ke dalam bahkan sebelum aku melihat siapa yang keluar dari mobil itu.
Perempuan.
Bergaun hitam panjang, rambut cokelat kemerahan yang diikat ketat, dan sepayung hitam yang tak bisa menyembunyikan ketegasan di wajahnya. Langkahnya lurus, seolah dia tak asing dengan rumah ini. Bahkan terlalu nyaman.
Para pelayan lain membisikkan sesuatu, tapi aku hanya menangkap satu kata yang membuat perutku mencelos:
“Tunangan lama.”
Aku ingin mengabaikannya. Tapi tak bisa. Malam itu, saat aku masuk ke kamar 27—Adrian tidak menatapku.
Dia duduk di tepi tempat tidur, gelas kristal di tangannya. Anggur belum diminum. Tapi matanya sudah mabuk.
“Dia kembali,” gumamnya.
Aku menutup pintu perlahan. “Perempuan tadi?”
Dia menatapku. Tatapan yang kosong dan tajam bersamaan—seperti kaca yang hampir pecah.
“Namanya Viola. Dia tahu semua yang pernah kulakukan di kamar ini. Dan dia tidak datang untuk reuni.”
POV: Adrian
Melihat Viola lagi seperti menatap dosa dalam bentuk manusia.
Dia tahu betapa rusaknya aku.
Dan yang paling mengerikan—dia adalah satu-satunya perempuan yang pernah kutunjukkan semuanya. Bukan permainan. Tapi sisi tergelap yang bahkan aku sendiri benci untuk aku ingat.
Dia adalah luka yang kutinggalkan, tapi tetap saja kembali... membawa pisau.
“Elira.” Suaraku berat. “Kau tidak boleh berada di kamar ini minggu ini.”
Dia menggeleng pelan. “Kenapa?”
“Karena Viola tidak datang untuk sekadar mengingat. Dia datang untuk menghancurkan. Dan kau... akan jadi bagian yang pertama dia seret.”
Matanya berkaca. Tapi dia menahan.
Aku ingin melindunginya. Tapi ironi itu menamparku—aku adalah bahaya yang paling dekat dengannya, dan sekarang aku ingin menyelamatkan apa yang mungkin sudah kubakar perlahan.
“Jadi,” bisiknya, “semua ini... hanya permainan sampai Viola kembali?”
Aku mendekat, menahan pipinya. “Tidak. Kau adalah permainan yang mulai terasa seperti pilihan. Dan itu yang menakutkan.”
Bab 7: Perempuan di Balik Payung Hitam
POV: Elira
Hujan turun deras sore itu. Jendela-jendela rumah Arvella memantulkan bayangan kelabu, dan halaman depan dipenuhi aroma tanah basah. Aku baru saja menaruh nampan teh di kamar 27 ketika suara roda mobil tua terdengar di luar.
Rasa dingin menyusup ke dalam bahkan sebelum aku melihat siapa yang keluar dari mobil itu.
Perempuan.
Bergaun hitam panjang, rambut cokelat kemerahan yang diikat ketat, dan sepayung hitam yang tak bisa menyembunyikan ketegasan di wajahnya. Langkahnya lurus, seolah dia tak asing dengan rumah ini. Bahkan terlalu nyaman.
Para pelayan lain membisikkan sesuatu, tapi aku hanya menangkap satu kata yang membuat perutku mencelos:
“Tunangan lama.”
Aku ingin mengabaikannya. Tapi tak bisa. Malam itu, saat aku masuk ke kamar 27—Adrian tidak menatapku.
Dia duduk di tepi tempat tidur, gelas kristal di tangannya. Anggur belum diminum. Tapi matanya sudah mabuk.
“Dia kembali,” gumamnya.
Aku menutup pintu perlahan. “Perempuan tadi?”
Dia menatapku. Tatapan yang kosong dan tajam bersamaan—seperti kaca yang hampir pecah.
“Namanya Viola. Dia tahu semua yang pernah kulakukan di kamar ini. Dan dia tidak datang untuk reuni.”
POV: Adrian
Melihat Viola lagi seperti menatap dosa dalam bentuk manusia.
Dia tahu betapa rusaknya aku.
Dan yang paling mengerikan—dia adalah satu-satunya perempuan yang pernah kutunjukkan semuanya. Bukan permainan. Tapi sisi tergelap yang bahkan aku sendiri benci untuk aku ingat.
Dia adalah luka yang kutinggalkan, tapi tetap saja kembali... membawa pisau.
“Elira.” Suaraku berat. “Kau tidak boleh berada di kamar ini minggu ini.”
Dia menggeleng pelan. “Kenapa?”
“Karena Viola tidak datang untuk sekadar mengingat. Dia datang untuk menghancurkan. Dan kau... akan jadi bagian yang pertama dia seret.”
Matanya berkaca. Tapi dia menahan.
Aku ingin melindunginya. Tapi ironi itu menamparku—aku adalah bahaya yang paling dekat dengannya, dan sekarang aku ingin menyelamatkan apa yang mungkin sudah kubakar perlahan.
“Jadi,” bisiknya, “semua ini... hanya permainan sampai Viola kembali?”
Aku mendekat, menahan pipinya. “Tidak. Kau adalah permainan yang mulai terasa seperti pilihan. Dan itu yang menakutkan.”
Bab 8: Mata Ketiga
POV: Viola
Aku melihatnya dari jauh—gadis itu. Tubuhnya kecil, tapi ada sesuatu di caranya berdiri. Tegang. Rapuh. Tapi keras kepala. Sama seperti aku dulu, sebelum Adrian mencabik semua yang kutahu tentang cinta.
Kamar 27 bukan sekadar tempat. Itu adalah labirin, dan Adrian adalah minotaurnya.
Dan jika dia membiarkan gadis itu masuk terlalu dalam... dia akan kehabisan jalan keluar.
Aku tidak kembali untuk balas dendam. Aku kembali... untuk menghentikan hal yang sama terulang.
Bab 9: Cinta yang Menyakitkan
POV: Elira
Viola bukan ancaman seperti yang kutakutkan. Tapi dia juga bukan penyelamat. Dia adalah cermin masa depan jika aku tetap berjalan ke arah yang sama. Seorang wanita yang mencintai Adrian, lalu hancur di bawah cinta itu sendiri.
Aku mencoba menjauh. Aku tidak masuk ke kamar 27 selama dua hari. Tapi rasanya seperti tubuhku kehilangan gravitasi.
Dan ketika akhirnya aku kembali—bukan dipanggil, tapi karena tidak tahan—Adrian sudah menunggu. Duduk di tempat tidur, tanpa berkata sepatah kata.
Aku mendekat, ingin memeluk, ingin mengatakan aku bisa mengerti, bisa menahan semuanya.
Tapi dia menarik napas pelan, lalu berkata, “Cinta, Elira... tidak menyelamatkanku. Tapi kau membuatku ingin diselamatkan. Dan itu yang paling menakutkan.”
Bab 10: Kunci yang Ditinggalkan
POV: Adrian
Aku tidak bisa menyeretnya lebih dalam. Tapi aku juga tak bisa melepaskannya. Dulu, dengan Viola, aku bermain sebagai raja di istana gelap. Sekarang, dengan Elira, aku merasa seperti tahanan yang mulai takut kehilangan cahaya.
Malam terakhir itu, aku memberinya sesuatu.
Bukan ciuman.
Bukan pelukan.
Tapi... kunci.
“Ini untuk kamar 27,” kataku.
Dia menatap kunci itu, lalu menatapku. “Kau ingin aku datang dan pergi sesuka hati?”
“Tidak,” bisikku. “Aku ingin kau memilih—datang jika kau ingin, atau kunci pintunya selamanya. Tapi jangan biarkan aku menentukan lagi.”
Epilog: Kamar Tanpa Tuan
POV: Elira
Tiga bulan kemudian, kamar 27 masih kosong.
Viola sudah kembali ke kota lain. Adrian meninggalkan rumah Arvella—pergi untuk perawatan mental yang akhirnya dia cari sendiri, tanpa paksaan. Sebuah keberanian yang anehnya datang setelah dia kehilangan kendali.
Dan aku?
Aku bukan maid lagi.
Aku kini mengurus taman rumah bangsawan ini—tempat yang tenang, jauh dari jendela kamar 27.
Tapi setiap pagi, aku membawa kunci kecil itu dalam saku.
Bukan karena aku ingin masuk kembali. Tapi karena kunci itu bukan hanya membuka pintu kamar.
Ia membuka kemungkinan: bahwa kita bisa mencintai orang yang rusak, tanpa ikut hancur bersamanya.
Komentar
Posting Komentar