Kita yang Bertemu Lagi Saat Sudah Tak Sama

 Kita yang Bertemu Lagi Saat Sudah Tak Sama


✍️ by: domino88
🎭 Genre: Drama Emosional, Romance, Second Chance, Self-Growth
πŸ“ Tagline: “Mereka yang telah sembuh… masihkah bisa jatuh cinta lagi?”


🌟 Sinopsis Season 3:

Setelah perjalanan panjang melupakan dan menyembuhkan, Rey dan Nala telah menemukan hidup mereka masing-masing. Rey kini menjadi penulis tetap di sebuah penerbit besar dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Nala semakin dikenal sebagai ilustrator dan mulai membuka ruang seni miliknya sendiri.

Namun saat sebuah proyek kolaborasi nasional mempertemukan keduanya kembali—sebagai dua profesional yang tak lagi saling terikat, tetapi belum sepenuhnya kehilangan rasa—masa lalu perlahan bangkit bukan sebagai luka… tapi sebagai cermin.

Di sisi lain, hadir dua sosok baru yang mulai mengisi ruang kosong mereka: Tara, seorang editor muda dengan kehangatan tak terduga, dan Arga, rekan bisnis Nala yang tenang namun memiliki masa lalu yang hampir serupa.

Apakah mereka akan berani mencintai lagi?
Atau mereka akan belajar bahwa tidak semua pertemuan ulang dimaksudkan untuk kembali?


πŸ“˜ Bab 1 – Season 3: Saling Lihat, Tapi Tidak Lagi Saling Pegang

Rey menatap layar laptopnya. Judul naskah terbaru di atasnya: “Jatuh Cinta Setelah Pulih”. Ia tersenyum kecil. Ironis. Karena justru kini, ia merasa paling siap membuka hati.

Di tengah naskah itu, sebuah email masuk dari redaksi:

“Rey, kamu akan jadi pembicara untuk event peluncuran antologi ‘Luka yang Bertumbuh’. Tim visual dari proyek ini akan dikepalai oleh Nala Prameswari. Semoga kamu nyaman bekerja bareng ya.”

Rey terdiam. Lama.

Hidup ternyata punya selera humor yang unik.

Di waktu dan kota yang sama, Nala sedang duduk di ruang kerja barunya. Sebuah email yang sama masuk ke kotak masuknya. Ia membaca nama Rey dengan napas yang sedikit tercekat, tapi... ia tidak menghindar.

Ia hanya bergumam pelan:

“Kalau memang harus ketemu lagi, semoga kali ini kita tidak saling menyakiti.”

πŸ“˜ Bab 2 – Season 3: Tata Letak Jarak yang Baru

Gedung acara yang dipakai untuk peluncuran antologi “Luka yang Bertumbuh” tampak megah, tapi hangat. Sebagian besar pengisi acara adalah penulis dan seniman visual dari berbagai kota—duduk berdampingan, berdiskusi, tertawa, dan mempersiapkan presentasi mereka masing-masing.

Rey datang lebih dulu. Ia mengenakan setelan santai dengan kemeja abu-abu, rambut disisir seadanya, seperti biasa. Di pundaknya tergantung lanyard bertuliskan Pembicara Utama.

Tak lama kemudian, langkah pelan terdengar. Rey menoleh… dan di sana, berdiri Nala.

Ia tampak lebih dewasa—dengan setelan blouse putih sederhana dan celana hitam lebar. Rambutnya kini disanggul rapi. Tatapannya tak lagi menghindar. Tidak seperti dulu.

“Hai,” sapa Nala pelan.

“Hai,” jawab Rey, mencoba tersenyum.

Sejenak, dunia terasa diam.

Mereka berdiri dalam jarak aman. Tak saling mendekat. Tapi juga tak perlu mundur.

“Jadi… kita akan satu panggung lagi?” Nala mencoba mencairkan suasana.

Rey mengangguk. “Tapi kali ini, nggak ada naskah tersembunyi di antara kita.”

Nala tertawa kecil. “Mungkin kita akhirnya bisa jadi profesional beneran.”

Tapi mereka tahu, bukan sekadar soal profesionalisme.
Ada ruang yang tetap terasa… kosong dan familiar. Ruang yang dulu diisi oleh cinta, dan kini hanya ditempati oleh ingatan.


Di belakang panggung, Tara—editor dari penerbit Rey—memperhatikannya. Ia muda, cerdas, dan punya senyum yang lembut. Sudah beberapa bulan bekerja sama dengan Rey, dan diam-diam… mulai merasa nyaman berada di dekatnya.

“Kamu kelihatan agak... canggung,” kata Tara, sambil menyerahkan catatan rundown.

Rey mengangguk. “Sedikit deja vu aja.”

“Kalau kamu butuh ruang... aku bisa jadi tameng,” ujar Tara setengah bercanda.

Rey menatapnya, dan tersenyum. Tapi di matanya, ada perasaan yang belum bisa dijelaskan: antara nyaman… dan takut membuat orang lain masuk sebelum dirinya benar-benar siap.


Sementara itu, di sisi lain ruangan, Nala berbicara dengan Arga—desainer grafis yang juga co-founder galeri barunya. Arga adalah pria pendiam, penuh perhatian, dan tak pernah memaksa.

“Jadi itu mantan kamu?” tanya Arga sambil menyusun materi visual ke layar.

Nala tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Rey yang sedang berbicara dengan Tara.

“Bukan sekadar mantan. Dia dulu... rumah. Tapi rumah itu udah lama kebanjiran dan kami nggak sempat beresin bareng-bareng.”

Arga menoleh ke Nala. “Kamu masih tinggal di rumah itu, atau udah pindah?”

Nala tersenyum pelan. “Aku lagi renovasi hatiku sendiri.”

πŸ“˜ Bab 3 – Season 3: Yang Tak Lagi Sama, Tapi Masih Mengerti

Acara peluncuran hampir selesai. Beberapa peserta mulai bubar. Aula mulai lengang, hanya tersisa tim inti dan para pembicara yang masih menyusun materi sisa untuk sesi komunitas malam.

Di salah satu sudut panggung yang sudah sepi, Rey duduk sambil memainkan botol air mineral di tangannya. Tak lama, Nala datang menghampiri, membawakan dua gelas kopi.

“Mungkin pahitnya bisa mengimbangi heningnya,” katanya pelan.

Rey tersenyum, menerima gelas itu.

“Masih suka kopi hitam?” tanya Nala.

“Sekarang udah bisa nerima pahit, asal bukan dari orang,” jawab Rey, setengah bercanda.

Mereka tertawa kecil.

Untuk pertama kalinya setelah waktu yang begitu panjang, mereka duduk berdua—tidak untuk menyelesaikan pertengkaran, tidak untuk mempertahankan hubungan, tapi hanya… berbicara.

“Gimana kabar kamu… yang sebenarnya?” tanya Rey, menatap lurus ke depannya.

Nala menghela napas. “Aku baik. Kadang sepi, tapi sepi yang nggak menyiksa. Aku belajar jalan tanpa harus dituntun.”

“Dan kamu?” balas Nala.

Rey menatap langit-langit aula. “Aku juga belajar berdamai. Sama diriku, sama kenangan kita. Sama keputusan yang akhirnya kita ambil.”

Ada diam.

Bukan canggung. Tapi menenangkan.

Lalu Rey berkata,

“Aku pikir dulu cinta itu harus selalu saling punya. Tapi ternyata, kadang cinta itu justru tentang membiarkan yang kita sayang tumbuh tanpa kita.”

Nala menoleh pelan. “Dan kadang, cinta juga bukan harus dimiliki… tapi cukup dimengerti.”

Mereka saling pandang. Tidak ada luka. Tidak ada harapan kosong.

Hanya pengakuan.

Bahwa mereka pernah saling mencintai.
Bahwa mereka pernah gagal.
Dan bahwa kini, mereka… adalah dua orang yang sudah tidak sama,
tapi masih mengerti satu sama lain dengan cara yang paling tulus.

πŸ“˜ Bab 4 – Season 3: Jalan yang Mulai Bertemu Lagi di Tengah Rasa Baru

Sudah seminggu sejak peluncuran antologi.

Rey duduk di salah satu sudut kafe kecil langganannya, menunggu Tara. Penerbit baru meminta mereka berdiskusi soal naskah selanjutnya. Tapi jauh di balik naskah dan draft, ada sesuatu yang tak lagi bisa Rey abaikan: kenyamanan yang perlahan tumbuh.

Tara datang dengan langkah cepat, membawa dua dokumen dan satu senyum.

"Maaf telat, Rey. Tadi kena macet."

"Tenang aja. Aku juga baru datang... dua puluh menit yang lalu," jawab Rey setengah bercanda.

Tara tertawa. Mereka mulai membicarakan isi draf, lalu timeline cetak, lalu perubahan minor dari bab pertama.

Tapi di tengah pembicaraan, ada jeda yang terasa lain.

“Rey,” Tara tiba-tiba berkata, “boleh aku jujur?”

Rey menoleh, sedikit tegang. “Boleh.”

“Aku suka cara kamu bicara soal luka. Bukan karena sedihnya, tapi karena kamu tahu cara bikin orang lain ngerasa dimengerti.” Ia berhenti sejenak. “Dan aku rasa... itu yang bikin aku nyaman sama kamu.”

Rey terdiam. Lalu menunduk.

“Aku senang kamu bilang gitu, Tara. Tapi aku juga harus jujur... aku belum tahu, perasaan ini milik sekarang, atau sisa dari masa lalu yang belum sepenuhnya lepas.”

Tara tak tersinggung. Ia justru mengangguk pelan. “Kalau gitu, izinkan aku tetap duduk di sebelah kamu. Bukan untuk buru-buru jadi apa-apa. Tapi untuk hadir… sampai kamu yakin.”


Di sisi lain kota, Nala dan Arga sedang menata ulang studio kecil mereka. Proyek seni kolaboratif untuk galeri nasional menuntut desain baru yang lebih ekspresif.

Malam itu, saat mereka membereskan rak dan kabel-kabel, Arga berkata tanpa melihat Nala,

“Aku nggak pengin kamu bingung karena aku hadir, Nal.”

Nala diam, lalu menoleh.

“Aku nggak bingung karena kamu. Aku cuma... masih belajar membedakan antara butuh dan benar-benar ingin.”

Arga mendekat. Tak terlalu dekat. Tapi cukup untuk suaranya terdengar lembut.

“Kalau aku boleh milih, aku nggak pengin kamu butuh aku. Aku pengin kamu tahu kamu bisa berdiri tanpa aku... tapi kamu tetap memilih aku.”

Nala menatap mata Arga. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak menghindar.

“Aku juga pengin kayak gitu, Ga. Tapi aku minta satu hal…”

“Apa?”

“Jangan bantu aku sembuh. Bantu aku tumbuh.”

πŸ“˜ Bab 5 – Season 3: Ketika Langkah Tak Lagi Didikte Masa Lalu

Rey berjalan sendirian di koridor pameran seni yang diadakan oleh galeri tempat Nala dan Arga bekerja. Bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena dia benar-benar penasaran dengan karya terbaru yang banyak dibicarakan.

Di salah satu dinding, ia berhenti.

Sebuah lukisan abstrak penuh warna: biru tua bercampur merah pudar, garis-garis tipis seolah ditarik paksa—tapi tidak hancur. Di bawahnya tertulis:
“Tumbuh dari Luka yang Tidak Pernah Diminta”
— Nala Prameswari

Rey tersenyum kecil. Ia tidak tahu apakah Nala tahu ia datang. Tapi melihat lukisan itu membuatnya sadar: mereka berdua sudah sampai di titik yang tak lagi dikendalikan oleh masa lalu. Bukan karena melupakan, tapi karena memilih arah baru.


Di ruang belakang, Nala sedang membersihkan kuas saat Arga masuk membawa dua gelas air dingin.

“Kamu tahu Rey datang?” tanya Arga.

Nala hanya tersenyum. “Aku nggak undang, tapi juga nggak keberatan kalau dia datang.”

Arga menyerahkan gelasnya. “Dan kamu... udah siap benar-benar berjalan tanpa bayangannya?”

Nala menatap Arga, dalam. “Bayangan itu sekarang nggak lagi menakutkan. Karena aku udah belajar memeluknya… bukan buat menggenggam, tapi buat berdamai.”

Arga mengangguk. Lalu menggenggam tangan Nala—bukan untuk memaksa, tapi untuk menunjukkan bahwa ia ada.

Dan Nala… membalas genggaman itu.


Di sisi lain, Rey dan Tara duduk di luar gedung galeri setelah pameran selesai. Hujan turun perlahan, membasahi kota malam yang tenang.

Tara bertanya, “Kalau suatu hari nanti kamu siap… kamu pengin mulai dari mana?”

Rey menatap hujan. Lalu menjawab,

“Dari seseorang yang nggak pengin jadi pelarian. Tapi pengin jadi tujuan.”

Tara tersenyum.

“Kalau gitu, mungkin aku akan tetap duduk di sini… nunggu hujannya reda bareng kamu.”

Dan malam itu, tidak ada deklarasi cinta.
Tidak ada ciuman.
Tidak ada ‘jadi’ atau ‘balik lagi’.

Tapi ada satu hal yang Rey tahu pasti:

Langkahnya kini tak lagi digerakkan oleh luka,
tapi oleh keberanian untuk menerima yang baru.

πŸ“˜ Bab 6 – Season 3: Berani Bahagia Tanpa Syarat

Dua minggu setelah pameran seni, Rey dan Tara menghabiskan sore di taman kota. Bukan kencan. Bukan diskusi naskah. Hanya dua orang yang sedang belajar membiarkan waktu berjalan tanpa tekanan.

“Aku suka duduk kayak gini,” kata Tara sambil menyuap es krimnya. “Tenang, nggak ada ekspektasi.”

Rey menoleh. “Kamu tahu kenapa aku nyaman sama kamu, Ta?”

Tara tersenyum kecil. “Karena aku nggak pernah nanya ‘kapan kita jadi’?”

Rey tertawa. “Itu juga. Tapi lebih karena kamu nggak pernah maksa aku sembuh lebih cepat. Kamu biarin aku bernapas… di waktuku sendiri.”

Tara hanya menjawab dengan anggukan. Lalu diam-diam, Rey menggenggam tangannya.

Bukan sebagai janji. Tapi sebagai awal.
Karena kali ini, Rey memilih… bukan karena takut sendiri, tapi karena ingin tumbuh bersama.


Sementara itu di studio seninya, Nala berdiri memandangi proyek visual yang hampir selesai. Arga masuk membawa makanan seperti biasa.

“Gue nggak masak, tapi beli ayam penyet langganan kamu,” katanya.

Nala tertawa pelan. “Selera gue nggak pernah berubah, ya?”

Arga duduk di sampingnya. “Tapi kamu berubah. Kamu udah lebih tenang sekarang.”

Nala menatapnya, lama. Lalu berkata pelan,

“Aku siap kalau kamu mau melangkah bareng aku. Bukan karena aku kesepian. Tapi karena aku pengin tahu rasanya jalan bareng seseorang yang nggak pengin menyelamatkan aku, tapi mau tumbuh bareng.”

Arga menatap matanya. “Kita nggak perlu terburu-buru, Nal. Tapi kalau kamu bilang 'mau', aku akan tetap ada.”

Dan malam itu, mereka makan sambil tertawa kecil. Tak ada kalimat cinta yang diumbar. Tapi jelas terlihat:
Nala telah memilih, bukan sebagai pelarian… tapi sebagai keberanian untuk berbahagia, tanpa syarat.


Mereka tak saling tahu kabar masing-masing.
Rey tak tahu bahwa Nala akhirnya menerima genggaman Arga.
Nala pun tak tahu bahwa Rey mulai membiarkan Tara masuk ke ruang hatinya.

Tapi mereka berdua tahu satu hal yang sama:

Bahagia itu bukan siapa yang datang kembali…
tapi siapa yang tetap tinggal saat kita sudah tak lagi menggantungkan harapan pada siapa-siapa.

πŸ“˜ Bab 7 – Season 3: Jika Suatu Hari Kita Bertemu Lagi…

Bandara pagi itu ramai tapi tenang. Suara pengumuman keberangkatan menggema di setiap sudut, namun tak ada yang benar-benar terburu-buru. Hanya langkah-langkah pelan dari mereka yang sedang berpamitan—pada kota, pada pekerjaan, atau pada kenangan.

Rey duduk di kursi ruang tunggu, menunggu boarding ke Jogja untuk menghadiri acara sastra. Di tangannya, sebuah buku kecil berjudul “Yang Tidak Kita Akui”. Di sampul dalamnya, tertulis tangan seseorang:

Untuk Rey.
Terima kasih sudah membiarkan aku sembuh tanpa rasa bersalah.
– Nala

Ia tersenyum kecil. Lalu menatap sekeliling… dan di sudut kanan area keberangkatan, Rey melihat sosok yang sangat ia kenal.

Nala. Dengan ransel kecil dan sweater krem. Rambutnya diikat rapi, dan di tangannya... buku yang sama.

Mereka saling menatap. Sejenak. Lalu berjalan mendekat, tanpa ragu.

“Lucu ya,” ucap Nala lebih dulu. “Dari semua tempat di dunia, kita ketemunya di sini.”

Rey tersenyum. “Mungkin semesta belum puas ngeliat kita diem-diem nyimpen sisa kalimat.”

Mereka tertawa kecil. Tapi kali ini, tidak getir.

“Ke mana?” tanya Rey.

“Bandung. Ada workshop mural. Kamu?”

“Jogja. Bedah buku.”

Hening sejenak. Lalu Nala berkata,

“Kamu kelihatan damai, Rey.”

“Dan kamu... kelihatan selesai.”

Nala mengangguk pelan. Lalu menatap mata Rey dalam-dalam.

“Kalau suatu hari kita bertemu lagi… saat kita benar-benar tak punya apa-apa lagi untuk dibahas… kamu tahu apa yang ingin aku katakan?”

“Apa?”

“Terima kasih. Karena pernah jadi rumah. Tapi lebih dari itu… terima kasih karena kita akhirnya sama-sama berani pergi.”

Rey tak menjawab. Ia hanya tersenyum.

Lalu sebelum suara boarding memanggil mereka ke arah yang berbeda, Nala berkata pelan:

“Kita sudah terlalu lama mencintai luka. Sekarang, saatnya kita belajar mencintai bahagia.”

Dan mereka pun berpisah.

Tanpa janji.
Tanpa harapan untuk kembali.
Tapi dengan kedamaian yang… tak pernah mereka rasakan sebelumnya.

πŸ“˜ Epilog: Yang Tersisa Hanya Doa yang Diam

Tahun berganti.

Buku-buku Rey makin dikenal di kalangan pembaca puisi. Ia tak pernah bicara tentang “Nala” lagi di wawancara mana pun. Tapi jika seseorang cukup teliti membaca antara bait-baitnya, mereka akan menemukan sosok perempuan yang hadir dalam bentuk kenangan, bukan penyesalan.

Rey tak menikah cepat. Tapi ia tenang.
Tara masih ada di sisinya—bukan sebagai pengganti siapa pun, melainkan sebagai perempuan yang datang saat Rey akhirnya mencintai dirinya sendiri lebih dulu.

Dan dari Tara, Rey belajar satu hal:
Bahwa bahagia bukan datang dari siapa yang pertama hadir…
tapi dari siapa yang mau berjalan perlahan, tanpa meminta apa-apa.


Sementara itu, Nala membuka kelas seni kecil untuk anak-anak jalanan di Bandung. Ia tak lagi berambisi mengejar pengakuan, karena karyanya kini tumbuh dari ruang yang paling jujur—ruang yang dulu pernah luka, kini menjadi taman.

Arga tetap mendampingi. Bukan sebagai bayangan Rey yang hilang, tapi sebagai lelaki yang tidak pernah meminta Nala melupakan. Hanya menemani… sambil menjaga. Dalam diam, dan setia.

Nala kini tersenyum bukan untuk menutupi sepi,
tapi karena hatinya tahu: ia sudah cukup.
Sudah utuh.


Kadang, hidup tak memberi kita akhir yang indah.
Tapi memberi kita keberanian… untuk menyambut akhir dengan kepala tegak.

Rey dan Nala kini menjalani hidup masing-masing. Tak pernah lagi bertukar pesan. Tapi kadang, saat hujan turun perlahan, atau saat aroma kopi menyelinap pagi hari… nama mereka masih berdesir di dada.

Bukan untuk dipanggil kembali.
Tapi untuk disenyumi.
Lalu dilepas, seperti kenangan yang sudah dimaafkan.


Karena cinta yang dewasa tahu… bahwa tidak semua yang berharga harus dimiliki.
Kadang cukup didoakan diam-diam—dari jauh, tanpa perlu kembali.

πŸ“˜ TAMAT – “Karena Kita Sudah Terlalu Lama”
by domino88




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh