Ketika yang Tak Kucinta Pergi
Ketika yang Tak Kucinta Pergi
Judul: Ketika yang Tak Kucinta Pergi
Genre: Drama, Romance, Slice of Life
Tagline: "Kau pergi… dan aku baru tahu, ternyata aku kehilangan."
Sinopsis:
Arka selalu yakin bahwa cinta hanya pantas diberikan pada seseorang yang benar-benar istimewa. Dan Sayra? Dia bukan siapa-siapa. Hanya teman yang terlalu sering ada. Terlalu sering bertanya. Terlalu sering peduli.
Arka tidak mencintainya.
Namun ketika Sayra pergi tanpa kabar, tidak lagi hadir di tiap pagi dengan senyuman dan kopi hitam favoritnya… kekosongan mulai terasa.
Itu bukan cinta, kan?
Atau… sejak kapan kehilangan bisa sebegitu sunyinya?
π Bab 1: Bukan Siapa-siapa
“Lo nggak pernah benar-benar ada di hati gue, Sayra. Lo tahu itu, kan?”
Ucapan itu meluncur dari mulut Arka begitu saja, seperti sekadar membuang sampah pikiran yang mengganggu.
Sayra diam. Tidak ada tangisan. Tidak ada protes. Hanya seulas senyum tipis—yang bahkan Arka tidak sempat tafsirkan.
Esoknya, Sayra tidak muncul. Tidak ada notifikasi pesan. Tidak ada panggilan. Tidak ada kopi hitam yang biasa muncul setiap pagi di atas meja kerjanya.
Awalnya, Arka senang. Tidak ada yang mengganggu. Tidak ada tanya-tanya “Udah makan belum?” atau komentar sok peduli tentang lingkaran hitam di matanya.
Tapi tiga hari berlalu. Seminggu.
Dan bangku kosong di kafe favorit mereka mulai terasa seperti tempat penghakiman. Sunyi. Sepi. Mati.
Dia bukan siapa-siapa, kan?
Jadi kenapa diamnya begitu nyaring?
π Bab 2: Mencari Jejak yang Hilang
Arka mulai membuka chat lama mereka.
Sayra: “Kopi hitam, no sugar. Biar kamu tetap pahit tapi jujur.” ☕
Sayra: “Aku tahu kamu nggak suka dijagain. Tapi kadang jagain itu bukan soal cinta. Tapi soal peduli.”
Pesan-pesan yang dulu dianggap biasa, sekarang terasa seperti harta karun yang hilang maknanya.
Dia mencoba menelepon.
Nada tunggu.
Lalu kotak suara.
“Sayra, ini gue. Lo ke mana sih?”
Sepi lagi.
Tiba-tiba, semua hal kecil yang dulu Arka abaikan—tawa Sayra, ocehannya, bahkan cara dia mengejek gaya rambut Arka—menjadi kenangan yang menggantung di udara.
Dia nggak cinta. Tapi kenapa dadanya sesak?
π Bab 3: Bukan Cinta, Tapi Kehilangan
Seminggu kemudian, Arka melihat Sayra di taman dekat kampus. Duduk sendiri, menatap langit.
Dia berjalan mendekat, ragu.
“Lo ngilang kemana aja?” tanyanya.
Sayra menoleh. Matanya teduh, tapi ada jarak di sana.
“Gue cuma berhenti maksa ada buat orang yang nggak butuh.”
Arka terdiam.
Dia ingin bilang, gue butuh lo sekarang, tapi lidahnya kelu.
“Apa lo marah?” tanyanya pelan.
Sayra tersenyum, seperti biasa. Tapi tidak seramah dulu.
“Enggak, Ka. Gue cuma lelah. Bukan karena lo nggak cinta. Tapi karena gue terus ada, dan lo nggak pernah sadar.”
Arka duduk di sampingnya. Untuk pertama kalinya, dia tidak tahu harus bilang apa. Dan mungkin, itu pertama kalinya dia sadar... kehilangan orang yang katanya bukan siapa-siapa, ternyata lebih menyakitkan dari kehilangan cinta.
π Bab 4: Ada yang Berubah
Sejak pertemuan di taman itu, Arka merasa ada yang berubah.
Sayra masih ada. Kadang terlihat di kampus. Kadang duduk di kafe yang sama, tapi tidak lagi menyapa. Tidak lagi duduk di hadapannya. Hanya menyendiri, dengan bukunya, atau senyumnya yang kini bukan untuknya.
Dan itu... menyiksa.
“Dia bukan milik lo,” ujar Gino, sahabat Arka, saat mereka duduk di kantin. “Lo tahu itu kan?”
Arka tidak menjawab. Dia tidak tahu apakah rasa ini cinta, atau sekadar kesepian yang terlalu keras.
Tapi satu hal dia tahu: Sayra tidak lagi sama.
Dan itu menyakitkan.
π Bab 5: Antara Cinta dan Ego
Suatu malam, Arka berdiri di depan rumah Sayra. Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu.
Sayra membukanya, terkejut.
“Ka?” suaranya pelan.
“Ada yang mau gue bilang,” ucap Arka, berusaha tegas. “Gue... mungkin gue salah. Waktu itu. Soal lo. Soal perasaan gue.”
Sayra menatapnya, lama.
“Arka... lo bilang sendiri gue bukan siapa-siapa.”
“Aku tahu,” kata Arka. Kali ini dia memakai kata ‘aku’. “Tapi kehilangan lo... ternyata lebih parah dari yang pernah gue bayangin.”
Sayra tersenyum kecil, tapi matanya berkaca.
“Arka, kadang kehilangan bukan soal siapa yang pergi, tapi siapa yang telat sadar.”
π Bab 6: Diam yang Tak Lagi Nyaman
Hari-hari berlalu.
Sayra tetap menjaga jarak. Tidak memusuhi. Tidak juga mendekat.
Sementara Arka mulai belajar menunggu. Hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya.
Dia mulai belajar diam. Tapi kini diamnya bukan karena dingin—melainkan takut. Takut kehilangan lagi. Takut menyesal lebih dalam.
Dia mencoba menunjukkan, bukan dengan kata-kata, tapi dengan kehadiran.
Mengirim pesan pendek.
"Udah makan?"
"Butuh ditemenin baca?"
Tak selalu dibalas. Tapi kadang Sayra membalas. Dan itu cukup. Setidaknya untuk hari itu.
Dan Arka tahu… ini bukan lagi soal cinta.
Ini soal seseorang yang dulu dianggap biasa, tapi ternyata paling berarti.
π Bab 7: Aku yang Terlambat
Waktu seperti musuh diam-diam yang kejam.
Setiap hari yang berlalu membuat Arka sadar: rasa yang ia tolak dulu ternyata tumbuh diam-diam. Rasa yang tidak sempat diberi nama sebelum semuanya terlalu jauh.
Sayra semakin jarang muncul. Bukan karena menghindar, tapi karena memilih.
Memilih untuk tidak lagi menggantungkan hidupnya pada seseorang yang tak pernah menggenggam.
Dan Arka? Dia menyesal—diam-diam, dalam-dalam.
“Kadang, orang itu nggak benar-benar pergi. Kita aja yang telat sadar… dan mereka keburu lelah.”
π Bab 8: Saat Kau Tersenyum untuk Orang Lain
Suatu sore, Arka melihat Sayra tersenyum pada orang lain. Lelaki asing yang duduk di sampingnya, tertawa kecil dengan buku di tangan.
Itu bukan cemburu, bukan marah. Tapi lebih ke rasa ditinggal—oleh sesuatu yang pernah begitu dekat, dan sekarang... bukan lagi miliknya.
Dia tidak datang menghampiri. Tidak menyapa.
Dia hanya duduk beberapa bangku jauhnya. Diam, dan membiarkan hatinya patah pelan-pelan.
Untuk pertama kalinya, Arka ingin kembali ke hari ketika Sayra masih menunggu jawabannya.
Dan ia ingin menjawab:
“Mungkin gue nggak tahu gimana caranya mencintai waktu itu. Tapi sekarang… gue tahu rasanya kehilangan yang lo maksud.”
π Bab 9: Haruskah Aku Bicara Lagi?
Malam itu, Arka menulis pesan panjang. Kalimat demi kalimat ia susun. Semua tentang penyesalan. Tentang ketidaktahuannya. Tentang rasa yang tumbuh setelah kepergian.
Sayra, kalau lo masih mau denger… gue cuma pengen bilang, terima kasih udah pernah ada. Dan maaf… udah nggak bisa jaga lo saat lo masih mau tetap tinggal.
Tapi pesan itu tak pernah ia kirim.
Kadang, yang paling menyakitkan bukan ditinggal...
Tapi menyadari: orang yang dulu rela bertahan untukmu, kini bahagia... tanpamu.
π Bab 10: Waktu yang Tersisa
Beberapa bulan berlalu.
Arka fokus pada hidupnya. Tidak lagi berusaha mencari Sayra, tapi tidak juga melupakannya. Dia mulai memahami bahwa mencintai seseorang juga berarti... merelakannya bahagia meski bukan dengan kita.
Namun takdir kadang punya caranya sendiri mempertemukan kembali mereka yang pernah saling kehilangan.
Di sebuah pameran seni kampus, Arka melihat sosok itu lagi.
Sayra.
Dengan rambut yang sedikit lebih panjang. Dengan mata yang tetap sama teduhnya.
Mereka beradu pandang.
Lalu tersenyum.
π Bab 11: Tanpa Janji
Mereka tidak saling tanya kabar. Tidak saling ungkit masa lalu. Hanya duduk bersama di bangku panjang, menatap lukisan tentang waktu dan perpisahan.
“Lo kelihatan lebih damai sekarang,” ujar Arka.
Sayra mengangguk. “Gue belajar. Dari lo. Dari perasaan gue sendiri.”
Arka menunduk. “Gue terlambat, ya?”
Sayra tersenyum.
“Bukan soal cepat atau lambat, Ka. Tapi soal siapa yang masih mau tinggal... setelah semuanya.”
Mereka terdiam.
Tapi diam kali ini… tidak lagi sesak.
π Bab 12: Mungkin, Kita Tidak Harus Kembali
Beberapa hari kemudian, Sayra mengirim pesan pendek.
“Terima kasih sudah hadir di waktu yang dulu… meski nggak sempat utuh.”
Arka membaca berulang kali. Tidak membalas.
Karena ia tahu, tidak semua cerita butuh akhir bahagia.
Beberapa hanya butuh dipahami.
Dan beberapa... cukup dikenang.
π️ Epilog: Yang Tersisa di Antara Kita
Sayra kini menjalani hidupnya sendiri—lebih utuh, lebih kuat.
Arka pun demikian—belajar mencintai tanpa harus memiliki, belajar melepaskan tanpa harus membenci.
Dan walaupun mereka tak lagi berjalan beriringan…
Mereka tahu:
Pernah ada masa ketika mereka saling mengisi.
Dan itu sudah cukup.
“Kadang, yang paling kita abaikan… justru yang paling kita cari saat hilang.”
Tapi saat ditemukan kembali… kadang kita sadar: yang hilang tak harus kembali. Yang penting... pernah ada.
Komentar
Posting Komentar