Cinta dalam Bayang Luka

 Cinta dalam Bayang Luka


Judul: Cinta dalam Bayang Luka

Genre: Drama, Romantis, Psikologis
Rating: 17+
Jumlah Bab (rencana): 15–20 bab


Sinopsis:

Tara mencintai Gibran sepenuh hati, tanpa syarat, tanpa ragu. Baginya, cinta adalah pengorbanan—dan ia rela menyerahkan segalanya. Tapi bagi Gibran, cinta adalah alat. Alat untuk bertahan, alat untuk melarikan diri dari masa lalunya yang kelam, dan alat untuk mendapatkan apa yang ia mau.

Hingga suatu hari, cinta yang selama ini ia anggap bodoh... berubah menjadi kekuatan yang bisa menghancurkannya.


BAB 1: Lelaki yang Terlalu Tampan untuk Menyakitkan

"Cinta itu buta, Tara. Tapi kamu yang bikin dirimu tuli juga."
— Maya, sahabat Tara

Tara masih ingat betul malam itu. Hujan turun deras, dan Gibran datang ke kosannya dalam keadaan basah kuyup, tanpa jas hujan, tanpa alasan yang jelas.

"Aku cuma... pengen ketemu kamu," katanya dengan suara lirih. Mata cokelatnya yang dalam menatap Tara seakan menyimpan luka dunia.

Dan seperti biasa, Tara luluh.

Ia menyeduhkan teh hangat, mengeringkan rambut Gibran dengan handuk kecil, dan membiarkannya menginap di sana—walau tahu peraturan kos melarang lelaki menginap.

Semua itu demi apa? Demi senyum tipis dari Gibran? Demi pelukan hangat yang hanya datang ketika dia sedang hancur?

Tara tahu, Gibran bukan lelaki yang baik.
Dia sering menghilang tanpa kabar, datang hanya saat butuh uang, atau saat sedang tidak punya tempat tinggal. Tapi entah kenapa, hatinya selalu membuka pintu setiap kali nama itu mengetuk.

Dan malam itu, ketika Gibran mencium keningnya sambil berbisik, “Kamu satu-satunya yang aku punya, Tar...”
Tara benar-benar percaya.
Sekali lagi.

Padahal, di luar sana, Gibran punya dunia yang tak pernah ia tunjukkan padanya—dunia yang gelap, manipulatif, dan penuh rahasia

BAB 2: Aku Cuma Butuh Kamu... dan Uangmu

Pagi itu, Gibran sudah tidak ada di sampingnya.
Selalu begitu. Datang tengah malam dengan luka, pergi pagi-pagi sebelum ada yang sempat bertanya.

Tara duduk di tepi kasur, memandangi ponselnya yang penuh notifikasi dari grup kampus. Di antara semua itu, ada satu pesan dari Gibran.

“Maaf tadi pergi buru-buru. Makasih ya, Tar. Kamu penyelamat hidupku.”

Tara membalas cepat.

“Kamu nggak apa-apa kan? Kalau butuh apa-apa, bilang aja. Aku ada.”

Tak sampai satu menit, ada balasan.

“Beneran? Aku lagi agak kesulitan, sih…”

Tara tidak butuh penjelasan lebih panjang. Ia tahu ke mana arah pembicaraan itu. Dan seperti biasa, dia hanya membalas:

“Kamu butuh berapa?”


Siang itu Tara ke ATM, mengambil uang tabungannya yang harusnya dipakai untuk bayar semester depan. Tangannya sempat gemetar saat melihat saldo tersisa setelah transaksi. Tapi hatinya... tetap percaya.

“Cinta itu memberi,” katanya dalam hati.

Tapi Maya, sahabat sekamarnya, tak pernah percaya kalimat itu.

"Dia tuh bukan cinta kamu, Tar. Dia numpang hidup!" Maya menatapnya tajam, seakan ingin mengguncang logika Tara yang mulai mati rasa.

“Dia cuma lagi terpuruk, May. Aku nggak bisa ninggalin dia dalam kondisi kayak gitu.”

“Terpuruk tiap bulan? Lalu sembuh tiap malam Sabtu pas dia nongkrong sama anak motor itu?”

Tara diam. Ia tahu Maya benar.
Tapi hatinya membela Gibran—lelaki yang pandai menangis tanpa air mata.


Di sisi lain kota, Gibran duduk di atas motor gede pinjaman. Uang dari Tara sudah berpindah tangan ke bandar kecil yang menunggunya di parkiran belakang minimarket.

“Cewek kamu royal juga,” ejek si bandar sambil menghitung uang.

Gibran hanya tertawa kecil, pahit tapi puas.
“Dia nggak bisa lihat aku menderita, Bro. Jadi ya… kenapa harus sok kuat?”

“Lo cinta nggak sih sama dia?”

Gibran menjawab pelan, hampir seperti gumaman.
“Gue nggak pernah tahu rasanya cinta. Tapi kalau dia cinta sama gue... itu udah cukup.”

BAB 3: Luka yang Tidak Pernah Tampak

Hari itu Tara melewatkan kelas penting.
Tugas akhir menumpuk, dosen pembimbing mulai curiga. Tapi pikirannya hanya dipenuhi satu hal: Gibran tidak membalas pesannya sejak pagi.

Sudah lima belas jam.

Tangan Tara berkeringat saat menghubungi Gibran, lagi dan lagi. Tidak aktif. Bahkan akun media sosialnya tak lagi bisa ditemukan. Dihapus, atau diblokir?

“Dia kenapa sih? Apa dia kenapa-kenapa?” bisiknya panik.

Maya menatapnya dengan prihatin tapi tegas.
“Tar, kamu harus sadar. Dia itu bukan cuma ngilangin kabar. Dia ngilangin hidup kamu pelan-pelan.”

Tara memalingkan wajah. Ia tak ingin menangis di depan Maya. Tapi air matanya sudah menggantung di pelupuk.

“Aku cuma… pengen dia bahagia, May.”

“Dan kamu sengsara?”


Malam harinya, hujan kembali turun.
Entah takdir atau kutukan, Gibran selalu datang di bawah hujan. Kali ini bukan ke kos. Ia mengirim pesan, meminta Tara menemuinya di taman kota.

Basah kuyup, Tara datang. Tanpa payung, tanpa logika.

Gibran berdiri di bawah pohon beringin besar. Dengan hoodie hitam dan wajah yang tampak lelah.

“Aku minta maaf… ponselku rusak,” katanya cepat.

Tara tidak peduli. Ia langsung memeluknya.

“Aku takut kehilangan kamu,” bisiknya, nyaris tidak terdengar karena hujan.

Gibran tidak membalas pelukan itu. Ia hanya berdiri kaku, tangan mengepal, mata menerawang ke arah jalan raya yang gelap.

“Aku harus bilang sesuatu, Tar…”

Tara melepaskan pelukannya pelan. Wajahnya penuh harap—atau ketakutan.

“Aku dikejar orang. Ada masalah... dan aku gak bisa tinggal di sini lagi. Aku harus pergi, keluar kota. Mungkin lama.”

Jantung Tara seperti diremas.
“Tapi… kamu gak sendiri. Kamu punya aku.”

Gibran menatapnya. Untuk pertama kalinya, tatapan itu kosong. Dingin. Bukan luka yang Tara biasa lihat. Tapi jarak. Jarak yang tak bisa dijembatani cinta.

“Aku tahu kamu bakal nolong aku… untuk terakhir kali,” katanya sambil mengulurkan tangan.

Tangan yang meminta, bukan merangkul.
Dan saat Tara menyerahkan kartu ATM-nya...
Ia tahu.
Ini bukan cinta.
Tapi ia juga tahu, dia belum cukup kuat untuk berhenti.

BAB 4: Pergi Tanpa Sisa

Sudah dua minggu sejak malam di taman.
Dan Gibran… benar-benar hilang.

Nomornya tak bisa dihubungi. Akun media sosialnya lenyap. Teman-teman tongkrongannya pura-pura tidak tahu. Dan yang paling menyakitkan—bahkan motor yang biasa dipakai Gibran sudah tak terlihat di mana pun.

Tara merasa seperti mayat hidup. Ia berangkat kuliah dengan mata kosong, duduk di kelas hanya untuk mendengar suara dosen yang mengalun seperti dengung lebah.

Gelisah. Hampa. Dan perlahan, patah.


“Tar, kamu belum bayar uang semester,” kata petugas keuangan kampus, siang itu.

Tara terdiam. Saldo di rekeningnya tak cukup. Semua habis—bukan untuk hidup, tapi untuk seseorang yang kini bahkan tak bisa ia pastikan masih hidup.

Ia berdiri di lorong kampus, menggenggam surat peringatan itu erat-erat. Tangannya gemetar. Bukan karena takut. Tapi karena amarah yang baru ia sadari—amarah pada dirinya sendiri.

“Aku bodoh ya, May…” katanya lirih malam harinya.

Maya tidak menjawab. Ia hanya memeluk Tara erat-erat, sambil menahan air mata. Ini bukan pertama kali sahabatnya menangis karena lelaki itu. Tapi ini... mungkin yang terparah.


Tara mulai absen dari kelas. Ia menjual beberapa pakaian, bahkan mulai menerima pesanan nugas dari teman-teman angkatan bawah demi bertahan.

Kamar kosnya semakin sepi. Dindingnya tak lagi dipenuhi foto-foto kebahagiaan kecil bersama Gibran. Ia lepas semuanya malam itu—dan membakarnya diam-diam di belakang kos.

Tapi tak ada yang terbakar lebih keras dari hatinya sendiri.

Satu-satunya hal yang masih tertinggal dari Gibran hanyalah hoodie hitamnya yang pernah ia tinggalkan saat hujan dulu.

Tara memeluknya setiap malam seperti orang gila.

“Kalau kamu masih hidup... kenapa kamu tinggalin aku kayak gini?” bisiknya di gelap.

“Kalau kamu udah mati… kenapa aku masih hidup?”


Malam ke-21 sejak kepergian Gibran, Tara duduk sendiri di taman kota. Di tempat yang sama mereka terakhir bertemu. Hujan belum turun. Tapi langit sudah menghitam.

Lalu, sebuah suara menyapanya.

“Kamu Tara, kan?”

Tara menoleh cepat.

Seseorang berdiri di hadapannya. Seorang lelaki dengan ransel selempang dan jas hujan lusuh. Wajahnya asing, tapi tatapannya dalam. Penuh tahu.

“Aku temannya Gibran. Namaku Arka.”

Tara terdiam. Jantungnya berdetak keras.

Dan dalam waktu yang sangat singkat, ia tahu satu hal:

Gibran tidak hilang. Gibran lari.

BAB 5: Luka yang Sama, Dendam yang Berbeda

Hening.

Tara menatap lelaki di hadapannya. Ia tidak mengenal wajah itu. Tapi nama Gibran yang keluar dari bibirnya cukup membuat jantung Tara bergetar hebat.

“Apa… yang kamu maksud?” suaranya parau.

Arka duduk perlahan di bangku taman, tanpa minta izin. Hujan masih tertahan di langit. Tapi dalam hati Tara, badai sudah kembali menggulung.

“Aku pernah kayak kamu,” kata Arka.
“Percaya. Dipakai. Dibuang.”

Tara terdiam. Tubuhnya kaku. Ia tak tahu harus marah, takut, atau… lega karena akhirnya ada orang lain yang tahu sakitnya.

“Gibran pinjam uang dari gue. Banyak. Janjinya mau bangun bengkel. Gue bantu karena dia bilang bokapnya sakit… dan gue percaya. Kita bahkan sempat tinggal bareng beberapa bulan,” lanjut Arka.

Tara mengernyit. “Kalian… tinggal bareng?”

“Gue pikir dia sahabat. Ternyata, dia cuma aktor.”

Tara menelan ludah. Rasanya pahit. Bukan karena Arka. Tapi karena semua kebohongan yang Gibran ciptakan terasa makin nyata sekarang—bukan ilusi yang bisa dia bantah.

“Aku juga…” Tara memaksakan suara. “Aku juga kasih dia segalanya.”

Untuk pertama kalinya, mata mereka saling menatap, dan tak ada lagi pertanyaan di antara keduanya. Hanya luka. Luka yang serupa, hanya beda waktu.


“Kamu mau cari dia?” tanya Arka setelah beberapa menit hening.

Tara menjawab pelan, “Aku nggak tahu.”

Arka mengangguk kecil, lalu berkata tanpa nada mendesak, “Aku tahu tempat terakhir dia kabur. Ada satu orang yang bisa bantu kita cari. Tapi aku nggak akan maksa. Kamu cuma perlu satu hal dulu sebelum ikut: kamu harus yakin kamu mau tahu kebenarannya.”

Tara menunduk.

Apakah dia siap?
Apakah hatinya kuat untuk menerima kenyataan yang lebih buruk dari sekadar ditinggal?
Atau… dia akan tetap hidup dalam bayang harapan palsu?


Malam itu, Tara pulang ke kos tanpa banyak bicara. Ia berdiri lama di depan cermin.

Wajahnya bukan lagi gadis kampus yang ceria.
Di sana hanya ada perempuan dengan mata sembab, tubuh kurus, dan sisa-sisa air mata yang tak pernah benar-benar kering.

Tapi di balik matanya, untuk pertama kali sejak Gibran pergi, ada api kecil yang menyala.

Bukan cinta.

Tapi kehendak untuk tidak menjadi korban selamanya.

BAB 6: Jejak yang Tertinggal

Dua hari setelah pertemuan di taman itu, Tara kembali duduk berhadapan dengan Arka. Kali ini di sebuah kedai kopi kecil, jauh dari kampus, jauh dari tempat kenangan.

“Gue udah dapat info,” kata Arka, membuka laptop bututnya.

Di layar, terlihat nama sebuah bengkel di pinggiran kota Bogor.

“Tempat ini dulu dijadikan kedok. Gibran pernah tinggal di sana dua bulan, pakai nama lain. Dan… dia tinggal bareng perempuan.”

Tara membeku. Kata “perempuan” menggema di pikirannya lebih keras dari deru hujan malam itu.

“Siapa?” bisiknya.

Arka menarik napas. “Namanya Sela. Mahasiswi juga. Mungkin kayak lo.”

Tara menggenggam tangan sendiri di bawah meja. Dingin. Tapi ia tidak ingin menangis. Bukan sekarang.

“Dia korban juga?” tanyanya datar.

“Gue nggak yakin. Bisa jadi korban… bisa juga partner-in-crime.”


Perjalanan ke Bogor dimulai dua hari kemudian. Tara menunda semua kelas, mencabut semua poster Gibran dari dinding hatinya, dan membawa hoodie hitam terakhir itu dalam ranselnya—entah sebagai pelindung atau sebagai simbol luka.

Sepanjang jalan, Arka hanya bicara seperlunya. Ia tahu Tara butuh ruang untuk mengatur pikirannya sendiri. Tapi saat Tara tertidur sebentar di dalam bus, Arka menatapnya dengan tatapan yang rumit.

Seseorang yang terluka… tapi masih bisa memilih untuk bangkit.
Atau jatuh lebih dalam.


Bengkel itu terletak di jalan sempit yang becek dan berlumut. Bangunannya tua, dengan papan nama nyaris copot. Seorang lelaki tua menyambut mereka dengan mata curiga.

“Gibran?” gumamnya. “Oh… si Reno.”

Tara langsung menegang. Nama baru lagi.

“Dia tinggal sama cewek waktu itu. Sela, kalo nggak salah. Anak muda, cantik. Tapi habis itu mereka ribut besar… dan pergi tiba-tiba. Udah lima bulan nggak ada kabar.”

“Ribut kenapa?” tanya Arka.

Lelaki tua itu mengangkat bahu. “Cewek itu nangis. Katanya ditipu. Duit tabungan dia dibawa kabur.”

Tara menutup mata. Napasnya tercekat.

Satu korban lagi.
Satu hati lagi yang hancur karena lelaki yang sama.


Malam itu mereka menginap di penginapan kecil. Arka memesan dua kamar terpisah. Tara duduk sendiri di tempat tidur, menggenggam hoodie itu. Kini ia tahu: benda itu bukan kenangan, tapi bukti kejahatan emosional.

Ia mulai menulis. Di ponselnya. Di aplikasi catatan.

"Namaku Tara. Dan aku bukan satu-satunya yang pernah mencintai lelaki yang sama.

Tapi mungkin... aku akan jadi yang terakhir."

BAB 7: Sisa Luka di Mata Sela

Alamat itu ditemukan lewat akun media sosial lama yang ditautkan ke profil Sela.
Sebuah kosan putri di daerah Ciputat.
Tak jauh dari kampus swasta yang terlihat sunyi di sore hari saat mereka tiba.

Tara berdiri di depan pagar hijau muda, memandang ke dalam sambil menggenggam erat tali tas ranselnya. Tangannya berkeringat. Jantungnya menabuh rasa cemas—bukan karena takut pada Sela, tapi takut pada kenyataan yang mungkin akan keluar dari mulutnya.

“Lo yakin mau ketemu dia?” tanya Arka pelan.

Tara mengangguk. “Aku harus. Kalau aku nggak dengar dari dia langsung… aku akan terus dibayangin.”

Mereka masuk. Seorang ibu kos ramah mengantar mereka ke kamar nomor 12.
Tara mengetuk pintu.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka.
Dan di baliknya, berdiri seorang gadis dengan mata lelah, rambut berantakan, dan sorot kehilangan yang begitu dikenali Tara.

Mereka saling menatap. Lalu Sela berkata,

“Kamu… Tara, ya?”


Sela duduk bersila di atas tempat tidur, memeluk bantal kecil seperti tameng. Tara dan Arka duduk di karpet. Tak ada kemarahan. Hanya diam yang penuh luka.

“Dia bilang ke aku… kamu temennya yang suka maksa-maksa,” kata Sela akhirnya.

Tara menoleh cepat. “Apa?”

“Dia bilang kamu posesif. Sering ganggu dia kerja. Dia nunjukin chat kamu ke aku. Dia bilang kamu bikin dia nggak bisa bebas.”

Arka mengumpat pelan. Tara terdiam, wajahnya menegang.

“Waktu itu aku percaya. Aku malah marah sama kamu, padahal aku nggak kenal kamu. Tapi ternyata… aku yang dibodohi.”

Sela menunduk, suara mulai bergetar.

“Semua tabungan buat bayar semester, uang orang tua, emas simpanan... habis. Dia ambil semua. Terakhir kali aku lihat dia… dia bilang dia mau nikahin aku.”

Tara menutup matanya.
Itu kalimat yang sama yang dulu Gibran bisikkan di bawah hujan.

“Aku sempat ngelaporin dia. Tapi dia pakai identitas palsu. Namanya beda-beda di mana-mana. Reno, Gibran, Alvan, semuanya dia pakai tergantung siapa yang dia tipu.”

Sela bangkit dari tempat tidur dan mengeluarkan map lusuh dari laci meja. Ia menyerahkannya pada Tara.

“Ini semua bukti yang aku kumpulin. KTP palsu, kwitansi transfer, bahkan ada foto dia sama cewek lain yang katanya tunangannya juga.”

Tara membuka map itu perlahan. Tangannya gemetar. Tapi matanya… mulai penuh amarah.

“Cewek lain?”

“Iya,” jawab Sela lirih. “Namanya Rani. Dan dia… belum tahu apa-apa. Dia lagi kerja di Bandung.”


Malam itu, di penginapan yang sama, Tara menatap dinding kosong.

“Aku kira aku yang paling bodoh,” katanya pelan.

Arka berdiri di dekat jendela. “Bukan. Lo cuma korban pertama yang berani nyari jawabannya.”

Tara tersenyum miris. “Sekarang aku tahu… ini bukan cuma soal cinta. Ini soal harga diri. Tentang mengambil kembali siapa diriku sebelum aku dicuri.”

Ia menatap Arka dengan mata baru.

Mata yang sudah mulai tak takut lagi pada luka.

 

BAB 8: Gadis yang Belum Tahu Apa-apa

Kereta sore membawa Tara dan Arka ke Bandung.

Udara di kota itu lebih dingin, lebih sunyi. Tapi kepala Tara terasa panas—bukan karena marah, tapi karena takut: bagaimana jika mereka terlambat?

Rani. Gadis itu masih mencintai Gibran.
Masih percaya bahwa lelaki itu setia.
Masih menyebut namanya dengan senyum.

Dan Tara tahu, di balik semua itu… sudah ada lubang yang siap menelan siapa pun begitu kejujuran dilemparkan.


Alamat itu mereka dapat dari Sela—Rani adalah adik tingkatnya dulu di kampus. Sekarang bekerja di butik kecil dekat Dago. Tara berdiri di depan toko itu dengan napas tertahan.

“Kamu mau aku yang ngomong duluan?” tanya Arka.

Tara menggeleng. “Aku harus hadapi ini.”

Saat pintu toko terbuka, Tara seperti melihat versi lamanya sendiri: Rani berdiri di balik meja kasir dengan senyum hangat, wajah polos, dan kalung kecil berbentuk huruf G di lehernya.

“Selamat sore, bisa dibantu?”

Tara mendekat. “Kamu… Rani, kan? Aku Tara.”

Senyum Rani mengendur. Matanya langsung membaca ada sesuatu yang salah.

“Kamu… kenapa kelihatan familiar?”

“Aku… mantan pacarnya Gibran.”

Rani menegang. Wajahnya langsung berubah, tapi ia berusaha menahan ekspresi.

“Aku nggak ngerti maksud kamu…”

Tara mengeluarkan ponselnya. Ia membuka foto Gibran yang dipeluk Sela, lalu foto kwitansi, lalu pesan-pesan manipulatif yang pernah ia terima. Semua ditampilkan satu-satu.

Dan di mata Rani—yang awalnya gemerlap, mulai muncul retakan.


Butik itu ditutup lebih awal hari itu.

Rani menangis selama dua jam tanpa henti di belakang toko. Tara duduk di sebelahnya. Ia tidak bicara soal dendam, atau tentang balas sakit hati. Ia hanya mengusap pundak gadis itu sambil berkata:

“Aku tahu rasanya percaya sama orang yang salah… dan merasa semuanya salahmu. Tapi bukan.”

Rani hanya terisak. Kalung huruf G itu dilepas dan dilempar ke tempat sampah tanpa ragu.

“Aku… aku mau bantu kalian cari dia.”

Tara menoleh.

“Kamu yakin?”

Rani mengangguk dengan mata yang masih sembab, tapi lebih tajam dari sebelumnya.
“Gibran harus tahu rasanya dikejar bayangan yang dia ciptakan sendiri.”


Malam itu, di penginapan kecil dekat Lembang, ketiganya duduk melingkar, membuka laptop Arka, menyusun nama-nama, akun-akun, nomor-nomor, dan kemungkinan tempat persembunyian Gibran.

Rani ternyata punya info penting: Gibran pernah menyebut nama seorang "saudara sepupu" yang kerja di Jawa Tengah—kemungkinan nama samaran atau jalur pelarian lain. Arka mulai menyisir data.

Tara menatap peta digital di layar laptop.
Jalur kabur. Titik korban. Sisa jejak.
Dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa seperti korban.

Ia mulai merasa seperti pengejar.

BAB 9: Bayangan yang Balik Menggigit

Malam itu, di penginapan sederhana di Lembang, semuanya terasa tenang. Terlalu tenang.

Tara sedang mencatat pola kebohongan Gibran di buku kecilnya—tulisan tangan yang berisi nama-nama, tanggal, bahkan jenis kebohongan yang pernah ia dan para korban alami. Arka sedang memeriksa rekaman CCTV dari bengkel lama di Bogor, sementara Rani baru saja selesai menelepon temannya yang tinggal di Semarang—mencari jejak yang mungkin tertinggal.

Tiba-tiba… notifikasi bunyi.

📲 Satu email masuk.

Tara membukanya pelan.
Pengirim tidak dikenal. Hanya satu kata di kolom subjek: JANGAN.

Isinya:

"Berhenti cari gue.
Kalau lo pikir gue nggak tahu kalian bertiga lagi ngapain, lo salah.
Tara, lo nggak bisa ngelindungin orang lain kalo diri lo sendiri masih pecah.
Sela udah dapet bagiannya. Mau Rani nyusul?"

Tangan Tara gemetar.
Arka langsung berdiri dan merampas laptop itu dari pangkuannya. Wajahnya langsung berubah tegang.

"Dia tahu," gumamnya. "Dia tahu semua langkah kita."

"Dia ancam aku," kata Tara pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Rani membeku di kursinya. "Maksudnya… 'bagiannya' itu...?"

Tara mengeluarkan ponsel dan menelepon Sela.

📞 Nada tunggu.
📞 Masih nada tunggu.
📞 Lalu… tidak aktif.

“SHIT,” Arka menggebrak meja. “Dia mulai gerak duluan.”


Mereka segera keluar dari penginapan. Tak ada waktu untuk ragu. Arka membawa mereka ke warnet 24 jam—tempat yang ia kenal sejak kuliah. Dari sana, ia masuk lewat jalur gelap, mencari IP email pengirim.

“Dia pakai VPN… tapi kita bisa lacak dari waktu dan metadata file,” kata Arka cepat. “Gue pernah dilatih buat ngelacak kasus kayak gini.”

Rani menatap layar, lalu berkata pelan, “Aku inget. Dia pernah bilang soal teman lama dia di Solo. Sering jadi tempat dia ngilang.”

Tara mengangguk. “Kalau benar… itu titik berikutnya.”

Arka mencatat. “Besok kita berangkat.”

Tapi sebelum menutup laptop, mereka melihat satu hal yang membuat semuanya makin mengguncang:

📂 File foto yang terlampir di email.
📷 Sebuah gambar diambil diam-diam.
📷 Tara… tertidur di kereta, di sebelah Arka.


Gibran tidak hanya tahu.

Dia sudah dekat.

BAB 10: Perang dalam Kepalaku

Tara tidak tidur malam itu.
Bukan karena takut… tapi karena pikirannya tak pernah benar-benar tenang sejak email itu datang. Foto itu—diambil diam-diam, dari sudut sempit yang bahkan Arka pun tak sadari—menunjukkan satu hal:

Gibran sudah pernah ada di dekat mereka. Mungkin masih.


Pagi harinya, mereka bersiap berangkat ke Solo.

Tapi sesuatu tentang Arka membuat Tara merasa… ganjil. Dia tak banyak bicara. Tangannya sibuk sendiri dengan laptopnya sejak subuh. Bahkan saat sarapan, dia menolak bertemu mata dengan Tara.

“Lo oke?” tanya Tara pelan.

Arka hanya mengangguk. “Cuma kurang tidur.”

Tapi sesuatu dalam sorot matanya… seperti menyembunyikan lebih dari sekadar kelelahan.


Kereta menuju Solo memakan waktu lima jam. Rani tertidur, kepalanya bersandar di jendela. Tara membaca ulang semua pesan dari Gibran yang dulu pernah ia simpan—berharap ada pola, ada clue, ada celah. Tapi yang ia temukan justru sebuah screenshot yang aneh… tersembunyi di folder lama di ponselnya.

Sebuah chat.
Antara Gibran dan seseorang bernama Arka.

Gibran: “Lo bilang dia bakal nurut, kenapa malah ngejar gue?”

Arka: “Gue cuma bilang dia bakal ngerasa cukup disakitin. Tapi ternyata dia keras kepala.”

Gibran: “Hati-hati. Kalau dia tahu lo bagian dari awal semuanya…”

Tara menjatuhkan ponselnya.
Napasnya tercekat.

Arka?


Di kamar hotel kecil di Solo, malam itu, Tara akhirnya menghadapkan dirinya pada kebenaran yang ingin ia tolak.

"Arka…" katanya pelan. “Gue nemu sesuatu.”

Arka menoleh. Tatapannya tak panik. Tapi juga tidak sepenuhnya terkejut.

"Apa?"

"Chat lo sama Gibran. Lo pernah kerja sama sama dia, kan?"

Keheningan menggantung di udara.

Arka menutup laptopnya perlahan. "Iya."

Tara nyaris tak bisa bernapas. “Lo ikut-ikutan nyakitin gue?”

“Awalnya… iya.”


Arka duduk. Wajahnya penuh rasa bersalah.

“Gue dulu temennya Gibran. Kita main cewek bareng. Gue anggap itu permainan. Tapi waktu gue liat gimana lo berubah, gimana lo masih nyari dia setelah semuanya… gue berhenti. Gue sadar gue salah.”

Tara berdiri. Marah. Bingung. Hancur lagi.

“Kenapa lo bantuin gue kalau lo bagian dari semuanya?”

“Karena gue pengen tebus salah gue. Karena lo satu-satunya orang yang nggak nyalahin siapa pun saat lo disakitin. Dan itu ngebuat gue lebih ngerasa berdosa dari siapa pun.”

Tara menggeleng. “Gue nggak tahu harus percaya lo atau nggak.”

Arka bangkit. “Terserah lo. Tapi kalau lo masih mau cari Gibran… gue tahu di mana dia sekarang.”

Tara menatapnya.

“Dia ada di kota ini. Dan dia nunggu lo.”

BAB 11: Tatapan yang Tak Lagi Sama

Hotel itu tersembunyi di pinggiran kota Solo.
Kecil. Tak ada nama di papan depan. Bahkan lampu depannya pun remang-remang, seolah sengaja tidak ingin terlihat.

Arka memarkir motor sewaan dan menyerahkan secarik kertas ke Tara.

“Nomor 203. Dia sendirian. Gue bakal tunggu di sini. Lo... nggak harus ngelakuin ini kalo lo belum siap.”

Tara menatapnya dingin. “Gue udah lebih dari siap.”

Dia naik sendiri. Langkahnya tenang, tapi jantungnya tak henti berdetak cepat—bukan karena takut, tapi karena dendam yang selama ini dipendam terlalu lama akhirnya menemukan wajahnya.

Tangannya mengetuk pintu.

Tiga detik.
Lima detik.
Klik.

Pintu terbuka perlahan.
Dan di sana—berdiri lelaki itu. Gibran.

Masih tampan.
Masih dengan senyum tipis andalannya.
Masih memancarkan pesona beracun yang dulu membuat Tara menyerahkan segalanya tanpa syarat.

“Tara,” katanya, seolah menyambut mantan kekasih yang baru kembali dari liburan.

Tapi tatapan Tara tak lagi sama.


Mereka duduk di dalam. Jarak dua meter. Seperti musuh yang pura-pura netral.

“Gue pikir lo akan datang lebih awal,” kata Gibran santai sambil menuang kopi.
Tara menatap kosong. “Gue nyari lo, bukan karena gue kangen. Tapi karena lo harus berhenti nyakitin orang.”

Gibran tertawa kecil. “Lucu. Lo pikir lo bisa nyetop gue?”

Tara menyandarkan punggung. “Gue udah ketemu Sela. Gue udah ketemu Rani. Dan gue udah tahu lo kerja bareng Arka dulu.”

Wajah Gibran mengeras untuk sepersekian detik. Tapi dia cepat menutupinya.

“Kamu emang selalu terlalu ingin tahu.”

Tara mengangkat ponselnya, merekam.

“Kamu bakal kena pasal penipuan, pemalsuan identitas, pelecehan emosional, bahkan mungkin perdagangan data kalau semua bukti ini gue serahin ke polisi.”

Gibran menyeringai. “Tapi kamu nggak akan lakuin itu.”

“Kenapa?”

“Karena kamu masih pengen ngerti kenapa gue nyakitin kamu. Masih pengen dengar alasan dari mulut gue, kan?”

Tara diam.

Lalu Gibran bicara pelan. “Kamu terlalu sempurna, Ta. Terlalu percaya. Terlalu polos. Kamu bikin gue jijik.”

Tara menahan napas.

“Kamu percaya sama semua kata gue. Kamu lakuin apa pun demi gue. Kamu bikin gue ngerasa Tuhan. Tapi gue bukan Tuhan. Gue... cuma laki-laki biasa yang senang ngeliat orang patah.”

Hening.

Tara menatapnya lama. “Lo benar. Dulu gue pengen ngerti. Sekarang? Gue cuma pengen ngelihat lo hancur.”

Dia berdiri.

Dan sebelum keluar, dia menoleh sebentar.

“Lo pikir lo kebal. Tapi lo lupa satu hal, Gibran: semua korban lo sekarang udah bersatu. Dan lo bukan siapa-siapa tanpa orang yang bisa lo tipu.”


Malam itu, di luar kamar, Tara menangis. Tapi bukan karena sedih.
Melainkan karena untuk pertama kalinya… dia menang.

Bukan karena dia menyakiti balik.
Tapi karena dia tidak hancur meski bertemu monster yang pernah merobeknya dari dalam.

BAB 12: Jatuhnya Sang Pemain

Tiga hari setelah pertemuan itu, Tara, Rani, dan Sela duduk di sebuah ruangan kecil di kantor hukum milik sepupu Rani.

Di atas meja:

  • Berkas laporan polisi.

  • Screenshot transaksi keuangan, pesan manipulatif, foto-foto korban.

  • Rekaman suara Gibran saat mengaku: "Gue senang ngeliat orang patah."

Arka duduk agak jauh di sudut ruangan.
Tak banyak bicara. Tapi diamnya penuh penebusan.

“Kita akan jalankan prosesnya,” kata pengacara itu tegas. “Tapi bersiaplah, ini akan panjang. Orang seperti Gibran tidak akan duduk diam menerima kekalahan.”

Sela mengangguk. “Yang penting, dia nggak bisa lari lagi.”


Namun… Gibran memang tidak tinggal diam.

Satu minggu setelah laporan masuk, video anonim muncul di media sosial.
Video itu menampilkan:

Tara.
Menangis.
Memohon di depan apartemen Gibran dulu.
Suaranya bergetar, “Kamu kenapa ghosting aku, aku salah apa…”

Dengan caption:

"Kalian kira siapa korban sebenernya? #ManipulasiBalik"

Komentar netizen mulai liar. Sebagian membela Tara.
Tapi sebagian lagi—mereka yang tak tahu cerita sebenarnya—mulai memanggilnya "cewek nggak bisa move on", "attention seeker", bahkan "gila karena ditinggal cowok".

Tara terpukul.
Tapi dia tidak lari.

Dia membuka ponsel. Merekam video balasan.


📹 Video: Tara Aulia – “Kebenaran Butuh Suara”

“Nama saya Tara. Saya adalah satu dari banyak perempuan yang pernah dimanfaatkan, dimanipulasi, dan ditipu oleh Gibran Reza.

Video yang kalian lihat adalah potongan dari masa tergelap dalam hidup saya. Saat saya tidak tahu bahwa orang yang saya cintai adalah pembohong.

Saya berdiri di sini bukan untuk balas dendam. Tapi untuk memastikan tidak ada korban berikutnya.

Kalau kalian pernah mengalami hal serupa—jangan diam. Jangan malu. Kebenaran memang tidak selalu didengar di awal. Tapi ia selalu menang di akhir.”

Video itu menyebar.
Tara tidak viral, tapi didengar.

Dan satu per satu, perempuan lain mulai DM. Mengirim cerita.
Beberapa bahkan mengaku: mereka juga korban Gibran.


Satu bulan kemudian, polisi menangkap Gibran di sebuah rumah kontrakan di Klaten, berkat laporan satu korban yang berhasil memancingnya keluar dengan dalih “korban baru”.

Tara hanya membaca berita itu lewat ponsel.
Dia tidak bersorak. Tidak menangis.

Dia hanya tersenyum tipis, lalu menutup layar.


Beberapa minggu setelahnya, ia duduk di taman kota bersama Sela, Rani, dan Arka.

Udara sore itu lembut. Bukan akhir dari cerita. Tapi awal dari lembar baru.

Rani melontarkan ide pelan, “Gimana kalau kita bikin komunitas kecil? Buat perempuan yang pernah disakiti kayak kita.”

Sela tersenyum. “Nama komunitasnya apa?”

Tara menatap matahari yang mulai tenggelam.

Suara yang Tidak Diam.

Mereka semua saling berpandangan.

Dan mengangguk.


EPILOG:

Di ruang tahanan, Gibran duduk.
Tatapannya kosong.
Wajahnya tidak lagi percaya diri.
Tidak lagi licik.

Dan di luar jeruji besi, puluhan suara perempuan yang dulu ia kira akan diam—akhirnya bicara bersama.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh