Karena Kita Sudah Terlalu Lama

 Karena Kita Sudah Terlalu Lama


📖 Judul: "Karena Kita Sudah Terlalu Lama"

✍️ by: domino88
🎭 Genre: Romance, Drama, Slice of Life, Psychological
📍 Tagline: "Cinta yang tak lagi tumbuh... tapi juga tak bisa dilepaskan."


🌧️ Sinopsis:

Rey dan Nala telah berpacaran selama sembilan tahun. Mereka tumbuh bersama, melewati suka duka, dari masa kuliah hingga kini sama-sama bekerja. Tapi kini, Rey merasa hampa. Tak ada lagi debar di dada, tak ada lagi pelukan yang terasa hangat. Dia tak tahu apakah ini cinta, kebiasaan, atau sekadar rasa bersalah karena sudah bersama terlalu lama.

Ketika seorang perempuan baru masuk dalam hidup Rey dan menyentuh sisi dirinya yang telah lama mati, Rey dihadapkan pada pilihan: bertahan karena sejarah, atau pergi demi kejujuran?


📘 Bab 1: Rutinitas yang Bernama Kita

Jam menunjukkan pukul 06.45 pagi.

Rey duduk di meja makan, menatap roti panggang di piringnya tanpa benar-benar lapar. Di seberangnya, Nala sibuk dengan laptop, sambil menyeruput kopi seperti biasa. Sunyi. Hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan di langit-langit apartemen kecil mereka.

"Sayang, kamu makan roti nggak habis lagi," ujar Nala tanpa menatapnya.

Rey tersenyum kecil. “Iya, nanti aku habisin.”

Itu percakapan mereka pagi ini. Sama seperti kemarin. Dan kemarinnya lagi. Seperti template yang diulang-ulang.

Rey menatap wajah Nala—wajah yang dulu membuatnya deg-degan waktu pertama kali mengajaknya jadian di depan fakultas. Sekarang? Entah. Rasanya seperti melihat teman lama yang sudah terlalu akrab, sampai tak tahu lagi harus bicara apa.

Mereka sudah bersama sejak semester dua. Melewati masa skripsi, wisuda, cari kerja, pindah kota. Nala orang baik, setia, sabar, tahu segalanya tentang Rey—termasuk kebiasaannya menunda makan dan lupa ganti kaos kaki.

Tapi akhir-akhir ini, Rey merasa aneh.

Bukan karena Nala berubah. Justru karena semuanya terlalu tetap. Terlalu tenang. Terlalu... dingin.

“Jam 8 kamu ada meeting, kan?” tanya Nala.

“Iya,” jawab Rey singkat. “Kamu juga jangan lupa bawa jas hujan, katanya sore bakal hujan.”

Nala mengangguk. “Iya, makasih udah ingetin.”

Lalu hening lagi.

Hatinya seperti ingin bicara sesuatu, tapi otaknya selalu menahannya. Rey sering bertanya dalam hati: Apakah aku masih mencintainya? Atau hanya nggak tahu caranya pergi setelah sejauh ini?

📘 Bab 2: Pertemuan yang Tak Direncanakan

Sore itu, hujan turun seperti yang diperkirakan. Deras dan tanpa aba-aba.

Rey baru saja keluar dari gedung kantornya di bilangan Sudirman ketika ia menyadari jas hujannya tertinggal di rak apartemen. Sejenak ia menatap langit kelabu, ragu, lalu memutuskan menunggu di halte kecil dekat minimarket.

Hujan mengguyur jalanan seperti meluruhkan semua suara, kecuali deru kendaraan dan tumpahan pikiran di kepala.

“Mas Rey?”

Suara itu datang begitu saja—seolah mencolek masa lalu yang sudah Rey lupa. Ia menoleh cepat. Sosok perempuan berdiri di depannya, memakai blazer biru muda yang sudah setengah basah. Rambut hitamnya dikuncir longgar, wajahnya… familiar.

“Sena?” Rey agak ragu.

Perempuan itu tertawa kecil. “Akhirnya masih ingat juga.”

Sena—teman satu angkatan waktu kuliah dulu. Rey pernah satu kelompok proyek besar dengannya. Mereka tak dekat, tapi cukup sering tukar cerita di lorong fakultas. Sena yang dulu sering bicara soal impian dan laut. Sena yang sempat menghilang setelah semester akhir karena pindah kota.

“Apa kabar?” tanya Rey, sedikit kikuk.

“Baik. Kamu?” balas Sena, lalu ikut duduk di sebelah Rey di kursi halte.

“Masih hidup,” Rey tersenyum pahit.

Sena tertawa. “Jawaban klasik orang dewasa yang mulai bosan hidup, ya?”

Rey tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa didengar. Hanya dari satu kalimat ringan itu, Rey merasa... dirinya terlihat.

Mereka mengobrol tentang pekerjaan, masa kuliah, dan lucunya tak satu pun menyebut soal pasangan masing-masing. Saat Sena menatap matanya, Rey merasa ditelanjangi. Bukan tubuh, tapi isi kepalanya yang kosong selama ini.

“Aku sekarang kerja di agensi branding,” kata Sena. “Kadang nulis puisi juga, masih suka nulis?”

Rey tersenyum. “Udah lama berhenti. Kayaknya terakhir nulis waktu masih kuliah, pas masih... merasa hidup.”

Sena menoleh, memandangnya dalam. Hujan belum reda, tapi Rey tak lagi peduli. Dadanya hangat oleh hal yang tak bisa ia sebut.

Sebuah perasaan yang sudah lama tak mampir.

📘 Bab 3: Pulang yang Tak Lagi Dirasakan

Langit malam sudah cerah ketika Rey membuka pintu apartemen. Bau harum dari dapur menyambutnya—aroma masakan Nala yang dulu bisa membuatnya pulang lebih cepat, kini hanya seperti pengingat bahwa ia tak pernah benar-benar pergi.

Nala menoleh dari dapur, mengenakan apron kotak-kotak abu-abu yang sama sejak dua tahun lalu.

“Kamu kehujanan?” tanyanya, sedikit khawatir.
“Duduk dulu, aku buatin teh hangat.”

Rey mengangguk, meletakkan tasnya lalu duduk di sofa, diam. Suasana apartemen begitu familiar, terlalu akrab, sampai-sampai tak menyisakan ruang untuk rindu.

Nala datang membawakan teh, duduk di sebelahnya.

“Tadi pulangnya bareng siapa?” tanyanya, santai. “Kelihatan lepek banget.”

“Sendiri. Numpang berteduh aja tadi.” Rey menyesap teh, lalu menatap cangkirnya lama-lama.

Nala mengangguk tanpa curiga. Dia bukan tipe yang cemburuan. Mungkin karena dia terlalu percaya, atau karena terlalu lelah untuk meragukan. Atau… karena cinta mereka sudah terlalu datar untuk ada gelombang rasa.

Rey ingin bercerita—tentang Sena, tentang tawa yang ia rindukan, tentang dadanya yang sempat bergetar siang tadi. Tapi ia hanya berkata, “Hari ini macet banget.”

“Oh. Pantas kamu kelihatan capek banget.” Nala merapikan rambut Rey, seperti biasa. Gerakan otomatis yang penuh kasih… atau kebiasaan?

Rey menatap wajah Nala. Ada garis lelah di bawah matanya. Ia tahu, Nala pun lelah. Tapi tetap bertahan. Sama seperti dirinya.

Dan justru itu yang membuat Rey makin sesak—karena mereka tak pernah bertengkar hebat, tak pernah menyakiti, tapi juga tak pernah merasa benar-benar hidup lagi.

“Kita ngapain sih, Na?” tanya Rey lirih, nyaris tak terdengar.

Nala menoleh. “Apa?”

Rey menggeleng. “Nggak. Cuma ngomong sendiri.”


Malam itu, mereka tidur bersebelahan, punggung saling membelakangi. Rey membuka ponselnya diam-diam, melihat chat dari Sena:

“Hujannya reda, tapi obrolan kita belum. Lain kali kita lanjut ya, Mas Rey.”

Rey menatap layar itu lama. Lalu mematikan ponsel. Menutup mata.

Tapi tak juga bisa tidur.

📘 Bab 4: Pertanyaan yang Tak Pernah Terucap

Pagi datang tanpa sapaan.

Nala sudah bangun lebih dulu. Dapur berisik oleh denting sendok dan aroma telur orak-arik yang menguar ke seluruh ruangan. Rey membuka mata pelan, tubuhnya masih lemas oleh malam yang tak memberinya tidur layak.

Ia bangkit, berjalan ke dapur, menatap punggung Nala dalam diam.

“Nala…”

“Hm?”

“Kamu... bahagia nggak sih?”

Tangan Nala terhenti. Ia tak langsung menoleh, hanya diam selama dua detik sebelum menjawab, “Kenapa tiba-tiba tanya gitu?”

“Cuma kepikiran aja,” jawab Rey. “Kita udah sembilan tahun, tapi... rasanya kayak... kita cuma saling menunggu waktu.”

Nala menoleh, wajahnya tenang. “Kamu mau pergi dari aku?”

Pertanyaan itu seperti tamparan. Tapi bukan karena marah—melainkan karena Nala tak kaget. Seolah ia sudah menyimpan pertanyaan itu lama di hatinya, tapi memilih bungkam demi mempertahankan bentuk yang disebut hubungan.

“Belum tahu,” jawab Rey jujur. “Tapi kadang aku ngerasa kita cuma bertahan karena udah terlalu lama bersama. Bukan karena masih cinta.”

Nala tersenyum kecil, pahit. “Aku juga sering mikir gitu.”

Rey menunduk. Hening menyelimuti mereka. Tak ada drama, tak ada teriakan. Yang ada hanya dua manusia yang akhirnya mengakui luka yang sama-sama mereka tutupi dengan rutinitas.

“Aku sayang kamu, Rey,” kata Nala pelan. “Tapi aku juga lelah jadi satu-satunya yang terus berusaha membuat semuanya tetap terasa hidup.”

Rey ingin meraih tangan Nala, tapi tangannya menggantung di udara. Jauh di dalam hatinya, dia tahu: cinta yang tak dihidupi perlahan akan menjadi mayat yang tetap dipeluk.


Siang itu, Rey menerima pesan lagi dari Sena.

“Kamu sempat bilang kamu berhenti nulis. Tapi aku nggak percaya. Kamu masih hidup, Rey. Hanya belum sadar.”

Dan anehnya, dari semua pesan yang masuk hari itu, hanya kalimat itu yang membuat Rey benar-benar ingin menulis lagi—mungkin juga hidup lagi.

📘 Bab 5: Langkah Pertama Menuju Dosa atau Kejujuran?

Rey duduk di kursi pojok sebuah kafe kecil di daerah Blok M. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah pejalan kaki yang lalu-lalang di bawah langit kelabu. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin.

Detik demi detik berlalu, hingga seseorang duduk di depannya.

Sena.

Berbalut coat krem, dengan senyum yang hangat tapi mata yang tajam—menelanjangi luka yang bahkan Rey sendiri belum tahu bentuknya.

“Masih suka nunggu terlalu cepat, ya?” Sena tertawa kecil.

Rey tersenyum. “Kebiasaan buruk yang nggak pernah hilang.”

Hening sesaat. Lalu Sena membuka pembicaraan.

“Kamu baik-baik aja?”

Rey menarik napas. “Gimana ya... Aku hidup. Tapi... bukan berarti aku baik-baik aja.”

Sena tak menjawab, hanya menatap Rey seperti menunggu kalimat selanjutnya. Rey pun akhirnya jujur pada seseorang selain dirinya sendiri.

“Aku merasa terjebak, Sen. Aku sayang Nala, tapi aku juga tahu hubungan ini udah kayak... kapal yang bocor. Nggak tenggelam, tapi juga nggak kemana-mana.”

Sena menatapnya dalam. “Terus... kenapa kamu masih bertahan?”

Rey tertawa pelan, pahit. “Mungkin karena takut memulai dari nol. Atau karena ngerasa nggak punya hak untuk menyakiti orang yang selalu ada buat aku.”

“Kadang, Rey,” kata Sena pelan, “bertahan juga bisa jadi bentuk lain dari menyakiti. Apalagi kalau kamu udah nggak jujur sama diri sendiri.”

Rey terdiam. Kata-kata itu menghantam keras.

Sena menatapnya lekat-lekat, lalu berkata,

“Aku bukan orang yang bisa menyelamatkan kamu, Rey. Tapi kalau kamu butuh tempat untuk jadi diri sendiri... aku ada.”

Kalimat itu membuat dada Rey sesak—bukan oleh bahagia, tapi oleh ketakutan. Apakah ini awal dari kejujuran... atau awal dari pengkhianatan?


Sore itu, saat Rey kembali ke apartemen, Nala sedang duduk di ruang tamu. Tak ada senyum. Hanya tatapan yang membuat Rey berhenti di ambang pintu.

“Kamu ketemu siapa hari ini?”

Pertanyaan itu akhirnya datang.

Rey membuka mulut, tapi suara tak keluar. Untuk pertama kalinya, ia tak bisa memilih antara berkata jujur... atau tetap menjadi pengecut.

📘 Bab 6: Retak yang Tak Bisa Lagi Ditambal

Ruangan itu sunyi. Hanya ada Rey dan Nala, dipisahkan oleh tatapan yang tak lagi saling mencari, melainkan saling menunggu siapa yang bicara lebih dulu.

“Kamu ketemu siapa hari ini?” ulang Nala, kali ini lebih pelan, namun dalamnya terasa seperti ujung pisau.

Rey duduk perlahan di sofa seberangnya. “Sena.”

Nala mengangguk. Tidak kaget. Tidak marah. Tapi justru itulah yang membuat dada Rey makin berat.

“Kamu suka dia?”

Rey menunduk. “Aku nggak tahu, Na. Aku bahkan nggak yakin aku tahu apa itu ‘suka’ lagi sekarang.”

Nala menghela napas panjang. “Jadi selama ini kamu cuma... nunggu aku sadar sendiri?”

“Bukan gitu.”

“Terus gimana?” suara Nala mulai bergetar. “Kita ini apa, Rey? Rumah? Museum? Sisa-sisa kenangan yang terus kita peluk cuma karena takut kehilangan arah?”

Rey tak sanggup menjawab.

Nala berdiri, lalu masuk ke kamar. Beberapa menit kemudian ia keluar membawa satu koper kecil. Gerakannya tenang, tapi jelas sudah dipikirkan.

“Aku nggak mau jadi pilihan kedua,” katanya lirih. “Aku nggak marah kamu berubah. Aku cuma marah karena kamu membiarkan aku percaya semuanya masih baik-baik saja.”

“Nala, jangan begini...”

“Kenapa? Kamu sendiri juga pengin pergi, kan?” ia menatap Rey lurus. “Tapi kamu nggak berani bilang karena kamu tahu, akulah satu-satunya alasan kamu merasa jadi manusia.”

Satu kalimat itu menghantam Rey lebih keras dari apapun yang pernah ia dengar.

“Kita saling menggantung, Rey. Dan aku nggak mau jadi gantungan yang kamu jadikan alasan buat nggak bergerak.”

Nala melangkah ke pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi.

“Aku mencintaimu. Tapi kadang, cinta juga harus tahu kapan menyerah.”


Pintu tertutup. Rey terduduk. Tak menangis, tak marah—hanya sunyi yang menggantung, seperti lubang di dinding yang dulu penuh foto mereka.

Untuk pertama kalinya, Rey merasa sendirian. Tapi juga... kosong yang jujur.

📘 Bab 7: Kebebasan yang Terasa Seperti Hukuman

Hari-hari berikutnya, apartemen terasa seperti ruang hampa. Rey berjalan tanpa tujuan, menatap dinding yang dulu penuh dengan kenangan dan tawa yang kini hanya menyisakan bayang-bayang sunyi.

Kebebasan yang dulu diidamkannya, kini terasa seperti hukuman.

Rey merasakan setiap detik yang berlalu, kosong dan berat.

Ia menghubungi Sena. Mereka bertemu kembali di kafe yang sama, tapi suasana kali ini berbeda.

Sena menatap Rey penuh perhatian, tanpa pertanyaan menghakimi.

“Kamu kuat, Rey. Tapi jangan lupa, kuat itu bukan berarti harus menyendiri,” kata Sena lembut.

Rey tersenyum tipis. “Aku masih belajar, Sen.”

Sena mengulurkan tangan, menggenggam tangan Rey.

“Kita mulai lagi dari sini. Aku akan mendukung kamu.”

Mata Rey berkaca-kaca. Mungkin ini awal sebuah babak baru, sebuah kesempatan untuk hidup yang lebih jujur—meskipun jalan kejujurannya tak selalu mudah.

📘 Bab 8: Membangun Kembali dari Reruntuhan

Tiga minggu sejak Nala pergi.

Apartemen yang dulu terasa sempit kini terasa terlalu lapang. Dinding yang pernah dihiasi foto-foto kenangan kini kosong. Hening bukan lagi jeda antar percakapan, melainkan latar utama dari hari-hari Rey.

Tapi dari reruntuhan itu, sesuatu perlahan tumbuh—bukan harapan yang besar, tapi setitik keberanian untuk mengenal dirinya sendiri kembali.

Pagi itu, Rey bangun tanpa alarm. Ia menyeduh kopi dan duduk di dekat jendela, membuka laptop yang sudah lama terkubur dalam debu. Tangannya gemetar saat membuka folder lama bernama "Tulisan Rey". Di sana, ada puluhan draf puisi dan cerita yang belum selesai—seperti dirinya.

Ia mulai mengetik. Bukan untuk orang lain, bukan untuk dibaca siapa pun. Tapi untuk dirinya sendiri.


Sore harinya, ia bertemu Sena di sebuah taman kecil di tengah kota. Sinar matahari senja menembus celah pepohonan, menciptakan siluet yang menenangkan.

“Gimana hari-harimu?” tanya Sena.

“Sunyi,” jawab Rey jujur. “Tapi... perlahan aku mulai berdamai dengan sunyi itu.”

Sena tersenyum. “Itu langkah pertama.”

Rey memandang Sena lama-lama. Ada kenyamanan yang tumbuh, tapi berbeda dengan yang dulu ia miliki bersama Nala. Ini bukan pelarian, tapi penyadaran—bahwa cinta tak selalu datang untuk menambal luka, kadang ia hadir untuk menemani proses sembuh.

“Aku nggak tahu hubungan kita akan jadi apa, Sen. Tapi aku mau mulai belajar mencintai dengan sadar, bukan karena kebiasaan.”

Sena menatapnya hangat. “Dan aku akan ada di sini, selama kamu mau jujur sama dirimu sendiri.”

Mereka duduk berdua, tanpa banyak kata. Tak perlu janji-janji manis. Yang ada hanyalah dua orang yang memilih untuk hadir—dalam versi terbaik dan terjujur dari diri masing-masing.

📘 Bab 9: Jika Aku Bertemu Diriku yang Lama

Hari itu, hujan turun lagi.

Seperti latar yang tak pernah lelah mengiringi bab-bab penting dalam hidup Rey. Dan seperti takdir yang terlalu tepat waktunya, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Rey dari nomor yang tak pernah ia hapus.

“Bisa ketemu sebentar? Aku cuma mau bicara. – Nala”

Rey menatap layar cukup lama sebelum membalas.

“Temui aku di tempat biasa.”


Sore itu mereka bertemu di bangku taman di belakang universitas lama mereka. Tempat pertama kali Rey menyatakan cinta, dengan tangan gemetar dan suara bergetar. Kini, mereka duduk lagi di bangku yang sama—bukan sebagai kekasih, tapi sebagai dua manusia yang telah belajar melepaskan.

Nala mengenakan sweater abu-abu dan membawa satu map kecil di tangannya. Ia tampak tenang, tapi dari matanya, Rey tahu: masih ada sesuatu yang tersimpan di dalam.

“Terima kasih udah mau datang,” ucap Nala pelan.

Rey mengangguk. “Aku yang seharusnya berterima kasih.”

Hening.

Lalu Nala membuka pembicaraan.

“Kamu tahu, setelah pergi dari apartemen itu… aku nangis dua malam. Bukan karena kamu. Tapi karena aku kehilangan versi diriku yang terlalu lama aku pertahankan.”

Rey menggigit bibirnya. Dadanya sesak.

“Aku sadar... kita berdua terlalu takut untuk mengecewakan. Kita bertahan karena kita baik, bukan karena kita bahagia.”

Rey menatap matanya, lalu berkata, “Kalau aku bisa kembali ke versi diriku yang lama, aku akan bilang: jangan pernah mencintai seseorang hanya karena takut kehilangan kenangan.”

Nala tersenyum kecil. “Dan aku akan bilang ke diriku yang dulu: jangan bertahan dalam hubungan yang tak membuatmu tumbuh, hanya karena kamu takut memulai lagi dari nol.”

Ia menyerahkan map kecil di tangannya.

“Apa ini?” tanya Rey.

“Foto-foto kita. Aku simpan yang paling penting. Tapi sekarang waktunya kamu simpan juga. Biar kita sama-sama tahu bahwa kisah ini pernah berarti, walaupun akhirnya tak bisa dipertahankan.”

Rey memeluk map itu seperti memeluk masa lalu. Tapi kali ini, bukan untuk menahannya—melainkan untuk benar-benar mengikhlaskannya.

Nala berdiri, menatap Rey satu kali lagi.

“Selamat membangun hidup baru, Rey. Aku nggak akan ada di dalamnya. Tapi aku akan selalu mendoakan kamu.”

Rey menatapnya, dengan air mata yang ia biarkan jatuh tanpa malu.

“Terima kasih. Untuk segalanya.”


Langkah kaki Nala menjauh, perlahan hilang di antara gerimis. Dan Rey? Ia duduk di bangku itu cukup lama, lalu tersenyum.

Karena akhirnya ia bisa mengucapkan perpisahan tanpa dendam, tanpa penyesalan.

Hanya... kelegaan.

📘 Bab 10: Cinta yang Tidak Lagi Sama, Tapi Masih Layak Diperjuangkan

Beberapa bulan telah berlalu sejak hari itu. Sejak hujan menjadi saksi dua orang yang memilih jalan masing-masing dengan tenang, meski hati mereka gemuruh.

Rey kini tinggal di apartemen yang berbeda. Lebih kecil, tapi terasa lebih hidup. Di sudut ruangannya ada meja tulis kecil, tempat ia menulis lagi. Bukan puisi untuk dikenang, tapi kisah baru yang sedang ia bangun.

Dan hari itu, ia berdiri di depan pintu studio kecil tempat Sena bekerja.

Pintu terbuka sebelum Rey sempat mengetuk.

“Aku tahu kamu bakal datang,” kata Sena sambil tersenyum.

“Terima kasih udah nunggu,” ucap Rey.

Mereka duduk di sofa yang penuh tumpukan kertas dan sketsa desain. Tak ada kecanggungan, hanya kesadaran bahwa ini bukan awal kisah yang sempurna. Tapi juga bukan cerita yang terpaksa.

Rey membuka suara lebih dulu. “Aku udah melepaskan Nala. Bukan karena aku jatuh cinta sama kamu... tapi karena aku sadar, aku harus jujur sama diriku sendiri dulu.”

Sena menatapnya penuh pengertian. “Dan sekarang?”

“Sekarang,” Rey menatap mata Sena, “aku ingin mencoba. Bukan untuk mengulang kisah lama, tapi membangun yang baru—bersama seseorang yang mau berjalan bareng, bukan hanya bertahan.”

Sena tersenyum. “Kalau kamu siap, aku juga siap.”

Mereka berpegangan tangan. Pelan. Tak ada api membakar dada seperti di masa muda, tapi ada ketenangan yang jauh lebih berharga: rasa yang tumbuh dari keberanian, bukan keterpaksaan.


Di luar, matahari senja menembus tirai. Tak ada hujan kali ini.

Hanya langit jingga yang menggantung pelan—seperti memberi restu pada dua hati yang memilih mulai, bukan karena waktu yang lama... tapi karena cinta yang tak lagi sama, namun akhirnya bisa tumbuh kembali.

📘 Epilog: Cinta Tidak Selalu Harus Abadi, Tapi Harus Jujur

Di dunia yang dipenuhi cerita cinta berakhir bahagia, tidak semua kisah ditutup dengan pelukan atau pelaminan. Beberapa kisah selesai hanya dengan tatapan yang saling memahami, dan langkah menjauh yang tidak saling menahan.

Rey dan Nala adalah kisah yang seperti itu.

Mereka tidak gagal. Mereka pernah saling mencintai, bertahan, dan mencoba. Tapi cinta tidak bisa hidup hanya dari kebiasaan. Dan ketika keberanian untuk jujur datang, mereka memilih melepaskan dengan cara paling manusiawi: menerima bahwa cinta pun bisa mati... dan itu bukan salah siapa-siapa.

Hari-hari Rey kini lebih tenang. Ia tak lagi menulis untuk melarikan diri, tapi untuk mengingatkan dirinya siapa ia sebenarnya.

Dan Sena?

Ia bukan "pengganti". Ia adalah saksi dari versi Rey yang sedang dibangun ulang—perlahan, jujur, dan tidak tergesa-gesa.

Di suatu pagi, saat mereka duduk berdua menatap jendela dan langit mendung di luar, Rey berkata pelan:

“Kalau suatu hari kita sampai di titik di mana rasa ini memudar... ingetin aku, ya. Biar kita nggak berakhir seperti dulu.”

Sena menggenggam tangannya.

“Aku nggak janji kita bakal abadi. Tapi aku janji kita akan saling bicara sebelum sunyi mengambil segalanya.”

Mereka tersenyum. Tidak karena bahagia yang sempurna. Tapi karena sekarang, mereka tahu: cinta bukan hanya soal waktu... tapi keberanian untuk terus memilih satu sama lain, setiap hari.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh