Langit Tak Pernah Bertanya

 Langit Tak Pernah Bertanya


Bab 1: Surat dari Musim yang Hilang

Hujan turun tanpa suara di kota kecil itu. Tidak deras, tidak pula gerimis—hanya butir-butir air yang seperti ragu untuk jatuh, menggantung di udara sejenak sebelum menyentuh tanah. Di jendela kamar nomor 3B, seorang perempuan muda duduk sendirian, memeluk lututnya. Namanya Aluna.

Hari ini adalah hari ketujuh setelah kepergian Arga. Kepergian yang bukan menuju tempat jauh, tetapi menuju kekosongan yang tak bisa dijangkau siapa pun—kematian.

Mereka bilang waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi waktu tak pernah menyentuh bagian dalam hati Aluna yang paling hancur. Justru waktu terasa seperti penghianat; setiap detiknya hanya mengingatkannya bahwa Arga benar-benar sudah tiada. Bahwa suara tawa yang dulu memenuhi pagi hari kini hanya gema yang berputar di kepalanya.

Di atas meja, sebuah surat belum dibuka. Alamat pengirimnya ditulis dengan tangan yang ia kenali dengan baik. Surat terakhir dari Arga, dikirim seminggu sebelum kecelakaan. Aluna belum sanggup membacanya.

Pikirannya kalut. Ia takut jika di dalam surat itu ada kata perpisahan. Atau yang lebih menyakitkan lagi: tidak ada kata perpisahan sama sekali, hanya kebahagiaan yang tidak akan pernah terjadi.

Angin mengetuk pelan kaca jendela. Malam semakin kelam. Di luar, lampu jalan menyala dengan warna kuning temaram, membuat bayangan pohon menari lamban di dinding kamarnya.

Akhirnya, dengan tangan gemetar, Aluna meraih surat itu. Ia menatap amplopnya lama, seakan mencoba membaca isi hati dari kertas yang tak bernyawa. Kemudian, dengan satu tarikan napas, ia merobek bagian atasnya perlahan.

Kalimat pertama membuat dadanya sesak.

"Kalau suatu hari aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal, anggap saja aku sedang menunggu di tempat yang tenang. Tempat di mana kita bisa tertawa tanpa takut waktu akan memisahkan kita."

Air mata tumpah tanpa bisa ditahan. Hujan di luar dan hujan di dalam dirinya kini menyatu, dan malam menjadi saksi bisu dari kesedihan yang tak punya nama

Bab 2: Ruang Tanpa Suara

Sudah tengah malam, tapi Aluna belum bisa tidur. Matanya masih menatap lembaran surat yang kini tergeletak di pangkuannya, lembap oleh air mata. Kata-kata Arga berputar-putar di pikirannya, seperti rekaman rusak yang tak pernah selesai diputar.

“...anggap saja aku sedang menunggu di tempat yang tenang…”

Tempat yang tenang.

Aluna bertanya-tanya, apakah tempat itu benar-benar ada? Atau itu hanya cara halus Arga untuk mengatakan bahwa ia akan pergi? Apakah Arga tahu bahwa ajalnya sudah dekat? Atau… apakah surat itu semacam firasat yang tak disadari?

Suara denting jam dinding mengisi keheningan. Setiap tik-tok-nya terdengar begitu keras di ruang yang terasa kosong itu. Kamar yang dulu hangat kini seperti ruang tunggu kematian—hampa, dingin, tak bernyawa.

Di pojok ruangan, ada rak buku kecil tempat Arga biasa menaruh catatan dan sketsa. Aluna berdiri pelan dan menghampirinya, jemarinya menyapu debu yang belum ia bersihkan sejak Arga pergi. Ia menemukan sebuah buku sketsa dengan sampul cokelat lusuh.

Membukanya, Aluna terkejut.

Setiap halaman dipenuhi gambar wajah dirinya. Rautnya di berbagai momen—tertawa, merenung, bahkan menangis. Tapi yang membuat jantungnya berhenti sejenak adalah halaman terakhir.

Sebuah gambar dirinya tengah duduk di bawah pohon besar, mengenakan gaun putih, memandang langit senja. Dan di samping gambar itu tertulis:

“Jika aku tak bisa lagi melihatmu dengan mataku, biarkan aku mengingatmu lewat tanganku.”

Aluna menutup buku itu dengan cepat, tubuhnya gemetar. Gambar itu—itu tempat favorit mereka di taman kota. Tapi mereka belum pernah kembali ke sana sejak enam bulan terakhir. Mengapa Arga menggambar dirinya di sana… sendirian?

Tangisnya pecah lagi. Tapi kali ini berbeda. Ada rasa kehilangan yang dalam, tetapi juga perasaan aneh… seperti kerinduan dari seseorang yang belum sempat berpamitan. Seperti ada sesuatu yang belum selesai.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Arga tiada, Aluna bermimpi.

Ia berdiri di bawah langit abu-abu, di tengah lapangan luas yang diselimuti kabut. Jauh di sana, sosok Arga berdiri membelakanginya, mengenakan kemeja biru kesayangannya. Ia tak bicara. Hanya berdiri, mematung, seakan menunggu.

Aluna memanggil namanya.

Tak ada jawaban.

Ia berlari, tapi setiap langkah hanya membuat Arga tampak semakin jauh. Kabut menebal. Dunia memudar. Dan sebelum ia sempat menyentuhnya, semuanya hilang.

Ia terbangun dengan napas tersengal.

Tapi sebelum bisa menenangkan dirinya, ia melihat sesuatu di meja. Buku sketsa itu terbuka. Halaman terakhir kini berbeda.

Ada coretan baru. Tinta masih basah.

“Kamu akan tahu jalannya. Aku akan menunggu di pohon itu.”

Aluna membeku. Ia tahu ia tak pernah menulisnya.

Dan Arga sudah mati tujuh hari yang lalu.

Bab 3: Jalan Menuju Senyap

Pagi datang dengan malu-malu. Langit berwarna kelabu, seakan masih berduka bersama hati Aluna. Udara dingin menyusup dari celah-celah jendela yang sedikit terbuka, membawa bau tanah basah yang asing tapi akrab.

Aluna belum beranjak dari tempat tidurnya. Ia masih terpaku pada buku sketsa yang kini tertutup di atas meja. Coretan itu… tulisan itu… terlalu nyata untuk disebut mimpi. Tapi akalnya menolak untuk percaya.

“Kamu akan tahu jalannya. Aku akan menunggu di pohon itu.”

Ia hafal pohon yang dimaksud. Pohon beringin besar di ujung taman kota—tempat mereka biasa duduk diam, saling bercerita atau hanya memandangi langit, mencoba menebak bentuk awan. Tempat itu sudah lama tidak mereka kunjungi. Setelah Arga mulai sering sakit, mereka hanya berbagi langit dari jendela kamar.

Aluna meraih jaketnya.

Dia tidak bisa tinggal diam. Tidak pagi ini. Tidak setelah semua yang terjadi semalam. Sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang lebih tua dari logika dan lebih dalam dari rasa, memaksanya untuk pergi. Seolah hatinya telah mengambil alih arah kaki.


Taman kota itu sepi, seperti lupa bahwa dunia masih berjalan. Rumputnya lembap oleh embun, dan dedaunan berguguran dalam diam. Tidak ada anak-anak, tidak ada tawa, tidak ada kehidupan—hanya angin yang berbicara pelan.

Aluna melangkah menyusuri jalur batu kecil menuju pohon beringin. Langkahnya pelan, seperti takut membangunkan sesuatu yang sudah lama tertidur. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena takut, tapi karena harapan yang tak bisa ia matikan.

Dan di sana—di bawah naungan pohon tua itu—ada sesuatu.

Sebuah kotak kayu kecil, tergeletak tepat di atas akar yang menyembul dari tanah. Tidak ada yang lain. Tidak ada orang. Tidak ada suara. Hanya kotak itu, seakan memang menunggunya.

Dengan tangan gemetar, Aluna membungkuk dan mengambilnya. Kotaknya ringan, hangat. Di bagian atasnya terukir simbol bulan sabit dan bintang kecil—simbol yang sering Arga gambar di surat-surat cinta masa remaja mereka.

Ia membukanya perlahan.

Di dalamnya ada kaset pita tua, seperti yang dulu mereka gunakan untuk merekam pesan suara satu sama lain. Ada juga secarik kertas kecil:

“Putar di tempat pertama kita bertemu. Kamu akan mengerti.”

Air mata menggenang lagi. Ia tahu tempat itu. Perpustakaan tua di Jalan Mawar, tempat mereka pertama kali bertemu sepuluh tahun lalu, ketika ia meminjam buku yang tak sengaja juga ingin dipinjam Arga.

“Tak ada kebetulan,” Arga pernah berkata. “Hanya pesan yang terlalu sabar untuk dimengerti.”


Hari itu, langit tetap kelabu. Tapi di mata Aluna, warna mulai kembali ke dunia.

Dan di dalam dadanya, meskipun masih penuh luka, ada ruang kecil yang mulai terbuka—ruang yang bukan sekadar untuk kenangan… tapi untuk sesuatu yang belum selesai.

Sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.


“Kamu pikir cinta berhenti saat tubuh mati? Tidak. Cinta punya cara lain untuk hidup—di ingatan, di benda, bahkan di mimpi.”
— Arga, dalam rekaman terakhirnya.

 

Bab 4: Suara dari Masa Lalu

Perpustakaan Jalan Mawar masih berdiri, meski kini terlupakan oleh kota yang semakin sibuk dan lupa. Cat dindingnya mengelupas, daun pintunya berderit, dan udara di dalamnya berbau kertas tua dan kenangan.

Tempat itu seperti waktu yang memutuskan berhenti berjalan.

Aluna melangkah masuk dengan hati-hati. Tak ada penjaga, tak ada pengunjung. Hanya suara langkahnya sendiri yang menggema di antara rak-rak buku yang berdiri diam seperti saksi bisu masa lalu. Di sudut ruang baca, masih ada meja kayu bundar kecil—tempat pertama kali ia bertemu Arga.

Di sanalah ia duduk, meletakkan kotak kayu di meja. Ia menatap kaset itu, lalu membuka tas kecil yang ia bawa. Ia telah membawa walkman tua milik ayahnya, satu-satunya alat pemutar kaset yang masih bisa digunakan. Ia memasukkan kaset perlahan. Lalu menekan tombol play.

Suara klik kecil terdengar, lalu keheningan.

Kemudian—suara napas pelan.

Dan suara Arga.

“Hai, Lu. Kalau kamu mendengar ini… berarti aku sudah pergi. Aku harap kamu menemukannya dengan cara yang cukup pelan, supaya kamu nggak terlalu marah. Tapi aku juga tahu kamu pasti marah.”

Aluna menutup mulutnya, dadanya bergetar.

“Aku… menyembunyikan sesuatu darimu. Bukan karena aku nggak percaya. Tapi karena aku nggak tahu gimana caranya jujur tanpa membuatmu ikut hancur. Ada bagian dari hidupku sebelum kamu… yang belum pernah kamu lihat.”

“Namanya Saka.”

“Dia adikku.”

Aluna membeku. Nama itu asing. Tapi cara Arga mengucapkannya—ada sesuatu di sana. Luka. Atau rasa bersalah.

“Dia menghilang tiga tahun lalu. Dan aku… merasa itu salahku. Aku pergi dari rumah waktu itu, dan Saka menyusul tanpa bilang siapa pun. Dia belum ditemukan sampai sekarang.”

“Aku nggak pernah cerita karena aku takut kamu akan melihat aku sebagai orang yang meninggalkan. Tapi sekarang, karena aku akan benar-benar meninggalkanmu… aku ingin kamu tahu semuanya.”

Suara di rekaman terdiam sejenak. Lalu terdengar suara gesekan kertas.

“Di balik pot terakhir di taman tempat kita biasa duduk, aku simpan sesuatu. Sebuah gambar. Itu sketsa terakhir yang Saka buat sebelum hilang. Dan mungkin… itu petunjuk.”

Suara Arga mulai pecah. Aluna bisa mendengar ia menahan tangisnya.

“Aku tahu ini terlalu banyak. Tapi kamu satu-satunya yang bisa menemukan sisa diriku yang hilang. Dan mungkin, bagian dari Saka juga.”

“Aku nggak butuh kamu untuk memaafkan aku, Lu. Aku cuma butuh kamu untuk mengingatku sebagai orang yang berusaha jujur… meski di akhir.”

Rekaman berhenti.

Aluna duduk diam, lama. Ruangan terasa semakin sunyi. Tapi di dadanya, sebuah nyala kecil mulai tumbuh. Kesedihan itu belum pergi, tapi kini ada bentuk lain yang menemaninya—rasa ingin tahu.

Siapa Saka?

Dan kenapa Arga begitu yakin bahwa gambar itu petunjuk?


Sore itu, Aluna kembali ke taman. Hujan tipis menyapa daun-daun, menciptakan simfoni pelan yang membuat dunia terasa melambat.

Di balik pot bunga terakhir di bawah pohon beringin, Aluna menemukan sebuah amplop plastik yang dibungkus rapi dan dibenamkan di tanah dangkal.

Ia membukanya.

Di dalamnya ada sketsa tangan—gambar anak kecil berdiri di depan sebuah bangunan tinggi dengan jendela kecil di atas pintu besar. Di sudut gambar, tertulis:

“Rumah Tanpa Warna.”

Aluna menatap gambar itu, keningnya berkerut. Ia belum tahu tempat itu. Tapi ia tahu satu hal: perjalanannya belum selesai. Dan Arga, bahkan setelah mati, masih membimbingnya ke jalan yang belum pernah ia lewati.

Langit semakin gelap. Tapi untuk pertama kalinya sejak kematian Arga, Aluna merasa tidak sendiri.


“Kamu tak bisa menyelamatkanku dari kematian. Tapi kamu bisa menyelamatkanku dari dilupakan.”
— Arga

Bab 5: Rumah yang Tidak Pernah Dicari

Tiga hari telah berlalu sejak Aluna mendengarkan suara terakhir Arga dari kaset itu.

Tiga hari penuh tidur tak nyenyak, pikiran yang berkelana, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak memiliki jawaban. Siapa Saka? Mengapa Arga menyembunyikannya? Dan apa maksud dari “Rumah Tanpa Warna”?

Aluna telah mencoba mencari bangunan dengan nama itu di peta kota, di internet, bahkan bertanya ke beberapa orang tua yang pernah tinggal di kota sejak muda. Semuanya sama: tidak tahu.

Tapi pagi ini, ia menemukan sesuatu.

Saat membuka kembali sketsa milik Saka, ia memperhatikan ulang setiap goresannya. Di sudut kanan bawah, samar—hampir tak terlihat—ada sebuah detail kecil: kode angka yang tertulis miring.

L-16 / R-9 / L-3

Sebuah pola. Atau mungkin arah?

Instingnya membawanya ke tempat yang tak ia pikirkan sebelumnya—perpustakaan tua itu lagi. Tapi bukan ruang bacanya. Bukan rak-rak penuh debu. Melainkan lantai bawah tanah yang selalu terkunci.

Namun saat ia tiba di sana pagi itu, sesuatu berubah. Pintu kayu ke ruang bawah tanah yang dulu selalu terkunci… terbuka.

Aluna menuruni anak tangga dengan hati-hati. Bau lembap dan kayu tua menyambutnya. Di bawah sana, hanya ada satu lorong sempit, dengan lampu temaram berkedip—dan sebuah lemari arsip besi tua di ujungnya.

Lemari itu terkunci dengan kombinasi angka.

Aluna menatapnya.

L-16 / R-9 / L-3

Dengan tangan gemetar, ia memutar kenopnya. Ke kiri 16, ke kanan 9, ke kiri 3.

Klik.

Lemari terbuka.

Di dalamnya hanya ada satu map. Di sampulnya tertulis:

Yayasan Rehabilitasi Anak—Rumah Tanpa Warna
Tutup sejak 2005

Aluna membalik halaman pertama.

Daftar penghuni.

Nama keempat dari atas: Saka Wijaya.
Lahir: 1999.
Masuk: 2007.
Status: “Tidak diketahui—hilang sejak kebakaran fasilitas tahun 2010.”

Aluna membeku.

Saka bukan hanya adik Arga. Ia adalah seorang anak yang pernah menghilang dari sebuah panti rehabilitasi mental, setelah sebuah kebakaran yang tak pernah dibicarakan di berita mana pun.

Mengapa Arga menyembunyikan ini?

Mengapa ia baru mengungkapnya setelah mati?

Dan… apakah benar Saka sudah tiada?

Tiba-tiba, terdengar bunyi berderak dari belakang lemari arsip. Dinding kayu tua retak sedikit demi sedikit. Lalu, sesuatu jatuh—sebuah foto lusuh yang diselipkan di celah papan.

Aluna memungutnya.

Itu foto dua anak laki-laki, berdiri di depan bangunan besar dengan dinding cat putih pudar. Salah satunya Arga, yang lain… anak kecil bermata tajam yang ia belum pernah lihat. Tapi di belakang foto tertulis dengan huruf tangan yang ia kenal:

“Kalau dia masih hidup, dia pasti akan kembali ke tempat ini. Rumah yang tak pernah ia pilih, tapi tak pernah ia tinggalkan.”

Perasaan dingin menjalari tulang belakang Aluna.

Saka mungkin masih hidup.
Dan mungkin… ia masih di sana.
Di tempat yang pernah ia tinggali. Di Rumah Tanpa Warna.


Hari itu, Aluna tidak pulang. Ia menghabiskan malam mencari arsip bangunan tua, mencoba mencocokkan bentuk bangunan di sketsa dan foto. Hingga akhirnya—di pinggir kota, tak jauh dari hutan kecil di perbatasan, ia menemukan catatan usang:

“Bekas Yayasan Harapan Rasa – tutup 2010 setelah insiden kebakaran. Bangunan tak lagi digunakan.”

Di sebelahnya, foto bangunan yang sama persis dengan yang ada di gambar Saka.

Alamat: Jalan Rawa Hitam No. 7.

Tempat itu ada. Dan menunggu untuk ditemukan.


“Kebenaran bukan tentang membongkar masa lalu. Tapi tentang berani menatapnya… meskipun ia menatap balik.”

— Aluna

Bab 6: Tempat yang Tidak Dikenang

Langit sore menggantung rendah ketika Aluna tiba di Jalan Rawa Hitam No. 7.

Daerah ini sudah lama ditinggalkan. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada orang, hanya suara angin yang menggoyangkan daun-daun kering dan kawat pagar berkarat yang saling bergesekan seperti bisikan samar.

Di hadapannya berdiri bangunan besar, dindingnya kusam, sebagian terkelupas, jendelanya pecah tak beraturan. Tanaman liar tumbuh di sela-sela retakan beton. Tapi yang membuat Aluna menggigil bukanlah kondisinya—melainkan perasaan aneh yang perlahan tumbuh di dalam dadanya.

Tempat ini…
Entah bagaimana… terasa masih hidup.

Ia melangkah pelan, menyibakkan gerbang tua yang sudah miring. Bunyi deritnya seperti rintihan. Ia menyusuri halaman penuh ilalang menuju pintu utama yang menganga—seolah menyambutnya.

Saat ia melangkah masuk, udara dingin seperti menyergap dari segala arah. Bau hangus yang sangat samar masih bisa tercium, bercampur bau lembap dan besi tua.

Lorong pertama gelap dan sempit. Dindingnya penuh coretan anak-anak, sebagian besar telah pudar. Di ujung lorong, ada papan nama berdebu yang masih tergantung.

YAYASAN HARAPAN RASA – Terapi & Rehabilitasi Anak

Aluna menarik napas dalam, dan melangkah lebih dalam.

Ia menyusuri ruangan demi ruangan: ruang tidur berderet kasur usang, ruang makan dengan kursi patah, ruang konseling yang kacanya pecah. Tapi semua itu tak menyampaikan apa-apa. Seakan tempat ini menolak bercerita.

Sampai ia tiba di ruang kelas kecil.

Ada papan tulis yang nyaris lapuk, dan beberapa meja belajar berdebu. Tapi di atas meja paling belakang, ia melihat sesuatu.

Sebuah buku gambar kecil.
Masih utuh.

Ia mengambilnya. Membukanya pelan.

Setiap halaman berisi gambar-gambar anak-anak. Gaya menggambarnya konsisten, tapi berubah secara bertahap—dari bentuk-bentuk ceria menjadi simbol-simbol gelap. Di halaman terakhir, ada gambar seseorang berdiri di depan rumah besar terbakar.

Dan di bawah gambar itu, tulisan tangan:

“Aku masih di sini.”

Aluna menelan ludah.

Tiba-tiba, dari sudut ruang, terdengar suara ketukan kecil.

Tok. Tok. Tok.

Ia menoleh cepat. Tidak ada siapa pun. Tapi suara itu berulang. Tiga kali. Lalu berhenti. Lalu muncul lagi—dari balik lemari besi besar di pojok ruangan.

Dengan tangan gemetar, Aluna mendekat.

Ia menarik lemari itu perlahan… dan di belakangnya, ada pintu kecil tersembunyi.

Ia membuka pintu itu.

Ruang kecil gelap menyambutnya. Tapi di dalamnya… ada cahaya redup dari lilin yang masih menyala. Di lantai, ada kasur tipis. Dindingnya penuh coretan-coretan yang aneh: gambar mata, angka-angka acak, dan tulisan berulang-ulang:

“Jangan dengar suara itu.”
“Jangan lihat matanya.”
“Arga bilang aku tidak gila.”

Di sudut ruangan itu—ada kotak sepatu tua.

Aluna membukanya.

Di dalamnya ada rekaman kaset kedua.
Labelnya: “Untuk yang cukup berani.”

Dan tepat saat ia menyentuhnya, terdengar suara kaki kecil berlari di lorong luar. Cepat. Menyeret.

Aluna membeku.

Ia menoleh. Tapi tidak ada siapa-siapa.

Hanya lorong kosong.

Dan suara napas yang pelan… di dekat telinganya.

“Kamu... Aluna?”


“Tak semua yang ditinggalkan ingin dilupakan. Beberapa hanya menunggu ditemukan. Bahkan oleh orang asing.”

— Halaman terakhir buku Saka

Bab 7: Suara yang Tak Diundang

Aluna menggenggam kaset itu erat.

Labelnya sudah mulai pudar, tapi tulisan di sana tetap terbaca dengan jelas:

“Untuk yang cukup berani.”

Tangannya bergetar. Bukan karena takut—tapi karena perasaan yang sulit dijelaskan: ngeri, penasaran, dan entah kenapa… rasa bersalah yang bukan miliknya.

Ia keluar dari ruang kecil di balik lemari besi itu, membawa kaset dan buku gambar milik Saka. Lilin yang tadi menyala kini mati begitu saja, padahal tidak ada angin.

Langkah kakinya cepat menuju mobil. Ia tak bisa menunggu. Ia butuh tahu apa yang Saka ingin katakan.


Malam itu, di kamar yang hanya diterangi lampu meja, Aluna memasukkan kaset ke dalam walkman yang sama.
Ia menekan tombol play.

Suara nafas. Lalu diam. Lalu suara anak kecil.

“Aku nggak tahu jam berapa. Di sini nggak ada jendela. Mereka bilang aku gila karena aku dengar suara yang nggak mereka dengar.”

“Tapi Arga percaya sama aku.”

Suara itu masih kekanak-kanakan, meski terdengar seperti sudah lama tidak bicara dengan siapa pun.

“Aku lihat sesuatu di balik tembok. Ada mata. Matanya gede… tapi bukan manusia. Kadang matanya di langit-langit. Kadang dia di mimpiku. Kadang dia bicara…”

(hening beberapa detik)

“…dan kadang dia menyuruhku membakar semuanya.

Aluna membeku. Darahnya seperti membeku di tempat.

“Tapi aku nggak mau. Aku lari. Aku sembunyi. Dan Arga bilang aku harus simpan gambar-gambarnya, karena suatu hari... bakal ada orang yang cukup berani buat lihat mereka.”

“Kalau kamu denger ini, kamu bukan bagian dari tempat itu. Tapi kamu juga nggak bakal bisa keluar dengan cara yang sama.”

Suara Saka makin pelan. Nyaris seperti bisikan.

“Rumah ini nyimpen lebih dari anak-anak yang ditinggal. Ia juga nyimpen sesuatu yang suka diam... dan suka dengar.”

“Jangan bawa apa pun keluar dari sini. Jangan—”

Klik.
Rekaman terputus.


Aluna tak sadar ia menahan napas terlalu lama. Tiba-tiba, semua benda di sekitarnya terasa terlalu sunyi. Jam dinding berhenti. Lampu meja mulai berkedip.

Dan dari bawah tempat tidurnya, terdengar suara gesekan kertas…
Seolah ada sesuatu yang bergerak sendiri.

Ia menunduk perlahan.

Ada lembaran kertas tergelincir keluar dari bawah ranjangnya. Ia mengambilnya.

Itu gambar baru.

Ia tidak menggambarnya. Tapi gaya goresannya sama seperti gambar-gambar dalam buku milik Saka.
Dan gambarnya adalah dirinya sendiri
Berdiri di tengah taman…
Di belakangnya, pohon beringin…

…dan bayangan hitam dengan mata besar berdiri di atasnya.


“Beberapa kehilangan tidak datang dari dunia ini. Tapi dunia yang kita biarkan hidup karena terlalu lama diam.”

— Catatan samping kaset Saka

Bab 8: Cermin Tanpa Wajah

Semalaman Aluna tidak tidur.

Gambar itu masih ada di tangannya: dirinya sendiri dengan sosok bayangan besar berdiri di belakang. Tapi bukan itu yang paling membuatnya menggigil. Melainkan sebuah tulisan kecil di sudut gambar, yang awalnya tak ia sadari.

“Kau pernah ke sini, Aluna. Kau cuma lupa.”

Ia menatap kata-kata itu selama lima menit tanpa berkedip.

Lupa?

Mustahil. Ia tidak pernah tahu soal rumah itu. Ia tidak punya saudara. Bahkan keluarganya tak pernah tinggal di pinggiran kota.

Tapi kenapa perasaan itu makin kuat?

Kenapa bangunan tua itu terasa tidak asing?

Kenapa suara Saka… kadang terdengar seperti bagian dari ingatannya sendiri?


Keesokan paginya, Aluna kembali ke Rumah Tanpa Warna.

Kali ini ia membawa sesuatu: cermin kecil bundar—warisan dari ibunya, yang dulu sering ia bawa saat kecil. Entah kenapa, ia merasa butuh membawanya. Nalurinya bicara, seperti desakan sunyi dari dalam dirinya sendiri.

Ia kembali menyusuri lorong-lorong gelap. Tapi kali ini, langkahnya lebih pelan. Lebih sadar. Seolah tempat ini mengingat dirinya, dan ia sedang mengetuk pintu yang pernah ia tinggalkan.

Di ruang paling belakang, ia menemukan sesuatu yang belum pernah ia lihat—ruang terapi berbentuk melingkar, dengan kursi di tengah dan cermin besar di setiap sisi.

Ia masuk.

Lampu di langit-langit menyala dengan sendirinya—satu per satu.

Ruangan itu kini terang, tapi Aluna merasa lebih terjebak dari sebelumnya. Ia berdiri di tengah lingkaran, dikelilingi oleh cermin-cermin tinggi yang semua… buram.

Ia mendekati salah satunya, menyeka permukaannya. Lambat laun, bayangannya muncul—namun bukan dirinya yang sekarang. Melainkan dirinya saat masih kecil. Mungkin usia 6 atau 7 tahun. Rambut terikat dua, mata sembab… dan memar di pelipis.

Aluna terhuyung mundur.

Ia beralih ke cermin berikutnya. Sosok anak itu kembali muncul. Tapi kali ini ia duduk di lantai, sendirian, menggambar.
Di belakangnya, ada Arga kecil—tersenyum ke arah kamera yang tak terlihat.

“Tidak mungkin…” bisik Aluna.

Gambaran berikutnya, suara mulai terdengar.

“Aluna, jangan bilang siapa-siapa kamu pernah ke sini. Kita bisa pergi nanti, pas semua tidur. Aku janji.”

Arga.

Suara Arga. Kecil. Rapuh.

“Kamu bukan gila. Mereka yang salah. Mereka cuma takut karena kamu bisa lihat dia…”

Tiba-tiba seluruh cermin bergetar. Beberapa mulai retak. Bayangan dalamnya memudar, berubah menjadi mata besar, seperti yang digambar Saka—muncul dari balik bayangan.

Satu cermin meledak, pecah berhamburan.

Dan di tengah ruangan, sosok anak kecil muncul. Tubuhnya kotor, kurus, matanya merah menatap lurus ke Aluna.

Saka.

Tapi wajahnya tidak seperti di foto. Bukan anak 10 tahun. Ini anak yang lebih tua, lebih kosong. Wajahnya seperti terbuat dari kenangan yang terbakar.

“Kamu… ninggalin aku.”
“Waktu api itu datang, kamu lari. Arga lari. Tapi aku… aku di sini. Masih di sini.”

Aluna meneteskan air mata. “Aku… aku nggak ingat…”

“Karena mereka ambil ingatanmu. Karena kamu bisa lihat dia.”

Bayangan hitam muncul di balik Saka, melingkari tubuhnya.

“Dia suka anak-anak yang hancur. Dia suka kamu. Karena kamu pernah bicara padanya. Tapi Arga ngelindungin kamu. Dia yang tahan semuanya.”

Tiba-tiba semua cermin pecah serempak.

Aluna berteriak, jatuh ke lantai.

Di tengah pecahan kaca, ia menemukan gambar lain—dirinya sendiri, duduk di ruang terapi ini… mengenakan baju pasien.

Dan di belakang gambar itu, tertulis:

“Aluna Wijaya. Pasien 027. Terapi penghapusan trauma. Status: berhasil.”

Dunia runtuh di hadapannya.

Bukan hanya Arga yang pernah tinggal di Rumah Tanpa Warna.
Aluna juga.

Dan semuanya telah dikubur dalam ingatan yang dibungkam.


“Beberapa luka tidak hilang—mereka hanya dikunci dalam kamar yang tidak punya jendela.”

— Catatan Perawatan, 2005

 

Bab 9: Lantai Ketiga yang Tidak Ada

Aluna duduk diam di tengah ruang terapi yang porak poranda. Pecahan cermin memantulkan cahaya aneh dari langit-langit, seolah ruangan itu tak benar-benar ingin gelap… tapi juga tak pernah benar-benar terang.

Tangannya gemetar saat menyentuh gambar terakhir—file terapi atas nama dirinya sendiri.
Kenyataan mengguncangnya: ia pernah menjadi pasien di tempat ini.
Bukan sebagai pengunjung. Bukan sekadar saksi. Tapi bagian dari cerita yang selama ini ia pikir bukan miliknya.

Namun pertanyaan terbesarnya belum terjawab:

Apa yang sebenarnya terjadi malam itu?
Mengapa Arga dan Saka tahu tentang ‘makhluk itu’... dan mengapa hanya Saka yang tertinggal?

Aluna berdiri.

Perlahan, ia menapaki tangga utama. Tapi kali ini… ia tak berhenti di lantai dua.

Ia terus naik. Menuju lantai tiga.

Masalahnya: arsip bangunan, cetak biru, dan semua catatan menyebutkan bangunan ini hanya punya dua lantai. Bahkan saat ia berdiri di luar, tak pernah ada jendela atau struktur yang menandakan keberadaan lantai ketiga.

Namun kini—tangga terus ada. Seolah bangunan ini membentuk dirinya kembali, seiring dengan ingatan yang dibuka.

Tangga berakhir di depan satu pintu logam besar, dengan simbol mata tercetak samar di tengahnya.

Aluna menekan gagang pintu. Terkunci.

Tapi dari balik pintu, ia mendengar suara yang membuat jantungnya terhenti:

“Aluna…”

Suara Arga.

Tapi bukan suara anak-anak. Bukan rekaman. Itu suara nyata.
Sekarang.

Ia mundur, panik. Tapi saat berbalik… seseorang berdiri di belakangnya.

Saka.

Kini wajahnya lebih tenang. Seperti tidak lagi dipenuhi kemarahan. Ia menatap Aluna dengan mata yang dalam, dan penuh rasa iba.

“Kamu harus buka semua ingatan, Kak. Kalau tidak… dia bakal terus ada.”

Aluna nyaris tak bisa bersuara. “Apa… dia itu… bukan cuma imajinasi, kan?”

Saka mengangguk.

“Dia lahir dari rasa sakit. Dari anak-anak yang disakiti, ditinggal, dan dianggap bohong. Dia bukan setan. Bukan hantu. Tapi dia… jadi nyata karena kita semua percaya padanya.”

“Dan Arga… dia menukar tempatnya. Malam itu, kamu yang seharusnya dikunci di bawah. Tapi Arga bilang: ‘Biarkan aku yang menggantikan. Aluna terlalu kecil untuk ini.’”

Aluna terisak.

Tiba-tiba, pintu logam bergetar pelan.
Suara dentingan besi. Gagang pintu bergerak sendiri.

“Kalau kamu buka pintunya, kamu bisa lihat semua. Kamu bisa lepas. Tapi setelah itu… kamu gak akan bisa balik jadi Aluna yang dulu.”

Saka memandangnya lembut.

“Kamu siap?”

Aluna menatap pintu itu lama. Ia tahu: ini bukan sekadar pintu. Ini adalah ruang tempat semua luka disimpan. Bukan hanya ingatan masa kecil, tapi juga rasa bersalah, kebingungan, dan ketakutan akan menjadi orang yang rusak.

Namun ia juga tahu…
Hanya dengan membuka pintu ini, ia bisa menyelamatkan Arga.
Jika memang Arga masih ada.

Ia menelan ludah.
Dan menekan gagang pintu dengan kedua tangannya.

Klik.

Pintu terbuka perlahan.

Udara dingin menyapu wajahnya—tapi bukan dingin biasa.
Dingin seperti tangan seseorang yang sudah lama mati.

Di dalam ruangan itu, semua dinding terbuat dari cermin buram.
Dan di tengah-tengah, duduk seorang pria muda dengan pakaian lusuh. Kepalanya tertunduk. Tangannya terikat di kursi.

Ketika Aluna melangkah masuk, pria itu perlahan mengangkat kepala.

Wajah Arga.

Matanya redup. Tapi saat melihat Aluna… senyumnya perlahan muncul.

“Kamu datang… akhirnya.”


“Kita tidak bisa menyelamatkan diri dengan melupakan.
Kita hanya benar-benar sembuh ketika berani mengingat.”

— Halaman terakhir catatan terapi, Ditulis oleh Psikolog Reva M.

Bab 10: Malam Saat Dunia Tak Lagi Bertanya

Ruangan itu hening.

Aluna melangkah perlahan mendekati kursi di tengah. Arga, yang kini tampak lebih tua dari usianya seharusnya, masih duduk diam. Seolah waktu berhenti di tempat ini… atau mungkin tak pernah berjalan sama sekali.

Wajahnya pucat, tapi senyumnya lemah dan hangat.

“Kamu masih ingat…” katanya pelan.

Aluna menelan tangis. “Belum semua. Tapi cukup.”

“Cukup untuk tahu kamu tidak meninggalkan aku.”

Arga menunduk. Matanya berkaca-kaca.

“Aku yang ninggalin kamu, Aluna. Waktu mereka bilang harus ada yang dikurung, aku yang bilang: aku saja. Aku pikir kamu bisa lepas. Kamu bisa jadi normal. Mereka bilang... kamu akan sembuh kalau ingatannya dikunci. Tapi sekarang aku tahu… itu bukan kesembuhan. Itu penghapusan.

Aluna memegang tangannya.

“Maaf… karena aku butuh terlalu lama buat ingat.”

Tiba-tiba, ruangan itu mulai bergetar. Cermin-cermin di sekeliling mereka mulai berkedip—menampakkan gambar-gambar lama yang disembunyikan: anak-anak menangis, terkurung, melukis dengan jari berdarah, dan sesosok bayangan hitam dengan mata raksasa mengamati dari balik bayang-bayang.

Cermin di belakang Arga pecah, dan dari retakannya, keluar asap hitam—pelan, menjalar seperti ular.

Saka muncul di ambang pintu.

“Dia tahu kamu sudah ingat. Sekarang dia gak bisa sembunyi lagi. Tapi itu juga artinya… dia bisa masuk.”

Aluna memandang cermin yang retak, lalu menatap Arga.

“Kita bisa lawan dia. Bersama.”

Arga menggeleng. “Dia bukan sesuatu yang bisa dibunuh. Dia cuma bisa diusir kalau kita… berani lihat semuanya. Tanpa lari. Tanpa tutup mata.”

Aluna berdiri tegak. Dulu, ia selalu lari. Dulu, ia membiarkan mereka menghapus semuanya karena ia takut menjadi ‘rusak’.

Tapi kini… ia tahu: melihat luka bukan kelemahan. Itu satu-satunya cara sembuh.

Cermin-cermin mulai pecah satu per satu.
Dan dari dalamnya, keluar makhluk itu.

Ia lebih besar dari yang digambarkan Saka. Tingginya menyentuh langit-langit ruangan. Wajahnya tak punya bentuk jelas—hanya mata besar yang berdenyut seperti jantung, dan tubuh seperti asap pekat yang terus berubah bentuk.

Suaranya bukan suara. Tapi getaran di kepala.
Bisikan yang terasa seperti berdarah di telinga:

“Kalian ingat. Maka kalian milikku.”

Saka berdiri di depan mereka. Mengangkat gambar terakhir yang ia buat—lukisan tentang Aluna dan Arga kecil yang berdiri memunggungi makhluk itu, tangan mereka saling menggenggam.

“Dia lahir dari kenangan buruk. Tapi dia juga bisa mati… dari kenangan yang lebih kuat.”

Saka merobek gambar itu di depan makhluk tersebut.

Makhluk itu menjerit—tapi tanpa suara.

Arga berdiri perlahan dari kursinya. “Ayo, Aluna.”

Mereka berdua menatap makhluk itu. Bukan dengan ketakutan, tapi dengan ingatan penuh.

Mereka menyebut satu demi satu:

“Waktu kita kabur di malam hujan.”
“Waktu kita sembunyi di balik rak buku.”
“Waktu kamu nyanyiin aku lagu Nina Bobo.”
“Waktu kita saling janji gak ninggalin.”

Makhluk itu mulai menyusut.
Asapnya mengepul naik, matanya berkedip cepat—seperti kilatan trauma yang terbakar.

Dan akhirnya…

Hilang.

Ruangan hancur.

Tapi langit di luar jendela… kembali biru.


Di luar bangunan itu, matahari terbit untuk pertama kalinya dalam cerita ini.

Aluna berdiri di bawah cahaya pagi, memegang tangan Arga dan Saka.

Ia menatap ke bangunan itu. Kini tak lagi mengerikan. Tak lagi punya suara. Tak lagi bernyawa.

Hanya sisa batu dan cerita yang harusnya sudah dikubur dengan tenang.

“Langit tidak pernah bertanya…” gumam Aluna, “karena langit tahu… yang perlu ditanya adalah diri sendiri.


“Jika kau cukup berani untuk mengingat, maka luka pun akan kehilangan wajahnya. Yang tersisa hanya manusia… dan keberaniannya.”

— Tulisan terakhir di halaman belakang buku gambar Saka

 

Epilog: Pelangi Setelah Hujan

Beberapa bulan setelah malam itu, Aluna duduk di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Di depannya, buku gambar dan kaset tua terhampar—tapi kini bukan lagi benda-benda yang menakutkan, melainkan kenangan yang sudah mulai bisa ia terima.

Arga dan Saka sudah tidak lagi sekadar bayangan masa lalu. Mereka menjadi bagian dari cerita yang hidup, bukan hanya di dalam rumah tua itu, tapi juga dalam hati Aluna.

Ia tersenyum saat melihat gambar terakhir yang pernah dibuat Saka—anak-anak kecil yang berdiri bersama, di bawah langit biru tanpa bayangan gelap.

Di luar jendela, hujan turun pelan. Tapi kali ini, hujan bukan lagi tanda kesedihan yang membekukan.
Hujan adalah awal dari sesuatu yang baru. Seperti pelangi yang akan muncul setelah badai.

Aluna tahu, luka akan selalu ada.
Tapi ia juga tahu, keberanian untuk menghadapi luka itulah yang membuat kita tetap hidup.

Dia menekan tombol play di pemutar kaset kecil itu.

Suara Aluna kecil terdengar, tersenyum dan berkata,

“Ini bukan akhir. Ini hanya bab baru... yang aku siap tulis sendiri.”


Langit tak pernah bertanya.
Tapi kita selalu punya hak untuk bertanya pada diri sendiri.
Siapa kita. Apa yang kita mau. Dan bagaimana kita bisa terus melangkah—meski dunia kadang lupa caranya bertanya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh