Samar dalam Pelukan
Samar dalam Pelukan
📚 Judul: Malam di Balik Jas Hitam
Genre: Romansa Dewasa, Misteri, Drama, Mafia
Rating: 21+
Status: Ongoing
Format: Wattpad Serial Novel
Sinopsis:
Di balik dunia bisnis yang megah dan rapi, tersimpan rahasia gelap yang hanya diketahui segelintir orang. Nadine, seorang sekretaris baru di perusahaan internasional milik Leonardo Aditya, tak pernah menyangka bahwa bos dingin dan karismatiknya menyimpan sisi liar dan gelap.
Leonardo bukan hanya CEO muda yang sukses, tapi juga pemimpin organisasi bayangan yang mengendalikan peredaran senjata gelap di Asia Tenggara. Di antara malam-malam penuh rahasia, pertemuan intim yang membakar, dan perasaan yang mulai tumbuh secara tak terduga, Nadine harus memilih: menjauh demi keselamatan atau menyelami sisi gelap dunia Leonardo.
BAB 1 — WAWANCARA YANG TERLALU DEKAT
Gedung kaca menjulang tinggi di pusat Jakarta itu berdiri seperti raja. Mewah. Elegan. Dingin. Begitu juga pria yang kini duduk di balik meja besar di lantai 38—Leonardo Aditya.
Nadine mengepalkan jemarinya diam-diam. Nafasnya sedikit tak beraturan sejak memasuki ruang itu. Ia sudah mendengar desas-desus tentang pria ini: kaya, cerdas, brutal dalam bisnis, dan... sangat pemilih terhadap siapa yang boleh ada di sekitarnya.
“Nama?”
Suara bariton itu menggetarkan lebih dari sekadar udara.
“Nadine Rahma, Pak.”
Ia mencoba tegas, meski suaranya sedikit bergetar.
Leonardo menatapnya. Matanya seperti pisau: tajam, menembus, tidak memberi ruang untuk berbohong.
“Kenapa kamu lamar posisi ini?”
Pertanyaan sederhana. Tapi tatapannya membuat Nadine merasa sedang diinterogasi oleh polisi rahasia.
“Saya... butuh pekerjaan. Saya bisa diandalkan. Dan saya ingin belajar dari perusahaan besar seperti milik Anda.”
Ada jeda. Lalu senyum kecil terangkat di sudut bibir pria itu—senyum yang tidak hangat, tapi mengandung sesuatu yang lain. Bahaya, mungkin?
“Apa kamu tahu… aku tidak pernah mempertahankan sekretaris lebih dari tiga bulan?”
Nadine menelan ludah.
“Karena mereka semua terlalu lemah.”
Ia berdiri dari kursinya, mendekati meja tempat Nadine duduk. Langkahnya tenang, seperti macan yang mengelilingi mangsanya. Dan tanpa aba-aba, ia berhenti tepat di depan Nadine—terlalu dekat. Bau parfum mahal dan aroma maskulin menyergap penciumannya.
“Kamu kelihatan lembut. Tapi entah kenapa... aku rasa kamu bisa lebih dari itu.”
Matanya menatap langsung ke mata Nadine. Tatapan itu... membuat jantungnya berdetak gila.
“Mulai besok jam 8. Jangan terlambat.”
“Ma—maaf? Saya diterima?”
“Aku tidak pernah salah pilih.”
Kemudian ia kembali ke kursinya, seolah tak terjadi apa-apa.
Saat Nadine melangkah keluar dari ruang itu, kakinya gemetar. Ia mendapatkan pekerjaan impiannya. Tapi kenapa rasanya... justru seperti memasuki perangkap yang sangat gelap?
BAB 2 — PERTEMUAN DI LIFT
Pagi berikutnya, Nadine berdiri di depan lift dengan tangan menggenggam map biru. Jam masih menunjukkan pukul 07.42. Ia datang lebih awal—ia tidak ingin memberi kesan buruk di hari pertamanya.
Lift berdenting pelan. Pintu terbuka... kosong.
Ia melangkah masuk, menekan tombol lantai 38, lalu berdiri tegak, berusaha menenangkan diri. Tapi baru beberapa detik pintu hampir tertutup, suara langkah sepatu terdengar mendekat cepat.
"Tahan."
Satu kata berat, dan seketika pintu lift terbuka kembali.
Leonardo masuk. Dingin. Tegas. Mengenakan jas hitam yang membuat auranya terasa lebih mendominasi dari biasanya. Tanpa melihat Nadine, ia berdiri di sebelahnya. Dekat. Terlalu dekat.
Lift tertutup. Hanya mereka berdua. 37 lantai menuju atas.
Nadine mencuri pandang, lalu menyesalinya. Sorot mata pria itu menangkap tatapannya.
"Terlambat sedikit saja, kamu akan kehilangan pekerjaanmu."
Ucapnya datar, tapi nadanya dalam. Bukan mengancam... tapi menguji.
“Saya datang sebelum jam delapan, Pak.”
Suara Nadine nyaris berbisik.
Leonardo memutar tubuhnya sedikit, menghadap langsung ke arahnya. Nadine bisa merasakan napasnya menyentuh kulit lehernya. Degup jantungnya tak bisa disembunyikan.
"Aku tidak bicara soal waktu. Tapi tentang kesiapan. Di tempat ini, keterlambatan dalam membaca situasi bisa membuatmu tersingkir. Atau... terbakar."
Mata mereka bertemu. Ada jeda. Udara di dalam lift berubah padat—bukan panas, tapi penuh ketegangan. Seolah waktu berhenti sejenak.
“Kalau kau tak siap terbakar, jangan terlalu dekat dengan api.”
Ding!
Lantai 38. Pintu terbuka. Leonardo melangkah keluar tanpa menoleh.
Nadine berdiri diam, napasnya memburu.
Ia belum tahu bahwa kata-kata tadi... bukan sekadar peringatan. Tapi pertanda.
BAB 3 — DATA, DOSA, DAN DENDAM
Hari pertama Nadine dimulai dengan tugas yang sederhana: menyortir puluhan dokumen fisik dan digital milik divisi internal yang harus diserahkan langsung pada Leonardo.
Namun, dari semua file yang dibuka, satu folder menarik perhatian. Tidak ada judul. Tidak ada label. Hanya ikon merah tua dengan inisial: "LXA-21."
Ia tahu itu bukan miliknya untuk dibuka.
Tapi rasa penasaran... lebih kuat daripada akal sehat.
Klik.
Folder terbuka.
Isinya bukan laporan keuangan. Bukan data proyek. Tapi... foto-foto.
Wajah-wajah pria berseragam militer. Lokasi-lokasi tak dikenal. Dan satu video: cuplikan kamera pengintai di sebuah gudang. Dalam bayangan yang buram, Nadine bisa melihat seseorang dengan siluet tinggi dan bahu lebar... menembakkan pistol ke seorang pria yang diikat.
Napas Nadine tercekat. Tangannya langsung menutup laptop itu. Tapi sudah terlambat.
“Siapa yang izinkan kamu buka folder itu?”
Suara itu datang dari balik bahunya. Nadine membeku.
Leonardo berdiri di ambang pintu ruangannya. Matanya gelap. Tidak lagi datar—tapi berbahaya.
“Saya... saya tidak sengaja. Saya kira itu bagian dari laporan...”
Leonardo melangkah masuk. Satu... dua... tiga langkah, dan ia sudah tepat di hadapannya.
“Dengar baik-baik, Nadine.”
Tangannya menyentuh dagunya, mengangkatnya agar mata mereka sejajar. Sentuhan itu tidak lembut, tapi tidak juga kasar.
“Ada dua hal yang tidak boleh kau lakukan di perusahaan ini: pertama, berbohong padaku. Kedua, masuk ke tempat yang bukan milikmu.”
Nadine menggigit bibirnya. Ada rasa takut. Tapi juga rasa... aneh. Ketertarikan yang tak bisa ia jelaskan.
“Maafkan saya, Pak.”
Nadanya lirih.
Leonardo menatapnya lama. Ada badai di mata itu. Tapi juga... sesuatu yang lain. Ia menurunkan tangannya, mendekatkan wajahnya sedikit.
“Untuk kali ini, aku anggap kau hanya bodoh. Bukan berbahaya.”
Ia berbalik, lalu menambahkan sebelum pergi:
“Tapi Nadine... semua dosa, sekecil apa pun, selalu punya harga.”
Di ruangan itu, Nadine berdiri sendiri. Lututnya lemas. Ia tak tahu apakah yang barusan terjadi adalah peringatan... atau ancaman personal.
Atau awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam—dan gelap—daripada pekerjaannya.
BAB 4 — UNDANGAN TENGAH MALAM
Hari itu berlalu lebih lambat dari biasanya. Pikiran Nadine tidak bisa lepas dari folder misterius yang ia buka secara tak sengaja—dan dari cara Leonardo memandangnya setelah itu.
Tegas, dingin… tapi ada sesuatu di balik tatapan itu. Sesuatu yang membuat tubuhnya menggigil, bukan karena takut—tapi karena sesuatu yang tak bisa ia namai.
Jam menunjukkan pukul 22.47 saat notifikasi masuk ke ponselnya. Sebuah pesan singkat dari nomor yang tidak dikenal:
"Datang ke The Manhattan Room, Hotel Saphire, lantai 29. Pukul 23.15. Jangan bilang siapa-siapa. — L"
Nadine menatap layar ponselnya lama. Berkali-kali ingin menghapus pesan itu, mengabaikannya, dan pura-pura tidak tahu. Tapi jemarinya bergerak sendiri, dan 20 menit kemudian ia sudah berada di dalam taksi, mengenakan gaun hitam sederhana dan jaket tipis yang nyaris tidak menutupi kulitnya yang merinding.
Hotel Saphire megah dan sepi. Lobi dipenuhi lampu-lampu gantung berkilau dan suara denting piano dari bar lounge.
Lift bergerak lambat ke atas. Pintu terbuka ke lantai 29 yang hening dan hanya memiliki satu pintu besar. The Manhattan Room.
Nadine mengetuk pelan.
Pintu terbuka sendiri. Tidak ada pelayan. Tidak ada tamu lain. Hanya suara musik jazz yang mengalun pelan dan cahaya remang dari lampu gantung kristal. Di dalam, Leonardo duduk di kursi kulit dengan segelas wine merah di tangan.
Ia mengenakan kemeja hitam dengan dua kancing atas terbuka. Rambutnya sedikit berantakan, seperti habis mandi. Matanya langsung menatap Nadine. Dalam. Tenang. Tapi membakar.
"Kau datang."
“Saya... tidak tahu kenapa saya kemari.”
“Aku tahu.”
Ia menuangkan segelas wine dan memberikannya pada Nadine. Jari mereka bersentuhan sejenak. Sentuhan itu singkat, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar tak karuan.
“Kau ingin tahu siapa aku sebenarnya, kan?”
Ia duduk kembali. “Tapi kau harus paham, Nadine... Rasa ingin tahu bisa membunuh.”
Nadine duduk perlahan, masih menatapnya. Wajah pria itu begitu dekat, tapi tetap misterius.
“Saya hanya... ingin tahu kenapa saya.”
“Kenapa aku memilihmu?” Leonardo mengangkat alisnya.
“Karena dari semua orang yang bekerja di gedung itu... hanya kamu yang melihat aku apa adanya. Tanpa takut. Atau setidaknya... belum takut.”
Sunyi menggantung. Musik terus mengalun. Angin dari balkon membawa aroma malam Jakarta yang lembap dan tajam.
Lalu Leonardo berdiri. Ia mendekat. Menunduk. Tangannya menyentuh pipi Nadine—dingin, tapi terasa hangat di kulitnya.
“Kau bisa pergi sekarang, kalau mau.”
“Dan kalau saya tidak pergi?”
Bisikan Nadine nyaris tak terdengar.
Mata mereka bertemu.
“Maka aku akan menunjukkan padamu dunia yang tidak bisa lagi kau tinggalkan.”
BAB 5 — KESEPAKATAN TANPA JANJI
Leonardo masih berdiri dekat. Napasnya teratur. Tenang. Tapi ada badai yang berputar di matanya—badai yang Nadine rasakan jauh sebelum malam ini.
Tangannya masih menyentuh pipinya. Nadine tidak bergerak. Tidak mundur. Tidak juga maju.
"Apa yang kau mau dari saya?"
Suara Nadine pecah dalam diam yang berat.
Leonardo menyipitkan mata, seolah menimbang kata-kata.
"Bukan cinta. Jangan pernah salah paham soal itu."
Nadine mengangguk. Bibirnya terbuka sejenak, tapi tak ada suara keluar. Ia tahu—dia harusnya mundur. Tapi tubuhnya seperti sudah memilih sendiri.
"Lalu apa?"
Leonardo memutar arah, berjalan ke balkon, lalu menatap lampu-lampu kota yang berkelip seperti bintang jatuh.
"Kau akan tetap menjadi sekretarisku. Tapi di luar jam kantor... kau akan menjadi milikku."
Hening. Tidak ada kata cinta. Tidak ada janji. Hanya tawaran kekuasaan yang dibungkus ketertarikan.
“Kita bisa menyebut ini... kesepakatan. Tidak ada emosi. Tidak ada ikatan. Kau bisa pergi kapan saja. Tapi sekali kau memutuskan masuk—kau tidak boleh menyesal.”
Nadine berdiri. Tubuhnya tegang, tapi suaranya tetap tenang.
"Dan jika saya menolak?"
Leonardo menoleh. Untuk pertama kalinya malam itu, senyum tipis muncul di bibirnya.
"Maka kita akan tetap profesional. Aku tidak memaksakan apa pun."
Ia melangkah mendekat lagi, lalu berbisik:
"Tapi kau dan aku sama-sama tahu... penolakanmu hanya akan menunda apa yang kau inginkan."
Deg.
Nadine tidak tahu apakah itu suara jantungnya atau sinyal bahaya.
Tapi ia menjawab, perlahan:
"Saya tidak tahu apa yang saya inginkan."
Leonardo menatapnya dalam. Tak ada tekanan. Tapi juga tak ada celah untuk berbohong. Tangannya terangkat lagi, menyentuh garis rahangnya.
“Kalau begitu... kita biarkan waktu yang menentukan.”
Lalu ia mundur. Mengambil jaketnya, menyerahkannya pada Nadine.
"Pulanglah. Aku tidak ingin kau terlalu lelah besok. Jam 8.30 pagi."
Nadine mengangguk. Ia berjalan pergi dengan tubuh yang masih gemetar—bukan karena takut, tapi karena batas yang baru saja dihapus di antara mereka.
Tapi satu hal yang tak mereka sadari...
Di lantai bawah hotel, seorang pria sedang memotret Nadine saat keluar dari lift.
Dan mengirimnya ke kontak bernama: REYHAN – Unit Intel.
BAB 6 — BAYANGAN DI BALIK CERMIN
Pagi hari, Nadine kembali ke kantor seolah tak terjadi apa-apa semalam. Rambut disanggul rapi, makeup tipis, dan senyum tipis yang menyembunyikan gejolak di dalam dadanya.
Tapi rasa tenang itu tidak bertahan lama.
Saat ia kembali ke mejanya, ada sebuah amplop putih tergeletak di bawah keyboard. Tidak bertanda. Tidak terlipat rapi. Nadine membukanya pelan.
Isinya hanya satu kalimat, ditulis dengan tangan:
"Dia bukan seperti yang kau kira. Jangan jatuh terlalu dalam."
Tidak ada nama. Tidak ada tanda tangan. Tapi Nadine tahu... seseorang mengawasinya.
Ponselnya bergetar.
Leonardo.
"Ke ruanganku. Sekarang."
Nada perintah. Dingin. Nadine mengatur napas dan masuk.
Leonardo sedang berdiri di depan jendela besar, punggungnya tegak, bahunya kokoh membelakangi dunia.
"Kau terlihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu."
Nadine diam. Menimbang.
"Saya hanya lelah."
Leonardo menoleh. Kali ini, ekspresinya tidak setajam biasanya.
"Aku tahu seseorang memotretmu malam itu. Di hotel."
Deg. Nadine tercekat. Ia belum sempat bicara, Leonardo sudah melangkah ke arahnya.
"Aku sedang mencari tahu siapa dia. Tapi kalau kau tahu lebih dulu... aku ingin kau jujur padaku."
Suara itu dalam. Tenang. Tapi tak bisa dianggap remeh. Nadine ragu, tapi akhirnya bertanya:
"Apa hubunganmu dengan... militer?"
Leonardo menatapnya. Lama. Hening terasa seperti senjata yang siap meledak.
"Ada hal-hal dalam hidupku yang tidak bisa dibersihkan dengan kata maaf."
"Jadi kau menghindari semuanya?"
"Aku menyelamatkan apa yang masih bisa kuselamatkan."
Nadine mendekat, pelan. Ia tahu ia melangkah ke dalam bahaya, tapi hatinya tidak bisa diam.
"Kalau aku tetap bertahan di sini, dan menerima semuanya—tanpa tanya... apa yang akan kudapatkan, Leonardo?"
Lelaki itu menatapnya dalam. Kali ini, tidak ada senyum. Tidak ada permainan.
"Kamu akan hancur. Tapi kamu akan tahu rasanya hidup."
Sementara itu...
Di tempat lain, pria bernama Reyhan sedang duduk di ruang observasi. Layar di hadapannya menampilkan foto-foto Leonardo, file lama dari misi-misi rahasia, dan video yang sama yang pernah Nadine lihat.
"Target makin dekat dengan subjek," ucap seorang pria berseragam.
Reyhan mengepalkan tangan.
"Kalau dia melukainya… aku yang akan menyelesaikannya."
💥 BAB 7 — JEJAK LUKA LAMA
Langit Jakarta gelap malam itu. Tapi dalam kepala Nadine, masa lalu perlahan menyala seperti api yang enggan padam.
Di apartemennya yang sunyi, Nadine membuka laci lama. Di sana ada satu foto lama — ia dan Reyhan, saat SMA. Tersenyum lebar. Tak ada kemewahan, hanya jaket lusuh dan senyum tulus.
“Kau masih kamu, Rey…” bisiknya pelan.
Sementara itu, di markas unit investigasi…
Reyhan berdiri di depan papan besar yang dipenuhi foto Leonardo, catatan operasi, dan data keuangan ilegal.
Seorang kolega bertanya,
“Apa kamu yakin Nadine tidak terlibat?”
Reyhan menggeleng.
“Dia terlalu polos untuk tahu dari awal… tapi terlalu pintar untuk tetap buta.”
“Kalau dia jatuh cinta dengan Leonardo?”
Reyhan diam.
“Maka kita akan kehilangan dia.”
Keesokan harinya…
Di kantor, Nadine disambut amplop lain — kali ini bertuliskan:
“Kau harus pilih. Lelaki yang membentukmu, atau lelaki yang menghancurkanmu.”
Tangannya gemetar. Tapi tak lama, ia dipanggil ke ruang rapat. Leonardo menunggu. Kali ini tidak sendiri.
Reyhan duduk di seberang meja. Berjas. Dingin. Tapi matanya… masih sama seperti dulu.
“Hai, Nadine.”
“Reyhan…?”
Leonardo menyela cepat,
“Kita semua tahu permainan ini akan datang ke titik ini. Sekarang waktunya jujur.”
Napas Nadine tercekat. Dua pria. Dua sisi dunia.
Satu masa lalu yang belum selesai…
Dan satu masa kini yang terlalu gelap untuk diterangi logika.
BAB 8 — TAWAR-MENAWAR
Ruangan itu hening. Tiga orang. Tiga niat berbeda.
Nadine memandang Leonardo dan Reyhan bergantian.
Sekilas, ia merasa seperti pion dalam permainan yang ia sendiri tidak tahu sedang dimainkan.
"Aku tak tahu kalian saling kenal," gumam Nadine, dingin.
Leonardo menyilangkan tangan, tetap tenang.
"Kami bukan teman."
Reyhan menatap Leonardo dengan tatapan penuh sejarah.
"Dulu, aku pernah hampir mati karena keputusan pria ini. Sekarang, aku di sini... menyelamatkanmu, Nadine."
Nadine menghela napas.
"Dari siapa?"
"Dari dirimu sendiri," jawab Reyhan cepat.
Setelah pertemuan itu...
Nadine duduk sendiri di rooftop kantor. Angin malam berhembus pelan. Ia memegang foto lama bersama Reyhan. Hati kecilnya goyah.
"Kenapa semua ini harus terjadi sekarang..." bisiknya.
Tiba-tiba, Leonardo muncul di sampingnya.
"Aku tak suka kamu bertemu dia tanpa izin."
"Aku bukan milikmu," Nadine balas tajam.
"Dan kau juga tak pernah benar-benar jujur."
Leonardo mendekat. Wajahnya tak bisa ditebak. Tapi nadanya lirih, nyaris rapuh:
"Kalau aku bilang aku ingin kamu tinggal... bukan sebagai sekretarisku. Tapi sebagai seseorang yang tahu siapa aku, dan tetap memilih bertahan... kamu percaya?"
Nadine tak menjawab.
"Tapi ini bukan permintaan. Ini tawaran," lanjutnya.
"Kau bebas menolak. Tapi sekali kau menerima... kau tak bisa pergi lagi."
Diam.
Mata mereka bertemu.
Jauh di dalam dada Nadine, ada suara kecil yang berkata: Tinggalkan dia.
Tapi suara lainnya, jauh lebih kuat... berbisik: Kau sudah terlalu jauh untuk kembali.
Sementara itu...
Reyhan membuka laptopnya. Video pengawasan terbaru.
Nadine... dan Leonardo... di atap gedung. Terlalu dekat.
Ia menghela napas panjang.
Lalu memutar rekaman rahasia lain.
Rekaman suara Leonardo:
“Jika dia tahu apa yang kutanam di bawah lantai tiga... dia tak akan bisa melihatku dengan mata yang sama.”
Reyhan mengetik cepat.
Operasi "Black Heart" dimulai. Target: Leonardo Aditya.
BAB 9 — LANTAI TIGA
Malam hari. Kantor sudah sepi. Tapi langkah Nadine tetap bergema di lorong.
Pesan dari Leonardo tadi sore masih terngiang di kepalanya:
“Kunci ruang arsip ada di mejaku. Kalau kau ingin tahu kebenaran, pergilah ke lantai tiga. Tapi jangan bilang siapa pun.”
Tangannya gemetar saat membuka pintu lift.
Tiba di lantai tiga — lorongnya gelap, dingin, dan penuh debu. Seolah ruangan ini sudah lama dikubur hidup-hidup.
Nadine menyusuri koridor, hingga menemukan sebuah pintu besi tua. Kunci dari meja Leonardo pas sempurna.
KREK.
Pintu terbuka perlahan.
Ruangan di baliknya bukan sekadar arsip.
Bukan ruang simpan dokumen.
Melainkan pusat data rahasia.
Penuh dengan berkas ilegal, video pengintaian, dan satu layar utama — yang menyimpan file dengan nama: “Operasi Polaris.”
Nadine menyalakan layar.
Video pertama: Leonardo, bertemu tokoh politik. Transaksi uang.
Video kedua: Leonardo, mengawasi penyiksaan seorang pengkhianat.
Dan di pojok ruangan, ada berkas bertuliskan nama ayahnya.
“Dr. Rahmat Rahma — Eks-Peneliti Keamanan Militer. Hilang sejak 2016.”
Deg.
Ayahnya? Di sini?
Sebelum sempat membuka file itu…
Suara langkah terdengar di luar.
BRAK!
Pintu dikunci dari luar.
Nadine terperangkap.
Sementara itu, di tempat lain...
Reyhan baru saja menerima pesan darurat dari salah satu informan.
“Target telah memancing Nadine masuk ke L3. Rencana ‘penghapusan’ sedang disiapkan.”
Mata Reyhan melebar.
"Sial. Ini jebakan. Leonardo tak ingin dia tahu lebih banyak."
Dia berlari. Naik motor. Tak peduli lampu merah.
Dia harus menyelamatkan Nadine.
Sebelum lantai tiga menjadi lantai terakhir yang pernah ia injak.
Kembali ke dalam ruangan...
Nadine mencari jalan keluar. Tapi tak ada sinyal. Tak ada kamera aktif.
Hanya layar… dan kenyataan yang mulai mengiris pikirannya.
“Apa sebenarnya Leonardo simpan?”
“Kenapa nama ayahku ada di sistem ini?”
Tiba-tiba…
Layar menyala sendiri.
Wajah Leonardo muncul dari kamera CCTV.
"Kau seharusnya tidak ke sana, Nadine."
"Terlalu banyak kebenaran hanya akan membakar orang sepertimu hidup-hidup."
Matanya dingin. Tapi ada rasa yang tak bisa disembunyikan.
"Sekarang pilih, Nadine."
"Keluar dari hidupku... atau ikut masuk lebih dalam, dan tak pernah kembali."
⚠️ Scene Dewasa 21+ — “Antara Luka dan Luka”
Waktu berlatar setelah Nadine berhasil keluar dari lantai tiga — diselamatkan Reyhan, namun justru kembali ke apartemen Leonardo. Luka belum kering… tapi malam itu mereka tak bisa lagi saling menyangkal.
Nadine berdiri di balik jendela apartemen Leonardo, hanya mengenakan kemeja pria itu yang kebesaran. Rambutnya berantakan. Matanya masih merah karena pertengkaran hebat mereka dua jam lalu.
Leonardo masuk dari dapur, diam. Membawa segelas air.
"Minum ini. Kau masih gemetar."
"Aku tak mau apa-apa darimu malam ini," ucap Nadine pelan.
Leonardo mendekat, meletakkan gelas itu di meja.
"Lalu kenapa kau tetap di sini?"
Hening.
Nadine menatapnya. Mata mereka bertubrukan.
"Karena aku benci padamu... tapi lebih benci saat tidak melihatmu."
Kalimat itu membuat dinding antara mereka runtuh.
Leonardo menarik Nadine mendekat. Tubuhnya dingin tapi napasnya hangat di leher Nadine. Tangan besar pria itu menelusuri punggungnya — perlahan, tapi tak bisa disangkal ada api yang tumbuh di antara luka mereka.
"Aku tak pantas menyentuhmu..." bisik Leonardo.
"Tapi kau selalu kembali."
"Karena aku rusak, Leo... dan kau membuatku lupa rasa sakitnya."
Malam itu mereka tidak bersentuhan karena cinta.
Tapi karena dua orang yang terluka, yang memilih saling membakar daripada beku sendiri.
Tubuh mereka saling mencari, bukan untuk kenikmatan, tapi untuk memastikan mereka masih hidup.
Desahan teredam di leher.
Nafas beradu dengan cepat.
Pakaian lepas satu per satu — bukan karena rayuan, tapi karena kebutuhan akan pelarian.
Leonardo mencium setiap inci tubuh Nadine, bukan seperti pria yang sedang menaklukkan, tapi seperti seseorang yang takut kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
"Kalau besok aku mati… ingat malam ini. Ingat rasa ini."
"Kalau besok kau mati... aku akan menyusul."
Mereka jatuh ke ranjang.
Peluh. Luka. Air mata.
Semuanya bercampur jadi satu.
Dan di tengah malam yang liar dan sunyi…
Mereka menemukan satu hal yang lebih dari sekadar tubuh:
Rasa memiliki... yang tak seharusnya mereka rasakan.
berakhir dengan Nadine tidur di dada Leonardo, dan pria itu menatap langit-langit — tahu bahwa setelah malam ini, salah satu dari mereka mungkin tidak akan bangun lagi di sisi yang sama.
BAB 10 — PILIHAN TAK PULANG
Pagi datang, tapi tak membawa kehangatan.
Nadine terbangun dengan kepala di dada Leonardo. Napasnya tenang. Tapi pikirannya penuh badai.
Malam tadi... terlalu dalam.
Terlalu nyata.
"Apa ini cukup untuk membuatmu tetap di sini?" tanya Leonardo pelan, seolah tahu ia sudah terjaga.
Nadine duduk perlahan, menarik selimut ke bahunya.
"Cukup untuk membuatku lupa... tapi tidak cukup untuk membuatku percaya."
Leonardo menatap langit-langit. Diam.
"Aku tak akan pernah bisa menghapus masa lalu, Nadine."
"Tapi masa lalu itu menyentuh hidupku sekarang. Ayahku..."
"...file itu ada namanya, Leo. Dan kau menyimpannya."
Leonardo bangkit duduk, menggenggam tangannya.
"Aku berjanji padamu... aku akan jelaskan semua. Tapi tidak di sini. Tempat ini bukan lagi aman."
Sementara itu, Reyhan bergerak sendiri.
Ia menyusup ke lantai tiga — menemukan bahwa seluruh data "Operasi Polaris" telah dihapus.
Hanya ada satu file tersisa:
"Target: Nadine Rahma"
Tangannya mengepal.
"Dia akan menyingkirkannya. Seperti yang dia lakukan ke ayahnya."
Reyhan menghubungi seseorang.
"Aktifkan Protokol Hantu. Kita angkat Nadine malam ini. Paksa dia keluar. Pakai kekuatan kalau perlu."
Kembali ke Leonardo & Nadine…
Mereka bersiap pergi. Leonardo menyuruh Nadine membawa hanya yang penting.
Namun, saat mereka turun ke lobi…
Tiga pria tak dikenal menunggu.
Reyhan muncul di belakang mereka.
"Nadine, ikut aku."
Leonardo berdiri melindungi Nadine.
"Dia tidak akan ke mana-mana."
Reyhan mengangkat sesuatu — ID militer resmi.
"Nadine Rahma. Kau sedang dalam bahaya. Kau adalah saksi kunci untuk pembongkaran jaringan Polaris. Dan lelaki di sampingmu... adalah tersangkanya."
Nadine terpaku.
"Tunggu... tidak..."
Leonardo menggenggam tangannya.
"Kalau kau ikut dia, Nadine, kita tak akan bisa kembali."
Reyhan maju selangkah.
"Kalau kau tetap bersamanya... kau akan jadi target."
"Kau akan dibungkam. Seperti ayahmu dibungkam."
Diam.
Semua menunggu keputusan Nadine.
Ia menatap dua lelaki — satu yang membuatnya hidup kembali,
dan satu yang dulu pernah menjadi rumahnya.
Airmatanya menetes. Tangannya gemetar.
Tapi bibirnya akhirnya berkata:
"Aku…"
BAB 11 – RUMAH YANG TAK ADA
"Aku…"
Kata itu tergantung di udara.
Semua menunggu Nadine bicara.
Tangannya masih digenggam Leonardo. Tapi tatapannya terarah ke Reyhan — mata yang dulu menyelamatkannya dari dunia yang dingin dan penuh luka.
"Maafkan aku," ucapnya lirih.
Kemudian ia melepaskan genggaman Leonardo, dan melangkah ke sisi Reyhan.
"Aku ingin tahu kebenaran. Bukan hanya dari satu sisi."
Leonardo tidak bergerak. Wajahnya tetap datar, tapi matanya kehilangan sinar itu — seolah separuh jiwanya ditarik pergi.
"Kau akan menyesal."
Nadine menatapnya balik, tenang tapi terluka.
"Mungkin. Tapi aku lebih menyesal jika tidak pernah tahu siapa sebenarnya aku."
Reyhan memberi isyarat pada timnya.
Mereka segera membawa Nadine masuk ke mobil hitam tanpa pelat.
Diam-diam. Tanpa jejak.
Beberapa jam kemudian…
Mereka tiba di markas rahasia unit investigasi.
Nadine diberi file berdebu — berisi catatan terakhir Dr. Rahmat Rahma. Ayahnya.
Di dalamnya:
-
Bukti bahwa ayahnya menolak bekerja sama dengan Polaris.
-
Video testimoni bahwa Leonardo adalah pihak yang memberi perintah untuk “menghilangkan” dirinya.
-
Sebuah rekaman terakhir... suara sang ayah:
“Jika kau mendengar ini, Nadine, berarti aku gagal menyelamatkan diriku. Tapi mungkin… aku bisa menyelamatkanmu.”
Tangis Nadine pecah.
Tangannya menutup mulut. Dunia runtuh pelan-pelan di kepalanya.
"Selama ini... dia tahu."
"Dan dia tetap mencintaiku seperti itu..."
Reyhan menyentuh bahunya.
"Orang seperti Leonardo… bisa mencintai sekaligus menghancurkan dalam satu tarikan napas."
Malam harinya.
Nadine tak bisa tidur.
Ia membuka laptop. Menulis email kosong.
To: [Leonardo.A@...]
Isi:
Aku tak tahu siapa kau sebenarnya.
Tapi aku tahu satu hal: yang kau tunjukkan padaku... itu nyata.
Meski semua lainnya adalah kebohongan.
Kau bilang aku tak akan bisa kembali.
Kau benar. Tapi bukan karena aku memilih jalan lain—
karena rumah itu… ternyata tak pernah ada.
Ia menghapus email itu sebelum dikirim.
Lalu menangis lagi. Dalam diam.
Beberapa hari kemudian...
Leonardo menghilang.
Buronan. Semua rekeningnya dibekukan.
Nama aslinya diumumkan: Leonardo Aldric Septian, agen operasi gelap yang sudah buron di 7 negara.
Dan Nadine?
Dibawa masuk ke program perlindungan saksi.
Identitas baru. Kota baru.
EPILOG — SATU TAHUN KEMUDIAN
Di sebuah café kecil di Kyoto, Jepang.
Nadine kini bekerja sebagai penerjemah.
Tenang. Rapi. Jauh dari dunia lamanya.
Sampai suatu sore…
Seorang pria duduk di bangku pojok.
Berjas hitam. Tangan kirinya terluka. Matanya familiar.
Terlalu familiar.
Leonardo.
Mereka tak berkata apa-apa.
Hanya saling pandang.
Dalam satu detik, segalanya kembali terasa — seperti luka lama yang belum sembuh, tapi tak juga mau ditutup.
Ia menyelipkan secarik kertas ke dalam buku yang ditinggalkan di meja.
Lalu pergi. Tanpa kata.
Nadine membuka kertas itu:
Kau benar, rumah itu tak pernah ada…
…sampai kau masuk ke dalam hidupku.
Airmatanya jatuh.
💋 SCENE PANAS 21+ — “Di Tengah Pelarian”
(Khusus pembaca dewasa — konten emosional dan sensual)
Latar:
Beberapa minggu setelah Nadine meninggalkan Leonardo dan disembunyikan oleh tim Reyhan, dia diam-diam menghubungi Leonardo sekali, dan mereka bertemu di penginapan terpencil di luar Jakarta — untuk terakhir kalinya.
Hujan turun deras malam itu.
Udara di dalam kamar hotel pengap, tapi ketegangan yang membungkus tubuh mereka lebih panas dari cuaca.
Nadine berdiri di depan jendela, mengenakan tanktop tipis dan celana pendek. Tubuhnya gemetar, entah karena dingin atau karena Leonardo yang baru saja masuk dari pintu — basah kuyup, dengan sorot mata yang hanya tertuju padanya.
"Kau datang..." ucap Nadine, suaranya nyaris bisikan.
Leonardo menatapnya dalam-dalam, melepaskan jasnya, lalu mendekat pelan.
"Aku bilang padamu... aku akan datang kapan pun kau panggil."
"Ini terakhir."
"Kita tahu itu bohong."
Mereka saling pandang… dan lalu semuanya meledak seperti percikan api yang selama ini ditahan.
Leonardo menarik tubuh Nadine ke pelukannya, mencium lehernya dengan nafas kasar. Tangannya yang besar menyusuri lekuk pinggangnya — tak ada lagi ragu. Hanya rasa ingin yang terlalu lama ditahan.
“Kau yakin ingin ini?” tanyanya, napasnya panas di telinga Nadine.
Nadine membisik, “Aku butuh ini.”
Malam itu, tubuh mereka berbicara —
tentang kehilangan, tentang amarah, tentang cinta yang tak pernah selesai.
Leonardo mendorongnya ke ranjang, membuka kaus Nadine pelan. Setiap inci kulit yang disentuh seperti ditandai oleh rasa bersalah dan rindu yang menumpuk selama berbulan-bulan.
“Kau selalu jadi racunku, Nadine.”
“Lalu kenapa kau tetap menelanku bulat-bulat?”
Tangannya mengusap dada Nadine, bibirnya turun ke perut, lalu naik lagi — setiap sentuhan bukan hanya menyenangkan, tapi seperti meminta maaf.
Memohon pengampunan lewat tubuh yang sudah terlalu lelah disakiti.
Mereka menyatu. Pelan, lalu liar.
Desahan tertahan. Cengkeraman di punggung. Suara ranjang berderit bersamaan dengan jantung yang berdetak kencang.
Di puncak kenikmatan, Leonardo menatap mata Nadine sambil tetap menyatu.
“Biarkan aku mencintaimu malam ini…
Seolah besok kita tak lagi ada.”
Dan Nadine membalas, “Kau sudah memilikinya, Leo… bahkan saat aku pergi.”
Pagi datang.
Leonardo sudah pergi.
Tapi di meja, ada selembar kertas dengan tulisan tangannya:
“Tubuhmu, suaramu, napasmu…
Masih tinggal di dadaku.
Tapi aku akan belajar berjalan tanpanya.
Karena kau layak hidup. Bahkan tanpaku.”
Komentar
Posting Komentar