Tukar Takdir: Antara Dua Dunia
Tukar Takdir: Antara Dua Dunia
Chapter 1: Cermin di Tengah Hujan
Arka menatap langit kelabu dari balik jendela kelas. Suara gemuruh petir menggema, dan rintik hujan menghantam genting sekolah dengan irama kacau. Kelas kosong, guru tak hadir. Teman-temannya telah pulang lebih awal. Hanya Arka yang masih duduk, terpaku, seolah ada sesuatu yang menahannya.
Hari itu adalah hari pertama hujan setelah musim kemarau panjang. Hujan deras turun begitu tiba-tiba, seolah-olah langit menumpahkan beban yang terlalu lama ditahan. Arka, siswa SMA kelas dua yang dikenal pendiam dan suka membaca buku mitologi, merasa ada sesuatu yang aneh sejak pagi tadi. Semua terasa ganjil—dari burung gagak yang bertengger di pagar sekolah hingga jam dinding yang berhenti tepat pukul 11:11.
Namun yang paling mencurigakan adalah pesan misterius yang ia temukan di dalam laci mejanya:
"Jika kau ingin tahu siapa dirimu yang sebenarnya, temui cermin di gudang tua saat hujan pertama mengguyur dunia."
Tidak ada nama pengirim. Kertasnya tua, seperti perkamen kuno, dan baunya seperti asap kayu terbakar. Tulisan tangan yang tercetak di sana tidak biasa—seolah ditulis oleh tangan yang gemetar namun tetap anggun.
Meskipun akal sehatnya berkata untuk mengabaikannya, rasa penasaran Arka terlalu kuat. Ia tahu bahwa gudang sekolah sudah lama tidak digunakan, bahkan dikabarkan angker oleh siswa-siswa lain. Tapi langkah kakinya tetap membawanya ke sana, melewati lorong sepi, menuruni tangga berdebu yang nyaris runtuh.
Pintu kayu tua itu berderit saat ia dorong perlahan. Aroma jamur dan kayu lapuk menyambutnya. Lampu tidak menyala. Namun di tengah ruangan yang remang-remang itu, berdiri sebuah cermin besar, tinggi hampir menyentuh langit-langit, dengan bingkai ukiran naga dan simbol-simbol aneh yang berkilauan dalam gelap. Permukaan cerminnya tidak memantulkan apa pun kecuali kabut samar yang bergerak perlahan.
Arka mendekat, jantungnya berdebar kencang. Ia mengangkat tangannya, menyentuh permukaan dingin cermin itu—
—dan seketika, dunia runtuh.
Sinar putih menyilaukan melingkupi segalanya, seperti ditarik ke dalam pusaran cahaya. Suara gemuruh semakin keras, lalu... sunyi.
Arka tidak lagi berada di dunia yang ia kenal.
Chapter 2: Dunia yang Terbalik
Kesadaran kembali perlahan. Aroma wangi dupa dan kasur empuk menyambut tubuh yang letih. Arka membuka matanya perlahan. Langit-langit tinggi dengan ukiran daun anggur dan cahaya lilin keemasan menyambut pandangannya. Ia terduduk dengan cepat, napasnya memburu. Ini bukan kamarnya. Ini bahkan bukan rumahnya.
Ruangan itu luas, penuh perabotan kayu berlapis emas. Jendela tinggi dihiasi tirai merah marun yang berat. Di sekelilingnya, berdiri tiga pelayan muda yang langsung menunduk ketika menyadari ia terbangun.
"Yang Mulia... Anda sudah sadar. Apakah Anda ingin minum air bunga segar pagi ini? Atau... ingin kami panggil Tabib Langit?" kata salah seorang pelayan dengan suara gemetar.
"Yang... Mulia?" Arka bergumam.
Ia melompat turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah cermin besar di sudut ruangan. Wajahnya terpampang di sana. Masih wajah yang sama, namun rambutnya kini sedikit lebih panjang, kulitnya lebih pucat, dan sorot matanya berbeda—dingin, memerintah. Ia mengenakan pakaian panjang dari beludru gelap dengan lambang naga dua kepala di dada.
Sebelum ia sempat memahami lebih jauh, pintu kamar terbuka. Seorang pria tua masuk dengan pakaian resmi dan tongkat berlapis permata.
"Yang Mulia Pangeran Arka, Dewan Kerajaan sudah menunggu keputusan Anda soal pemberontakan di Selatan. Juga, para bangsawan ingin klarifikasi atas hukuman yang Anda tetapkan minggu lalu." Suaranya datar, tapi penuh tekanan.
"Aku...? Hukuman apa...?" gumam Arka, bingung.
"Tiga petani digantung di alun-alun atas tuduhan penghinaan kepada Kerajaan. Keputusan Anda, Yang Mulia."
Arka membeku. Dunia ini jelas bukan dunianya. Tapi semua orang mengenalnya, dan yang lebih mengerikan—dirinya dikenal sebagai seorang pangeran kejam dan tak berperasaan.
Setelah hari itu, Arka menjalani kehidupan di kerajaan ini, mencoba menyamar sebagai pangeran sejati. Ia menyadari bahwa kerajaan ini penuh intrik, kekuasaan, dan ketakutan. Tiap langkah yang ia ambil diawasi. Tiap kalimat yang ia ucapkan bisa menjadi alasan bagi bangsawan atau rakyat untuk mencurigainya. Ia mulai mencatat nama-nama penting: Marquess De Varo, penasihat tua yang terlalu licik; Jenderal Xeron, pemimpin pasukan yang haus darah; dan Layla, nama yang pertama kali ia dengar dari bisikan para pelayan saat mereka membicarakan "bayangan pemberontak."
Arka tahu satu hal pasti: ia harus mencari jalan pulang. Tapi sebelum itu, ia harus mengerti siapa pangeran yang sebenarnya telah ia gantikan, dan kenapa cermin itu memilihnya.
Chapter 3: Bayangan Layla
Malam turun perlahan di atas istana Nerevion. Langitnya berwarna ungu gelap, dihiasi tiga bulan yang menggantung tenang seperti mata-mata diam dari para dewa. Arka duduk di balkon kamarnya, menyaksikan siluet kota kerajaan yang terbentang. Lampu-lampu lentera berkelip, dan suara alunan musik dari pesta di aula istana terdengar samar.
Namun pikirannya tidak tenang. Sejak mendengar nama "Layla", ada sesuatu yang terus mengusiknya. Dalam mimpinya malam lalu, ia melihat seorang gadis dengan mata perak yang memanggil namanya dari balik api. Ia terbangun dengan napas terengah dan telapak tangan yang basah oleh keringat.
"Yang Mulia, waktunya bersiap untuk pesta penyambutan bangsawan utara," ujar pelayan pintu, membungkuk sopan.
"Bilang pada mereka, aku tak akan hadir," jawab Arka dingin.
Ia tak punya waktu untuk pesta. Malam itu, dengan jubah gelap dan tudung menutupi wajahnya, Arka menyelinap keluar melalui lorong bawah tanah yang dijaga longgar. Berbekal peta rahasia istana yang ia temukan di perpustakaan tua, ia menuju Distrik Bawah—wilayah kumuh dan penuh rahasia yang disebut-sebut sebagai sarang pemberontak.
Di sanalah ia bertemu Layla.
Gadis itu muncul dari bayang-bayang lorong sempit, mengenakan pakaian kulit hitam, rambutnya diikat tinggi, dan mata peraknya menyala dalam gelap. Di tangannya tergenggam sebilah belati tipis yang menempel di leher Arka sebelum ia sempat bicara.
"Kau pikir aku tak tahu siapa kau?" bisik Layla, tajam. "Kau pikir dengan jubah dan tudung itu, aku akan lupa wajah yang memerintahkan kematian ayahku?"
Arka menahan napas. "Aku bukan dia... setidaknya, bukan seperti yang kau pikirkan."
Layla menatapnya lama, ragu. Tapi ada sesuatu di sorot matanya yang berubah. Ia menyadari ada perbedaan—sorot mata Arka yang sekarang tidak sama dengan Arka sang pangeran kejam yang selama ini ia benci.
"Jika kau benar berbeda... buktikan," katanya, menurunkan belatinya perlahan.
Malam itu, Arka mendengar cerita dari sisi lain. Tentang rakyat yang kelaparan, pajak yang mencekik, dan kekejaman sang pangeran yang menjadi simbol ketakutan. Layla bukan sekadar pemberontak. Ia adalah pemimpin gerakan rahasia, simbol harapan bagi banyak jiwa yang tertindas.
Arka terdiam lama.
"Aku ingin pulang," ucapnya akhirnya. "Tapi sebelum itu... aku ingin memperbaiki semuanya. Jika aku benar hidup sebagai pangeran... maka aku akan mengubah takdirnya."
Layla tersenyum kecil, getir.
"Berbahaya mempermainkan takdir, Arka. Tapi mungkin... kau memang dikirim untuk mengguncangnya."
Dan di sanalah, persekutuan yang tak terduga terbentuk. Sang pangeran palsu, dan bayangan pemberontak. Dua kutub dunia, bersatu dalam satu tujuan: menantang takdir yang telah ditetapkan.
Chapter 4: Api dan Janji
Tiga hari telah berlalu sejak pertemuan rahasia itu. Arka kembali ke istana, membawa beban berat di dadanya. Ia kini sadar, perannya sebagai pangeran bukan sekadar penyamaran—melainkan peluang untuk mengubah arah sejarah.
Di ruang singgasana, para bangsawan mulai resah. Mereka membicarakan perubahan sikap Arka. Ia mulai mencabut beberapa pajak, membatalkan eksekusi, dan mengundang tabib untuk memeriksa desa-desa miskin. Tindakan-tindakan itu dianggap kelemahan.
“Yang Mulia menjadi lembek,” bisik Marquess De Varo pada Jenderal Xeron. “Kerajaan tak butuh belas kasih, tapi kekuatan.”
Sementara itu, di Distrik Bawah, Layla menerima kabar bahwa beberapa penjaga istana mulai membelot secara diam-diam. Mereka melihat perubahan dalam diri sang pangeran dan mulai meragukan penguasa lama.
Malam itu, Arka dan Layla bertemu lagi—kali ini di reruntuhan kuil tua, tempat para pemberontak bersumpah setia dalam diam. Di bawah cahaya api unggun, mereka duduk saling berhadapan, dikelilingi bayangan-bayangan pengikut Layla.
“Aku butuh dukungan kalian,” kata Arka. “Jika aku ingin menjatuhkan sistem ini, aku tak bisa melakukannya sendirian.”
Layla menatapnya tajam. “Dan bagaimana jika kau berubah seperti dia? Seperti Arka yang dulu? Kekuasaan bisa merusak.”
Arka menunduk. “Kalau aku menyimpang... kau yang harus menjatuhkanku.”
Mereka berjabat tangan, dan sumpah dibentuk malam itu: sebuah rencana akan dilaksanakan pada Hari Gelap—hari di mana ketiga bulan menghilang dari langit, simbol awal kekacauan dalam kitab tua Nerevion. Arka akan mempermainkan Dewan, memecah mereka dari dalam. Layla akan mempersiapkan rakyat dan pasukannya dari bawah tanah.
Namun, sesuatu mengintai di balik gerakan mereka. Jenderal Xeron telah mencurigai pertemuan malam Arka. Ia mengirim mata-mata bayangan yang mulai mengendus jejak Layla. Dan lebih dari itu—di menara barat yang terlupakan, sosok yang selama ini tertidur perlahan membuka matanya.
Pangeran Arka yang asli—yang sesungguhnya—masih hidup.
Dan ia ingin takhtanya kembali.
Chapter 5: Bangkitnya Arka
Menara Barat telah lama ditinggalkan, dikabarkan angker, dan tidak ada penjaga yang berani mendekat. Tapi di balik dinding batu dan jeruji besi yang berkarat, suara napas berat terdengar. Sosok kurus dengan mata tajam perlahan bangkit dari tempatnya.
Ia mengenali dirinya sendiri dalam mimpi—tubuhnya diambil, suaranya ditiru, dan takhtanya dicuri. Ia adalah Arka yang asli. Dan dalam bulan-bulan panjang pengurungan dan manipulasi sihir, hanya satu hal yang menguatkannya: balas dendam.
Pangeran Arka yang asli tidak mati. Ia disekap, tubuhnya lemah, tetapi pikirannya tetap utuh. Kini, kekuatan lamanya mulai kembali. Ia menyentuh dinding, membaca ukiran sihir lama yang dulu ia sembunyikan sendiri—mantra pelarian dan pemanggil roh pelindung.
Malam Hari Gelap semakin dekat. Dan di luar sana, Arka lain—si peniru dari dunia lain—mulai mengumpulkan kekuatan rakyat, mempermainkan Dewan, dan membentuk ikatan dengan Layla.
Layla... Nama itu membuat darahnya mendidih. Ia ingat gadis itu—anak dari pemimpin pemberontak yang ia eksekusi dengan tangannya sendiri. Ia tak pernah menyesalinya. Dunia harus diatur dengan tangan besi. Dan kini, wanita itu malah berada di sisi penirunya.
Sementara itu, Arka yang baru terus menjalankan misinya. Ia berhasil menghasut dua anggota Dewan untuk saling mencurigai. Ia mengalihkan perhatian Jenderal Xeron ke perbatasan utara, menyebarkan desas-desus ancaman dari negara tetangga. Semua bergerak sesuai rencana.
Namun ada keganjilan.
Malam itu, dalam mimpinya, ia melihat bayangannya sendiri—tapi dengan sorot mata lain. Sosok itu tersenyum padanya di dalam cermin, namun senyum itu bukan milik seorang teman. Itu senyum ancaman.
Ketika ia terbangun, cermin besar di kamarnya berkabut, dan kata-kata tergores di permukaannya:
“Yang asli akan kembali.”
Arka mundur perlahan. Ia sadar, waktunya semakin sempit. Ia tak hanya harus menggulingkan sistem dan membebaskan rakyat. Ia juga harus bersiap menghadapi dirinya sendiri.
Di ujung koridor gelap, di balik setiap pintu yang tertutup rapat, dua versi Arka berjalan ke arah konfrontasi besar yang tak terelakkan.
Chapter 6: Dua Wajah, Satu Takhta
Pagi Hari Gelap menjelang dengan langit kelabu pekat. Ketiga bulan telah lenyap dari pandangan, meninggalkan Nerevion dalam suasana tak menentu. Angin berhembus ganjil, membawa bisik-bisik tak kasat mata yang membuat rakyat merasa gelisah tanpa tahu alasannya.
Di ruang rahasia bawah perpustakaan kerajaan, Arka duduk bersama Layla dan beberapa anggota kepercayaan pemberontak. Di hadapan mereka terbentang peta istana dengan lingkaran merah pada titik-titik kunci: menara komunikasi, gerbang utama, dan ruang sidang Dewan.
"Malam ini kita jalankan rencana," ucap Arka tegas. "Satu jam setelah senja, gerbang akan dibuka dari dalam. Layla dan pasukannya akan bergerak diam-diam."
Layla mengangguk, meski matanya menyiratkan keraguan. "Jika kau benar-benar siap, maka ini saatnya. Tapi ingat, satu langkah salah, dan kita semua akan diburu."
Namun, mereka tidak tahu bahwa rencana mereka telah dikhianati. Salah satu anggota Dewan yang Arka pengaruhi, ternyata telah menjalin kesepakatan baru—dengan Arka yang asli.
Di dalam lorong-lorong gelap istana, Pangeran Arka yang sejati berjalan dengan jubah hitam membara oleh sihir darah. Ia telah memanggil penjaga bayangan—roh-roh yang terikat dalam kontrak kuno. Matanya bersinar merah, dan suaranya mampu mematahkan kemauan.
Ia tak ingin sekadar kembali. Ia ingin menghancurkan segalanya dan membangun ulang dengan caranya.
"Biarkan dia berpikir dia bisa menang," ucapnya dingin kepada bayangan yang menjulang di belakangnya. "Aku ingin melihat wajahnya saat segalanya runtuh."
Menjelang malam, Arka palsu berdiri di balkon istana, menyambut rakyat yang berkumpul dalam keheningan. Di belakangnya, Layla menunggu isyarat. Tapi sebelum ia bisa memberi aba-aba, langit berubah menjadi merah gelap, dan guntur menggema tanpa hujan.
Dari langit, sembilan burung hitam melayang mengitari menara barat. Dan dari balik pintu besar, suara langkah berat terdengar.
Lalu, dua pasang mata yang sama bertemu di aula utama.
“Arka,” ucap Arka palsu.
“Peniru,” balas yang asli.
Dunia seperti menahan napas.
Malam itu, sejarah tak lagi ditulis oleh pena—tapi oleh darah, sihir, dan pilihan yang hanya bisa dibuat sekali seumur hidup.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar