Bayangan Senja
Bayangan Senja
Senja tiba seperti biasa: perlahan, tanpa suara, dan mengguratkan semburat jingga di langit kota kecil di tepi laut. Angin membawa aroma asin dari laut, berbaur dengan wangi kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. Di ujung dermaga tua yang mulai keropos, Raka berdiri diam, menatap horison seakan mencari sesuatu yang hilang di balik cahaya yang mulai padam.
Di tangannya, tergenggam surat lusuh yang kertasnya mulai menguning. Sudah berapa kali ia membacanya? Mungkin puluhan. Mungkin ratusan. Tapi setiap kali ia membacanya, rasa yang datang tetap sama: sesak. Seolah huruf-huruf di dalamnya mampu menyayat lebih dalam daripada luka yang bisa dilihat.
Namanya Nayla.
Perempuan yang datang seperti musim semi—diam-diam, tapi mengubah segalanya. Mereka bertemu di bangku taman, di antara tumpukan buku yang sama-sama mereka cintai. Nayla berbeda. Ia tidak cantik seperti perempuan di film-film, tapi ada yang istimewa dalam caranya diam. Cara matanya menatap halaman buku, atau cara ia tertawa kecil ketika membaca puisi favoritnya.
Raka jatuh hati pelan-pelan. Tanpa sadar. Tanpa perlawanan. Tapi ia tak pernah mengatakannya. Ia terlalu takut. Takut kehilangan kenyamanan yang mereka punya. Takut jika kata “cinta” justru menjadi jurang antara mereka.
Dan Nayla? Ia seolah tahu, tapi tidak pernah mendesak. Mereka menghabiskan hari-hari bersama—membaca, berbagi lagu, menulis puisi yang tak selesai. Tapi waktu punya caranya sendiri untuk menguji keberanian. Ketika hari itu datang—hari Nayla harus pergi meninggalkan kota—ia tidak bilang apa-apa.
Tidak ada air mata. Tidak ada pelukan. Hanya pesan singkat: "Terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku."
Raka diam. Ia ingin mengejar, tapi kakinya seperti dipaku. Ia menyalahkan waktu, menyalahkan dirinya sendiri. Tapi yang lebih menyakitkan dari kehilangan adalah kehilangan sesuatu yang belum sempat ia genggam.
Sebulan setelah kepergian Nayla, surat itu datang.
“Aku mencintaimu, Raka.
Tapi aku terlalu takut.
Aku pikir kamu tidak merasa yang sama.
Jadi aku memilih pergi—bukan karena aku tidak ingin tinggal,
tapi karena aku tidak tahan berharap sendirian.”
Surat itu menjadi satu-satunya bukti bahwa yang ia rasakan bukan ilusi. Bahwa mungkin, jika mereka sedikit lebih berani, ceritanya bisa berbeda.
Tapi tidak semua cinta harus memiliki ujung bahagia.
Ada cinta yang datang untuk mengajarkan keberanian, lalu pergi sebelum sempat dipeluk. Ada cinta yang hanya hidup di dalam diam—seperti puisi yang ditulis tapi tak pernah dibacakan.
Raka masih berdiri di dermaga. Ia menatap laut yang luas, membiarkan angin membawa kembali kenangan. Mungkin Nayla sudah jauh, mungkin sudah bahagia di tempat lain. Tapi setiap senja datang, Raka tahu bahwa sebagian dirinya masih tertinggal di masa lalu. Di bangku taman. Di halaman buku. Di sepasang mata yang pernah menatapnya dengan rindu.
Cinta itu masih ada. Tidak utuh. Tidak juga hilang. Hanya berubah menjadi bayangan yang datang di tiap senja—diam, tapi nyata.
—Tamat.
Komentar
Posting Komentar