Langit dan Awan

 Langit dan Awan


Bab 1: Murid Baru

Hari pertama di semester baru selalu terasa membosankan bagi Awan. Dia lebih suka duduk di pojok kelas sambil menulis lirik lagu di balik buku catatannya. Tapi hari ini berbeda.

"Anak-anak, kita kedatangan murid baru," ujar Bu Sinta dari depan kelas.
Suasana kelas langsung riuh. Murid baru selalu menjadi topik hangat.

Langkah kaki pelan terdengar memasuki kelas. Seorang gadis berambut panjang dengan mata tajam berdiri di depan papan tulis.

"Nama saya Langit Aditya. Senang bertemu kalian," ucapnya singkat.

Awan menoleh perlahan dari kursinya. Entah kenapa, mata Langit langsung mengunci pandangannya padanya. Detik itu juga, Awan merasa... ada sesuatu yang berbeda.

Bab 2: Nama yang Familiar

Awan tak bisa berhenti memikirkan nama gadis itu—Langit Aditya.

“Pernah dengar nama itu sebelumnya…” gumamnya di kamar, sembari memandangi coretan lagu di buku miliknya. Tapi, tidak ada wajah yang muncul di ingatannya.

Keesokan harinya, seperti biasa, Awan datang lebih pagi. Kelas masih sepi. Saat ia duduk, suara lembut menyapanya dari arah jendela.

“Kau selalu datang lebih pagi, ya?”

Awan menoleh. Langit berdiri di dekat jendela, cahaya pagi menyapu wajahnya. Dia terlihat... seperti dalam mimpi.

“Eh… iya,” jawab Awan kaku.

Langit tersenyum. "Kau masih suka menulis lagu?"

Awan langsung menegang. Ia tidak pernah bilang itu ke siapa-siapa.

“Kok kamu tahu?”

Langit tidak menjawab. Ia hanya berjalan pelan menuju bangkunya.
Awan menatap punggung gadis itu dengan mata membulat.

Siapa sebenarnya Langit?


Bab 3: Sketsa di Balik Buku

Hari-hari berlalu. Langit dan Awan tidak sering berbicara, tapi setiap pertemuan terasa... penuh makna.

Suatu hari, saat Awan secara tak sengaja menjatuhkan buku gambar Langit, ia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam.

Sebuah sketsa.
Potret dirinya.
Tapi... lebih muda.
Dan di sampingnya, seorang gadis kecil—berambut panjang, bermata tajam.

Di bawah gambar itu tertulis:
“Kau pernah janji takkan lupa.”

Awan mendadak pusing. Ingatannya seperti dihantam gelombang. Sekilas bayangan masa kecil muncul, samar.

Langit merebut bukunya cepat. “Jangan lihat tanpa izin,” ucapnya dingin.

Tapi Awan hanya menatapnya.
“Kita… pernah kenal, ya?”

Langit tak menjawab. Tapi dari tatapan matanya, jawabannya sudah jelas.

Bab 4: Rahasia di Taman Belakang

Awan tidak bisa tidur malam itu.

Sketsa dalam buku gambar Langit terus membayanginya. Wajah gadis kecil di samping dirinya dalam gambar itu... begitu familiar. Tapi ia tak bisa mengingat siapa dia.

Keesokan harinya, saat istirahat, Awan diam-diam mengikuti Langit yang berjalan sendirian keluar dari gedung sekolah. Bukan ke kantin. Bukan ke perpustakaan. Tapi ke arah taman belakang sekolah yang sudah jarang dipakai.

Tempat itu seperti dunia lain—sunyi, ditumbuhi bunga liar dan pohon tinggi. Beberapa bangku kayu sudah lapuk dimakan waktu.

Langit duduk di salah satu bangku. Membuka buku gambarnya. Menggambar lagi.

Awan bersembunyi di balik pohon. Tapi Langit berbicara tanpa menoleh.

“Kau mengikutiku?”

Awan melangkah keluar, merasa malu.

“Aku... hanya mau tanya satu hal.”

Langit menutup bukunya perlahan. “Apa?”

“Siapa gadis kecil di gambar itu?”

Langit menatapnya lama, lalu bertanya balik, “Apa kau masih suka bermain petak umpet di hutan kecil dekat panti asuhan?”

Awan menegang. Kata-kata itu seperti palu menghantam dadanya.

“A-aku… pernah tinggal di panti?” tanyanya lirih.

Langit menatapnya, matanya berkaca-kaca.

“Kau lupa segalanya, ya?” bisiknya.

Angin berembus pelan, membawa aroma bunga dan memori yang terkubur dalam.

“Kita bertemu di sana. Kau adalah satu-satunya orang yang pernah berjanji... untuk mencariku kembali.”

Awan tidak tahu harus berkata apa. Ingatannya masih kabur, tapi hatinya—entah kenapa—percaya.

Dia duduk perlahan di sebelah Langit. Untuk pertama kalinya, tak ada jarak.

Dan untuk pertama kalinya, Langit membuka sedikit dari rahasia yang selama ini ia simpan sendiri.

Bab 5: Surat yang Tertinggal

Hari-hari berikutnya, Awan dan Langit mulai lebih sering bersama.

Mereka tidak membicarakan masa lalu secara langsung. Tapi setiap tatapan Langit, setiap diamnya... terasa penuh arti. Awan tahu, gadis itu sedang menunggu dirinya mengingat. Dan Awan… mulai ingin mengingat segalanya.


Suatu sore, saat membersihkan kamar, Awan menemukan kotak sepatu lama di atas lemari. Isinya campur aduk: kaset, kartu pos, buku cerita anak… dan sebuah amplop kusam, dengan tulisan tangan kecil:

"Untuk Awan, kalau kau lupa."

Jantung Awan berdetak lebih cepat. Tangannya bergetar saat membuka surat itu.

"Halo Awan.

Kalau kau baca surat ini, mungkin kau sudah lupa semuanya. Tapi aku belum. Aku ingat semua: taman belakang, lagu yang kau nyanyikan saat aku menangis, dan janji kita di bawah pohon besar.

Aku bilang, aku takut kau akan pergi. Dan kau bilang, “Aku akan kembali. Walau dunia berubah, aku akan tetap mencarimu.”

Hari itu kau dibawa pergi. Aku menunggumu. Tahun demi tahun.

_Aku masih di sini. Menunggumu.

– Langit_

Air mata Awan jatuh tanpa bisa ditahan. Perlahan, potongan-potongan ingatan kembali. Pohon besar. Suara tangis. Janji kecil dengan suara gemetar.

Malam itu, Awan menulis lagu baru. Bukan sekadar lirik biasa—ini seperti suara hatinya sendiri, yang akhirnya menemukan jalan pulang.


Keesokan paginya, ia menemui Langit di taman belakang. Ia membawa gitar.

Langit hanya tersenyum saat melihatnya.
“Kau ingat?” tanyanya pelan.

Awan mengangguk. “Sedikit demi sedikit… dan aku akan mengingat semuanya.”

Ia mulai memetik gitar. Lagu yang tak pernah selesai dulu, akhirnya memiliki akhir.

Dan Langit… meneteskan air mata. Tapi kali ini, bukan karena kesedihan. Tapi karena akhirnya, seseorang menepati janji yang pernah hampir ia lupakan.

Bab 6: Jejak di Balik Panti Asuhan

Beberapa hari setelah Awan membaca surat dari masa kecilnya, ia dan Langit memutuskan untuk kembali ke tempat segalanya bermula: Panti Asuhan Melati, tempat mereka pertama kali bertemu—dan tempat kenangan Awan hilang.

Tapi saat mereka tiba di sana, kejutan pertama menanti.

Panti itu... sudah tutup.

Gerbangnya berkarat, cat dinding mengelupas, dan papan nama yang dulu berdiri tegak kini miring, nyaris roboh. Tapi saat Awan memegang gerbang besi tua itu, desiran dingin menjalari tubuhnya. Sesuatu di tempat ini memanggil ingatannya—dan sekaligus memperingatkan.

“Sejak kapan tutup?” tanya Awan lirih.

Langit menatap bangunan itu tanpa berkedip. “Tujuh tahun lalu. Setelah ‘kejadian itu’.”

Awan menoleh cepat. “Kejadian apa?”

Langit menunduk. Tangannya mengepal.

“Aku gak pernah cerita soal ini ke siapa-siapa. Bahkan setelah kau pergi, aku... terus menyelidiki.”

Ia menarik napas panjang.

“Dulu, ada dua anak yang hilang dari panti. Tanpa jejak. Tak ada pencarian. Tak ada laporan. Mereka hanya... menghilang.”

Awan menatap Langit dalam diam. Detik demi detik berlalu.

“Dan... aku yakin, salah satunya adalah kakakku.”


Mereka menyusuri halaman belakang panti. Rerumputan liar tumbuh tinggi. Tapi di dekat pohon besar—yang dulu jadi tempat bermain mereka—Langit berhenti.

Di tanah, tertanam papan kayu kecil yang sudah usang. Tertulis samar:

“L.A.”

Langit berlutut, menyentuh papan itu.

“Aku tanam ini untuk kakakku, waktu dia dinyatakan hilang. Namanya juga Langit. Aku diberi nama yang sama karena aku lahir... sehari setelah dia hilang.”

Awan terdiam. Dunia seolah berhenti.

“Jadi… kamu bukan Langit yang bersamaku dulu?”

Langit menatapnya. “Aku bukan Langit itu. Aku adiknya. Tapi aku tahu kamu adalah satu-satunya yang bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.”

Bab 7: Anak Ketiga yang Hilang

Awan tak bisa tidur malam itu.

Pikiran tentang Langit yang asli—anak yang hilang bertahun-tahun lalu—mengusik hatinya. Ia mencoba mengingat lebih keras. Kepingan memori berserakan di kepalanya seperti puzzle. Tapi ada satu potongan yang tidak pernah cocok.


Keesokan harinya, ia menemui Langit (adik) di perpustakaan lama kota. Mereka menelusuri arsip panti asuhan yang dipindahkan ke sana sebelum bangunan itu ditutup.

Setelah berjam-jam mencari, Awan menemukan satu folder lusuh bertuliskan:

DAFTAR PENGHUNI – MELATI – TAHUN 2011

Langit membuka halaman demi halaman dengan napas tertahan. Ada foto-foto anak. Nama. Tanggal masuk. Dan…

Nomor 27: Langit Ariawan
Nomor 28: Awan Mahendra
Nomor 29: Elang Mahendra

Awan memucat.
“Mahendra? Sama sepertiku…”

Langit menatapnya tak percaya. “Kamu punya... saudara?”

Awan gemetar. Tiba-tiba, ingatannya meledak seperti badai.


[Flashback – 2011]

Tiga anak laki-laki bermain di halaman panti. Dua bersaudara: Awan dan Elang. Mereka saling menjaga. Tapi suatu hari, Elang menghilang. Tidak ada yang mencarinya. Awan panik. Ia menangis di bawah pohon besar… bersama seorang anak perempuan—Langit.

Langit menggenggam tangannya dan berkata:
“Kalau kita besar nanti… cari aku, ya. Dan cari dia juga.”


Awan tertegun.
“Elang… adalah kakakku. Aku… melupakannya.”

Langit meletakkan tangan di bahu Awan. “Ada yang aneh. Kenapa semua anak yang menghilang tak pernah dicari? Dan kenapa kamu lupa semuanya?”

Awan menggeleng. “Aku gak tahu… Tapi aku yakin, ini bukan cuma soal panti.”


Mereka memindai ulang semua berkas. Dan di bagian bawah folder, terselip selembar kertas kecil. Tulisan tangan, usang, hampir tak terbaca:

"Yang tahu terlalu banyak... akan diam selamanya."
– P

Langit dan Awan saling pandang.
Mereka tahu… ini baru awalnya.

Bab 8: Inisial “P” dan Ruang Bawah Tanah

Malam itu, Langit dan Awan kembali ke panti asuhan.
Langit membawa senter dan buku sketsa, sementara Awan membawa gitar kecil—bukan untuk bernyanyi, tapi menyimpan kamera kecil yang ia sembunyikan di dalamnya, hanya untuk berjaga-jaga.

Bangunan itu sunyi dan berdebu. Dinding-dindingnya penuh lumut, seperti menyimpan bisikan masa lalu yang ingin tetap terkubur.

Mereka masuk dari jendela samping yang rusak.


“Aku pernah baca, di bagian belakang ada ruang bawah tanah. Dulu katanya tempat penyimpanan barang lama,” bisik Langit.

Mereka menuruni lorong gelap. Awan menyinari tiap langkah dengan senter. Di ujung lorong, mereka menemukan sebuah pintu besi tua… terkunci dengan rantai dan gembok besar.

“Buntu,” gumam Awan.

Langit menatap sekitar, lalu mengarah ke sisi kiri pintu—dan menemukan papan tua yang goyang.

“Coba ini…”

Mereka membongkarnya perlahan dan menemukan lubang kecil… cukup besar untuk satu orang merangkak masuk.

Mereka saling pandang. Tanpa kata, Awan masuk lebih dulu. Langit menyusul.


Ruang Bawah Tanah – 10:27 malam

Suasana di dalam terasa seperti ruangan tak berpenghuni selama bertahun-tahun. Bau lembab. Udara dingin menusuk.

Tapi saat senter menyapu tembok, mereka terdiam.

Gambar.
Sketsa wajah anak-anak.
Tertempel di dinding.
Sebagian tercoret.
Sebagian… ditulis inisial:

  • A.M

  • L.A

  • E.M

  • P.R

Langit menelan ludah. “Itu... Elang Mahendra. Awan Mahendra. Langit Ariawan… dan P.R? Siapa P?”

Awan menatap satu gambar besar di tengah ruangan. Seorang pria dewasa. Matanya tajam. Senyumnya dingin.

Tulisan di bawah sketsa:

"Pendiam. Pemurung. Penentu nasib."

P. Raharja – Kepala Panti Asuhan, 2007–2011

Langit bergidik.
“P… Raharja. Dia kepala panti sebelum panti ini ditutup.”

Tiba-tiba, terdengar bunyi berderak dari atas. Langkah kaki.

Awan cepat-cepat mematikan senter. Mereka bersembunyi di balik lemari besi. Nafas mereka tercekat.

Seseorang masuk ke ruang bawah tanah.
Lampu senternya menyapu ruangan. Lalu terdengar suara berat… seperti bisikan:

“Aku tahu ada yang datang kembali… Anak-anak yang tak tahu diri…”

Langit memegang tangan Awan erat-erat. Awan menggenggam balik.

Langkah kaki makin dekat.

Lalu… suara itu berhenti.

Gelap.
Hening.
Dan seseorang membisikkan tepat di dekat mereka:

“Kalian seharusnya tidak kembali.”

Bab 9: Nama yang Tak Boleh Disebut

Langit dan Awan berhasil keluar dari ruang bawah tanah malam itu. Dengan napas tersengal dan jantung berdebar kencang, mereka kabur lewat lubang kecil, lalu berlari menembus semak-semak hingga keluar dari halaman panti.

Mereka tak sempat saling bicara. Tak ada waktu untuk bertanya siapa yang membisik, siapa yang mengintai. Tapi yang jelas… seseorang masih mengawasi panti. Dan tahu mereka datang.


Keesokan paginya, Awan sampai di sekolah dengan mata sembab. Di lorong sekolah, ia disambut dengan tatapan aneh dari beberapa teman. Beberapa berbisik. Ada yang tertawa. Awan bingung.

Sampai dia membuka loker.

Dan menemukan sesuatu.


Potongan-potongan kertas sobekan buku sketsa.

Bukan kertas biasa. Kertas-kertas itu memiliki gambar wajah anak-anak—wajah yang sama seperti yang ia dan Langit lihat semalam.

Dan di tengah semua sobekan itu, tertempel secarik kertas:

“Kau bisa lari dari masa lalu, Awan. Tapi tidak bisa sembunyi dari dosa.”
P

Tangannya gemetar. Siapa yang tahu mereka ke sana? Bagaimana bisa ada yang mengikuti?

Langit muncul dari ujung lorong, melihat wajah Awan. Ia langsung tahu ada yang tidak beres.


Di kelas, suasana jadi makin aneh. Ada satu kursi kosong di belakang. Biasanya ditempati oleh seorang siswa baru, yang tidak banyak bicara: Pram.

Langit memperhatikan: Pram akhir-akhir ini selalu memperhatikan mereka berdua. Diam-diam. Terlalu diam.

Dan lebih mencurigakan lagi—Pram punya buku gambar juga. Tapi bukunya tak pernah dibuka.


Saat pulang sekolah, Langit mengajak Awan menyelinap ke ruang guru untuk mencari data murid. Dia nekat.

Dan dari sana, mereka melihat satu hal yang membuat darah mereka membeku.

Nama lengkap Pram: Pramudya Raharja.
Anak kandung P. Raharja—mantan kepala panti.


Langit menatap Awan, berbisik, “Kalau dia anak dari pria itu… mungkin dia tahu apa yang terjadi dengan Elang. Dengan Langit. Dengan kita.”

Awan menggenggam buku sketsanya erat.
“Kalau dia tahu, kenapa diam? Atau… jangan-jangan dia bukan sekadar tahu. Tapi bagian dari semuanya?”

Langit menggeleng.
“Kita harus berhati-hati sekarang.”

Tapi mereka tak sadar…

Dari lorong luar ruang guru, sepasang mata memperhatikan mereka dalam diam.

Mata milik Pram.

Bab 10: Buku Gambar Kedua

Hari berikutnya, suasana di sekolah makin mencekam.

Awan mulai merasa diawasi. Di koridor, di lapangan, bahkan di ruang musik—di mana biasanya dia merasa paling bebas—ia merasa bayangan seseorang terus membuntutinya.

Langit juga mulai gelisah. Ia menyadari: Pram tidak masuk selama dua hari. Tapi anehnya, loker Pram masih dibuka setiap pagi, dan isinya berubah-ubah.

Sesuatu terjadi di balik layar. Dan mereka harus mencari tahu.


Sore hari, Langit menyelinap ke ruang seni. Dia tahu Pram sering meninggalkan tasnya di sana. Ia mencari dengan hati-hati… dan akhirnya menemukan buku sketsa milik Pram. Sampulnya hitam polos. Tak ada nama. Tapi begitu dibuka…

Halaman pertama: gambar wajah Elang.
Gambar itu jelas. Detail. Tapi... bukan gambar orang hidup.

Langit gemetar.

Halaman berikutnya: gambar Awan kecil. Berdiri di bawah pohon besar.

Lalu halaman ketiga...

Dirinya sendiri.
Dengan mata tertutup.
Seolah tertidur.
Atau… seolah sudah mati.

Langit menjatuhkan buku itu. Nafasnya tercekat.
Dia tahu Pram tahu terlalu banyak.


Tak lama kemudian, suara pintu berderit.

Langit menoleh cepat. Dan di sana… berdiri Pram.
Tenang. Diam. Menatap lurus.

“Buku itu bukan untukmu,” katanya.

Langit mundur selangkah.
“Kau… siapa sebenarnya?”

Pram menunduk, lalu berkata pelan:
“Aku adalah saksi. Dan… pewaris. Ayahku membangun dunia gelap di panti itu. Tapi aku… melukis agar aku tak lupa.”

Langit menatapnya dengan campuran takut dan bingung.
“Melukis… wajah-wajah yang hilang?”

Pram menatapnya lurus.
“Bukan hanya wajah yang hilang. Tapi wajah yang dibunuh.”

Langit menegang.

Pram melanjutkan.
“Awan… tidak seharusnya hidup. Dia diselamatkan oleh seseorang malam itu. Tapi… kau tahu siapa yang dikorbankan?”

Langit menahan napas.
“Kau bilang… Elang?”

Pram mengangguk.
“Dan sekarang, masa lalu ingin ditagih.”

Bab 11: Darah di Balik Janji

Langit berdiri terpaku. Kata-kata Pram menggema di kepalanya:

“Awan tidak seharusnya hidup… Tapi kau tahu siapa yang dikorbankan?”

“Aku... gak percaya,” gumam Langit.

Pram mendekat perlahan. Wajahnya tetap tenang, tapi ada sorot luka dalam matanya.

“Panti asuhan itu bukan cuma tempat penampungan. Itu tempat eksperimen. Ayahku… bukan hanya kepala panti. Dia bagian dari proyek pemerintah yang dibubarkan diam-diam.”

Langit menatapnya tak percaya. “Eksperimen… apa?”

Pram membuka lembaran terakhir buku sketsanya.

Di sana, ada denah. Ruangan bawah tanah panti, dengan catatan kecil:

“LAB RAHASIA — SUBJEK E.M & A.M”

Langit merinding. “E.M… Elang Mahendra. A.M… Awan Mahendra?”

Pram mengangguk pelan.
“Mereka dijadikan subjek percobaan. Tes ketahanan memori, trauma, hingga manipulasi kepribadian.”

Langit tertegun.
“Itu… kenapa Awan lupa semua masa lalunya?”

Pram menatap Langit dalam-dalam.
“Dan kenapa kau… masih mengingat sesuatu yang bahkan bukan milikmu.”

Langit mundur. “Maksudmu?”

Pram menarik napas. “Langit Ariawan yang asli… mungkin bukan kamu.”


Awan, yang diam-diam menguping dari balik pintu, langsung terpukul. Dadanya sesak.

Selama ini, dia percaya Langit adalah satu-satunya hal nyata dari masa kecilnya. Tapi sekarang… bahkan itu pun goyah.

Awan masuk, menatap Langit tajam.

“Kamu... siapa sebenarnya?”

Langit tak bisa menjawab.


📻 [Flashback - Sebuah Kenangan]
Malam hujan. Anak kecil berlari dalam gelap. Ada suara tembakan. Suara pintu dibanting. Seorang anak perempuan bersembunyi di balik lemari. Seorang laki-laki dewasa menyeret dua anak—kembar.

Dan seseorang berbisik:

“Ambil yang satu. Hapus ingatannya. Buat dia percaya... dia anak yang selamat.”


Kembali ke masa kini.
Awan menatap Pram.
“Aku… hasil percobaan?”

Pram mengangguk.
“Kau diselamatkan oleh seseorang yang tidak seharusnya mati. Dan seseorang… membayar harga itu.”

Langit melangkah maju. Suaranya gemetar.
“Aku mungkin bukan Langit yang asli… tapi aku tahu, saat aku menemukanmu dulu, aku ingin melindungimu. Dan itu bukan kebohongan.”

Awan menatapnya. Mata mereka bertemu. Tapi kini ada jarak di antara mereka. Terlalu jauh untuk dijangkau hanya dengan kata-kata.

Bab 12: Anak yang Dipilih

Awan duduk di dalam ruang kecil gelap yang hanya diterangi satu lampu gantung. Di hadapannya, seorang perempuan paruh baya dengan suara lembut: Bu Rana, guru bimbingan konseling yang diam-diam punya latar belakang sebagai praktisi hipnosis traumatik.

“Kau yakin mau membuka semua ingatan itu?” tanya Bu Rana.
Awan mengangguk. “Aku nggak bisa hidup dalam kebohongan terus.”


Sesi Hipnosis Dimulai...

Nafas Awan dituntun perlahan. Hening. Sunyi. Dunia terasa menjauh.

Dan lalu...

BAM!
Kilasan cahaya merah.
Jeritan anak kecil.
Tangisan Langit.
Dan…

Dirinya sendiri berdiri di tengah ruangan bawah tanah, memegang sesuatu—seperti jarum suntik, menatap tubuh yang tergeletak: seorang anak lelaki. Wajahnya seperti cermin.

Elang.


“Aku... yang... membunuh Elang?” bisik Awan dalam hipnosis.

Tapi gambarnya tak jelas. Semua bergoyang. Kabur. Ada suara lain—suara pria dewasa yang berteriak:

“HAPUS INGATANNYA! JANGAN SAMPAI DIA INGAT!”

Lalu... gelap.

Awan terbangun dengan napas tersengal.
Keringat dingin membasahi lehernya.
Langit menunggu di luar ruangan.

“Bagaimana?” tanya Langit.

Awan menatapnya… dan untuk pertama kalinya, ia terlihat takut bukan pada masa lalu—tapi pada dirinya sendiri.

“Aku… bukan korban. Aku mungkin... pelaku.”


Beberapa hari kemudian, Pram menemui Langit di taman belakang sekolah.

“Kau pikir hipnosis akan menjawab segalanya? Tidak,” ucap Pram.
“Awan tidak membunuh Elang. Tapi dia dipaksa memilih. Dan pilihannya... disesali seumur hidup.”

Langit menggenggam buku sketsa.
“Kau tahu semua ini sejak awal, kenapa diam?”

Pram menatap langit senja.
“Karena aku juga... dipilih. Aku bagian dari rencana itu. Tapi aku satu-satunya yang ingat semuanya.”


Flashback – Ruang bawah tanah, 2011

Tiga anak berdiri di depan pintu logam: Elang, Awan, dan Pram.

P. Raharja berdiri di balik kaca, mencatat, mengamati.
“Siapa di antara kalian yang punya ketahanan paling kuat?” katanya.

Dia menyuruh mereka bertarung, saling menguji kekuatan fisik dan mental.
Yang kalah… akan "dihilangkan".
Yang menang… akan diproses lebih jauh.

Dan malam itu… Elang kalah.

Tapi dia tidak dibunuh oleh Awan.
Dia berdiri dan menyerahkan dirinya.
Sambil berkata pada Pram:

“Jaga dia. Dia bukan anak yang jahat. Dia cuma… terlalu baik untuk tempat seperti ini.”

 

Bab 13: Kenangan yang Disembunyikan

Malam itu, Pram mengirimkan file suara ke ponsel Awan.
Tanpa nama file, tanpa penjelasan.
Hanya satu pesan:

“Ini malam terakhir Elang. Dengarkan.”

Awan ragu. Tangannya gemetar. Tapi ia tahu: ini satu-satunya cara untuk memahami semua.

Ia tekan tombol play.


🎙️ [Rekaman dimulai...]

Suara hujan deras. Petir menyambar di kejauhan.
Lalu... suara napas berat.

“Nama aku Elang Mahendra.
Kalau kamu dengar ini... berarti aku udah nggak ada.
Dan itu bukan salahmu, Awan. Dengarkan aku baik-baik.”

“Sejak kecil, kita selalu dibandingkan. Siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih tahan, siapa yang bisa bertahan hidup.”

“Tapi kamu… kamu punya hal yang aku gak punya. Kamu bisa memaafkan. Kamu bisa percaya.”

“Dan karena itu, kamu yang harus hidup.”

“Aku... memilih menyerah, Awan. Bukan karena lemah, tapi karena aku ingin kamu bebas. Aku ingin kamu jadi cahaya, bukan bayangan dari eksperimen kotor itu.”

“Tapi satu hal... Jangan pernah percayai dia. Pram. Dia bukan seperti yang kau pikir.”

🎙️ [Suara bergetar. Seperti seseorang sedang berjuang menahan tangis.]

“Dan satu lagi, untuk Langit...
...aku minta maaf. Maaf karena aku gak bisa jagain dia.”

🎙️ [Rekaman terputus.]


Awan menangis.
Tangis yang tak seperti biasanya. Bukan sekadar luka masa kecil. Tapi kesedihan karena seseorang mengorbankan segalanya untuk dirinya—dan dia bahkan tak mengingatnya.

Langit masuk ke kamar, menemukan Awan duduk di lantai, ponsel tergenggam erat.
“Kau dengar...?” tanya Langit pelan.

Awan menoleh, wajahnya merah dan lembab.
“Elang tahu semuanya. Dan dia percaya padaku. Tapi… dia juga bilang... jangan percaya Pram.”

Langit menatap jauh.
“Jadi… sekarang kita harus cari tahu: siapa sebenarnya Pram?”


Sementara itu…
Di suatu ruangan yang gelap, Pram sedang membuka lemari besi kecil.
Di dalamnya: sebuah foto tua—Elang, Awan, Langit… dan satu anak lagi.

Anak keempat.

Bab 14: Subjek Empat

Langit dan Awan kembali ke gedung panti lama yang sudah ditinggalkan. Mereka membawa senter, rekaman Elang, dan tekad yang sudah berubah jadi amarah dan luka.

Pintu berkarat di ruang bawah tanah itu terbuka setelah didobrak.

Mereka masuk. Dinding beton penuh goresan, bercak darah lama, dan sisa-sisa papan pengukur tinggi badan anak-anak.

Dan di pojok paling belakang… ada sebuah brankas tua.
Langit memecahkan kunci kombinasi setelah mencoba tanggal lahir Elang.

Klik.

Di dalamnya: catatan harian.


[Catatan Raharja – 20 Desember 2010]

“Hari ini, Subjek 4 menunjukkan perkembangan paling ekstrem. Ia bisa meniru emosi dengan sempurna. Bahkan bisa ‘menyerap’ trauma anak-anak lain.”

“Namun... dia tidak punya nama. Tidak butuh nama. Karena dia bukan anak, dia adalah ‘hasil’. Dan jika suatu hari eksperimen gagal… Subjek 4 akan menggantikan siapa pun yang dibutuhkan.”


Langit menegang.
“Awan… kau ingat Pram pernah bilang, ‘kau mungkin bukan Awan yang asli’?”

Awan mengangguk pelan.

Langit menunjukkan halaman terakhir catatan.
Di sana: foto empat anak.
Tiga sudah dikenali — Elang, Awan, dan Langit.
Tapi yang keempat...

Anak itu adalah... Pram.


Langit: “Jadi dia… Subjek Empat?”

Awan: “Tapi dia mengaku sebagai saksi. Kenapa dia bohong?”

Langit terdiam. “Karena dia gak bohong. Dia saksi... dan sekaligus pelaku. Dia tahu semua, karena... dia bisa merasakan semua.”

Awan mulai menggigil.
“Berarti… selama ini, dia hidup sebagai kita semua. Mengambil ingatan. Mencuri peran.”

Langit membaca catatan terakhir:

“Subjek 4 akan tumbuh tanpa identitas. Tapi akan belajar melalui penderitaan anak-anak lain. Dia akan menjadi siapa pun yang dibutuhkan… bahkan, jika harus menggantikan mereka yang mati.”


[Flashback Singkat – Rekaman Kamera CCTV tahun 2011]

Seorang anak—Pram—duduk diam di tengah ruangan. Di sekelilingnya, tubuh tiga anak sedang tidur.
Ia menatap satu per satu.

“Awan akan hidup, Elang akan mati, Langit… belum dipilih.”

Lalu ia berkata pada dirinya sendiri:
“Kalau mereka semua hancur… aku akan jadi yang bertahan.”


Kembali ke masa kini.
Langit dan Awan saling menatap. Nafas mereka terengah.

Langit: “Dia bukan saksi. Dia bukan penyelamat. Dia… sisa dari mimpi buruk yang gagal dibunuh.”

Awan: “Dan sekarang, dia mungkin satu-satunya yang bisa kita lawan… atau satu-satunya yang bisa bantu kita bertahan.”

Bab 15: Aku Adalah Semua Orang yang Kau Takuti

Tiga amplop.
Disusun rapi di meja kayu lapuk dalam kamar asrama yang pernah jadi tempat tidur Elang.

📩 Untuk Langit
📩 Untuk Awan
📩 Untuk Elang

Langit dan Awan berdiri terpaku. Tak berani menyentuhnya.
“Kita buka bersamaan,” ucap Awan.
Langit mengangguk.

Mereka membuka satu per satu.


✉️ Amplop untuk Langit

Isinya selembar foto: Langit kecil menangis memeluk boneka beruang.

Di baliknya, tulisan tangan Pram:

“Kamu adalah yang paling murni. Itu yang membuatmu jadi target.”
“Mereka menciptakan ‘Langit’ sebagai kontrol. Yang tak tahu apa-apa, agar bisa dijadikan penyeimbang bagi yang terlalu kuat.”
“Tapi kamu bertahan. Itu artinya... kamu lebih dari sekadar skenario.”

Langit terdiam. Perlahan ia duduk.


✉️ Amplop untuk Awan

Isinya rekaman suara—dari Pram.

🎙️ “Awan. Kamu bukan subjek. Kamu bukan proyek. Kamu adalah korban... yang mereka jadikan pelindung ilusi.”

🎙️ “Ketika Elang menyerah, mereka memindahkan semua identitasnya padamu. Nama. File. Bahkan... rasa bersalah.”

🎙️ “Tapi itu berarti, semua rasa sayang yang kau berikan... milikmu. Bukan buatan. Dan karena itu, kamu layak memilih.”

Awan menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara.


✉️ Amplop untuk Elang

Mereka tak berani buka.

“Dia sudah tiada,” kata Langit pelan.

Awan menggeleng. “Dia masih di sini. Di antara kita. Di dalam kita.”

Mereka buka bersama.

Isinya… potongan kecil dari sketsa terakhir Pram.

Gambar empat anak—berdiri saling membelakangi.
Tapi salah satunya menoleh. Dan anak itu… tidak punya wajah.

Di bawahnya:

“Karena yang tak diingat… tak pernah benar-benar pergi.”


Langit berdiri.
“Aku tahu di mana Pram.”

Awan menatapnya.

Langit menggenggam kuat kertas itu.
“Dia selalu kembali ke satu tempat: ruang observasi lama. Di sana… dia simpan semuanya. Ingatan. Rekaman. Kebenaran.”


📍 Ruang Observasi, Panti Asuhan Lama – Tengah Malam

Mereka masuk.
Dan di tengah ruangan, duduk seseorang.

Pram.
Tenang. Senyum samar. Di hadapannya: cermin besar.

“Kalian datang juga,” ucapnya.
“Sesuai yang kuprediksi.”

Langit: “Apa kau yang atur semua ini?”

Pram: “Bukan aku yang atur. Tapi aku yang pahami semuanya. Karena aku… adalah kalian semua. Aku pernah jadi Langit. Pernah jadi Awan. Bahkan... pernah jadi Elang.”

Awan mendekat. “Tapi siapa kamu sebenarnya?”

Pram menatap cermin. “Aku? Aku hanyalah sisa dari mereka yang kalian lupakan. Yang kalian buang. Yang kalian butuhkan… saat kalian rapuh.”


Suasana sunyi.
Lalu Pram berdiri, mendekati mereka.
“Kalian ingin tahu akhir dari ini semua?”

Dia memberikan satu flashdisk.
“Di sini... semua video eksperimen. Semua memori asli. Termasuk... yang tidak pernah kalian alami sendiri.”

Bab 16: Video Terakhir

Flashdisk itu terhubung ke laptop tua milik kepala panti.
Satu folder muncul di layar:
X_SUBJECT_04

Di dalamnya:
📁 Video_FINAL_01.mp4
📁 Data_TraumaMap.json
📁 Script_Identitas_Subjects.docx

Awan memilih video.

Layar berkedip.
Muncul tanggal: 31 Desember 2011
Malam tahun baru. Malam terakhir eksperimen berjalan.


Isi Video:

Kamera merekam ruang observasi. Empat anak duduk berjajar: Elang, Awan, Pram, dan Langit.

Seorang pria berdiri—Raharja.
Di tangannya, alat perekam gelombang otak.

“Hari ini, kita tentukan siapa yang akan kita simpan... dan siapa yang akan kita lupakan.”

“Langit—objek kontrol. Tak punya ingatan traumatis. Bersih.”
“Awan—paling stabil. Mudah direset.”
“Elang—emosional. Terlalu kuat. Bahaya.”
“Pram—penyerap. Cerminan. Ia bisa mengambil memori siapa pun.”

Lalu... perintah diberikan.
“Reset Elang.”


Elang menolak.
Ia berteriak. Menangis. Melindungi Langit dan Awan.
Pram menatapnya, diam.

Raharja mendekat Elang dengan alat injeksi. Tapi sebelum menusuk...

Elang berbalik dan menyuntik dirinya sendiri.
“Lebih baik aku yang hilang... daripada kalian.”

Awan menangis. Langit membeku.
Pram berdiri dan menatap ke kamera, berkata:

“Sekarang... aku adalah semua dari mereka.”

Lalu... semua layar gelap.


Kembali ke Masa Kini

Langit dan Awan terduduk di lantai.
Tak ada air mata tersisa.
Hanya diam yang membakar di dada.

Awan akhirnya bicara, pelan:
“Selama ini aku pikir... aku harus mencari siapa aku. Tapi mungkin, aku harus... memilih siapa aku.”

Langit meremas tangan Awan.
“Dan kamu... adalah orang yang dipilih Elang untuk bertahan.”


🌅 Epilog: Satu Tahun Kemudian

Gedung panti sudah jadi reruntuhan.

Di sekolah seni, sebuah pameran lukisan digelar.
Di ruang utama: karya bertajuk “Langit dan Awan”.
Lukisan abstrak dua anak yang berdiri saling membelakangi—tapi di atas mereka, langit terbuka lebar, dan awan melayang ringan.

Langit berdiri di depan lukisan, mengenakan name tag sebagai kurator.

Awan duduk di sudut ruangan, mengenakan headset.

🎧 Dia mendengarkan suara Elang yang telah direkam ulang dalam pameran audio:

“Kau bukan pantulan, Wan. Kau adalah langit yang memilih tetap mendung, agar orang lain bisa melihat cahaya.”


Di luar galeri, Pram berdiri mengamati dari kejauhan.
Ia tak masuk.
Hanya menatap dengan mata kosong… dan tersenyum tipis.

Lalu ia berbalik, berjalan menjauh, dan menghilang dalam kerumunan kota.


🎬 Penutup Cerita

Awan tak pernah menemukan siapa dirinya sebenarnya—karena ia memilih menjadi dirinya sendiri.

Langit akhirnya menjadi bukan lagi objek, tapi pengamat. Dan itu cukup baginya.

Elang hilang, tapi tidak pernah benar-benar mati.

Dan Pram
...masih di luar sana.
Menjadi siapa pun yang dibutuhkan oleh dunia yang terlalu takut menghadapi kenyataan.


🕯️ "Kadang, yang kau ingat bukanlah yang terjadi... tapi yang kau ingin percayai agar bisa bertahan hidup."

Langit dan Awan



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh