Season 2: "Setelah Kita Memilih Pergi"
Setelah Kita Memilih Pergi
📘 Judul Season 2: "Setelah Kita Memilih Pergi"
✍️ by: domino88
🎭 Genre: Romance, Drama, Slice of Life, Emotional Growth
📍 Tagline: "Kadang, perjalanan paling jujur dimulai setelah kita berani kehilangan."
🌟 Sinopsis Season 2:
Setelah perpisahan itu, Rey perlahan membangun kembali hidupnya—dengan menulis, bekerja, dan mengenal kembali dirinya sendiri. Hubungan dengan Sena yang awalnya sederhana mulai memasuki fase baru: ketika kenyamanan mulai bertumbuh, dan luka masa lalu perlahan menampakkan bekasnya.
Di sisi lain, Nala menemukan hidup baru di luar bayang-bayang Rey. Tapi ketika satu sosok dari masa lalu muncul kembali dan menawarkan cinta yang belum selesai, Nala pun dihadapkan pada pilihan: membiarkan luka sembuh... atau membuka kembali pintu yang pernah ia tutup rapat.
Dua hati yang telah memilih jalan masing-masing. Tapi hidup, seperti biasa, tak pernah berhenti menguji: apakah keputusan itu benar? Atau hanya bentuk lain dari pelarian?
📘 Bab 1 – Season 2: Kita yang Baru
Pagi itu, Rey berdiri di depan cermin. Wajahnya terlihat lebih tenang. Rambut sedikit lebih pendek. Tapi sorot matanya belum berubah: masih memendam sesuatu.
Di belakangnya, Sena membawakan dua cangkir kopi. “Kamu kelihatan kosong,” ujarnya sambil duduk di pinggir meja kerja.
Rey tertawa pelan. “Kosong yang sehat, mungkin. Bukan kosong karena hilang arah, tapi kosong karena baru dikosongkan.”
Sena mengangguk. “Kadang kita memang harus jadi kosong dulu biar bisa diisi hal baru.”
Hubungan mereka berjalan tenang. Tapi tak bisa dipungkiri, ada sisi-sisi yang belum mereka bicarakan. Luka lama, trauma, ketakutan akan pengulangan. Cinta yang mereka mulai dengan sadar kini menghadapi tantangan berikutnya: mampukah mereka mencintai tanpa bayangan masa lalu?
Sementara itu, di sudut kota lain, Nala duduk di ruang kerja barunya. Ia kini bekerja sebagai desainer freelance, hidup mandiri tanpa Rey. Di layar laptopnya, muncul notifikasi dari seseorang yang dulu pernah sangat ia percaya.
“Apa kabar, Nala? Aku dengar kamu udah nggak sama Rey. Aku masih di kota ini. Mau ketemu?” – Adit
Nama itu seperti pintu yang seharusnya sudah ia segel rapat.
Dan kini, hati Nala berdebar dengan rasa yang sudah lama ia kubur.
📘 Bab 2 – Season 2: Pertemuan yang Tak Lagi Sama
Langit Jakarta sore itu mendung, dan Nala duduk di dalam sebuah kedai kopi kecil di Tebet. Tangannya menggenggam cangkir hangat, tapi pikirannya berkelana jauh. Tepat di depannya, Adit duduk—dengan senyum yang masih sama seperti dulu, tapi tatapannya lebih dewasa, lebih tenang.
Mereka pernah dekat. Sangat dekat. Tapi sebelum bisa menjadi apa-apa, Adit memilih pergi ke luar negeri demi beasiswa. Dan Nala… memilih Rey.
“Jadi kamu dan Rey udah selesai?” Adit membuka percakapan dengan hati-hati.
Nala mengangguk pelan. “Udah lama harusnya. Tapi baru benar-benar selesai kemarin-kemarin.”
Adit menatapnya lama. “Kamu baik-baik aja?”
Nala menghela napas. “Baik, tapi belum sepenuhnya utuh. Tapi aku rasa… aku lebih jujur sekarang dibanding saat aku bertahan.”
Ada jeda. Adit tersenyum kecil.
“Aku sempat nyesel ninggalin kamu dulu. Tapi waktu itu, aku pikir kamu bahagia sama Rey.”
“Aku pikir juga begitu,” jawab Nala lirih. “Sampai aku sadar, aku lebih takut kehilangan hubungan… daripada kehilangan diriku sendiri.”
Mereka tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena akhirnya bisa membicarakan luka lama tanpa getir di dada.
“Aku nggak minta kita balik kayak dulu,” kata Adit. “Aku cuma pengin hadir sekarang. Kalau kamu butuh teman. Butuh tenang.”
Nala menatap Adit. Ada sesuatu yang hangat di sana—bukan cinta yang membakar, tapi pelukan yang diam-diam terasa.
“Terima kasih, Dit. Tapi aku harus belajar berdiri dulu sendiri.”
Adit mengangguk. “Aku tunggu. Bahkan kalau cuma buat duduk bareng kamu di waktu-waktu sepi.”
Sementara itu di sisi lain kota, Rey menulis puisi pendek:
"Kita pernah jadi sepasang bintang,
tapi cahaya tak selalu harus saling sandar.
Kadang terang justru hadir,
saat kita memilih berjalan sendiri."
Sena membacanya dari balik punggung Rey, lalu berbisik,
“Aku tahu kamu belum selesai sama dirimu sendiri. Tapi aku nggak apa-apa, Rey. Aku bisa sabar, asal kamu nggak bohong lagi pada dirimu.”
Rey menoleh. “Aku nggak akan lari lagi, Sen.”
Tapi ia tahu... beberapa luka memang tak sembuh secepat itu. Dan mencintai kembali… artinya siap terluka kembali.
📘 Bab 3 – Season 2: Bayangan di Tengah Langkah Baru
Malam itu, Rey berdiri di balkon apartemennya. Kota masih ramai seperti biasa—lampu-lampu, suara kendaraan, dan kepulan asap rokok dari tetangga sebelah. Tapi pikirannya melayang jauh.
Di dalam, Sena tertidur di sofa. Lelah setelah menemaninya menata ulang ruang kerja dan membacakan beberapa tulisan Rey dengan sabar.
Semuanya terlihat... baik.
Tapi entah kenapa, Rey masih merasa seperti ada sesuatu yang menggantung. Bukan karena Sena, bukan karena hari-hari yang ia jalani. Tapi karena dirinya sendiri—yang belum sepenuhnya bebas dari luka yang tak berdarah.
Ia membuka galeri ponselnya. Salah satu foto lama muncul: Rey dan Nala, tersenyum di pantai, berdua memegang kelapa muda. Foto itu sudah pernah ia hapus. Tapi entah kenapa... muncul kembali dari folder cloud yang tak sengaja tersambung ulang.
Rey tak menangis. Tapi hatinya diam.
Kadang, bukan cinta yang kembali. Tapi rasa bersalah karena dulu tak berani jujur lebih cepat.
Di tempat lain, Nala sedang duduk di atas tempat tidur kontrakan barunya. Laptop terbuka. Chat dari Adit masih menyala di layar:
“Kamu tahu? Aku masih bisa bedain senyum yang kamu buat-buat dan yang dari hati. Tadi di kafe, kamu senyum… tapi kosong.”
Nala menggigit bibirnya.
Dia tidak tahu harus menjawab apa. Karena Adit benar.
Bahkan setelah berpisah dari Rey, bahkan setelah merasa “bebas”, kadang ia masih merasa seperti seseorang yang kehilangan arah. Ia tak merindukan Rey sebagai sosok. Tapi ia merindukan rasa dicintai tanpa harus kuat setiap saat.
Ia membuka Instagram, iseng mengetik nama Rey. Akunnya masih aktif, masih mengunggah potongan puisi, masih suka pakai caption ambigu.
Di salah satu unggahan, ada komentar dari akun bernama @senadalamdiam:
“Tulisan kamu selalu bikin aku tenang, Rey.”
Nala terdiam.
Ia tak cemburu. Tapi hatinya terasa… sepi.
Esoknya, di kantor tempat Rey bekerja freelance sebagai content consultant, dia mendapat undangan untuk jadi pembicara di sebuah acara komunitas literasi.
Dan nama salah satu pengisi sesi diskusi...
Nala Prameswari – Desainer & Penulis Lini Visual
Rey terpaku.
Dunia ternyata memang sekecil itu. Atau… luka belum benar-benar selesai diuji.
📘 Bab 4 – Season 2: Takdir yang Tak Bisa Dihindari
Suasana di dalam ruang seminar cukup ramai. Kursi-kursi telah diisi oleh para peserta komunitas—mereka yang mencintai sastra, visual, dan hal-hal sederhana yang menyentuh jiwa.
Rey datang lebih awal. Mengenakan kemeja hitam dan jaket cokelat yang biasa ia pakai saat bicara di depan umum. Tapi hari ini, tangannya dingin. Tidak karena gugup akan berbicara. Tapi karena nama di rundown acara yang tak bisa ia abaikan:
“Sesi 2: Kolaborasi Kata dan Warna — Nala Prameswari & Rey Akasaka”
Ia tidak tahu apakah ini lelucon semesta atau cara semesta menunjukkan bahwa cerita mereka belum selesai—setidaknya bukan sebagai musuh, atau kenangan mati.
Nala datang tak lama setelahnya. Rambutnya sedikit lebih pendek dari terakhir Rey melihatnya. Gayanya lebih sederhana, tapi tatapannya lebih kuat.
Mereka bertemu mata di panggung kecil belakang ruangan. Beberapa panitia menyambut mereka sambil bercanda, tidak tahu bahwa dua orang yang akan mereka dudukkan berdampingan ini adalah dua hati yang pernah saling patah di tempat terdalam.
“Hai,” sapa Nala, datar tapi sopan.
Rey mengangguk. “Halo.”
Tak ada pelukan. Tak ada senyum manis. Tapi juga tak ada kemarahan. Hanya dua orang yang sudah terlalu banyak menyimpan luka dan belajar menaruhnya di tempat yang tak lagi mengganggu langkah.
“Siap tampil bareng lagi?” tanya Nala sambil tersenyum kaku.
Rey menatap matanya. “Kita nggak pernah benar-benar berhenti tampil bareng. Cuma panggungnya berubah.”
Mereka duduk di sofa kecil di atas panggung saat sesi dimulai. Moderator memperkenalkan mereka sebagai “dua penggiat seni yang karya-karyanya saling melengkapi”—tanpa tahu betapa ironis kalimat itu untuk keduanya.
Saat diskusi mengalir, Rey dan Nala berbicara dengan tenang. Profesional. Tapi di sela-sela tawa dan tepuk tangan penonton, ada momen-momen kecil—mata yang saling melirik, jeda kata yang terasa terlalu lama, dan satu kalimat dari Nala yang membuat Rey terpaku:
“Kadang, seni adalah cara kita menebus hal-hal yang tak sempat kita ucapkan ketika masih saling punya.”
Semua orang mengangguk mengagumi. Tapi Rey tahu... kalimat itu bukan untuk mereka.
Itu untuknya.
Dan mungkin... untuk mereka berdua.
📘 Bab 5 – Season 2: Apa yang Tidak Pernah Kita Akui
Sena duduk di meja makan, menyeduh teh hangat yang tak pernah disentuh Rey sejak pagi. Ia melihat jam, 21.30. Rey belum juga pulang.
Ketika pintu apartemen akhirnya terbuka, Rey masuk dengan langkah pelan. Tidak lelah. Tapi tidak juga ringan.
“Kamu dari mana?” tanya Sena tenang.
“Acara komunitas. Diskusi sastra dan visual.”
Sena mengangguk. “Sama Nala?”
Rey terdiam sejenak, lalu mengangguk.
Sena duduk di depannya, menatap tanpa senyum.
“Aku nggak keberatan kamu ketemu dia. Tapi yang aku takutkan, kamu belum selesai dengan hal-hal yang nggak pernah kamu akui. Termasuk rasa bersalah.”
Rey menatap meja. “Aku nggak tahu apa yang harus aku rasakan, Sen. Aku ketemu dia, dan rasanya... seperti ngelihat versi lama dari diri aku. Versi yang dulu aku tinggalkan demi bertahan.”
Sena menghela napas. “Dan sekarang kamu pengin kembali ke versi itu?”
Rey menatapnya cepat. “Nggak. Tapi aku juga belum tahu siapa diri aku sekarang sepenuhnya.”
Sena tersenyum tipis. Luka kecil terlihat di matanya, tapi ia tidak membentak, tidak pergi. Ia hanya berkata,
“Kalau kamu masih belum selesai, Rey… jangan tarik aku ke dalam proses yang belum kamu pahami.”
Rey terdiam.
Dan untuk pertama kalinya sejak bersama Sena, ia benar-benar merasa... takut kehilangan.
Sementara itu, di sisi kota yang lain, Nala duduk di beranda apartemennya. Adit sedang di dalam, menyiapkan dua cangkir cokelat panas. Mereka tak pacaran. Tapi juga bukan sekadar teman biasa.
Nala membuka galeri ponselnya—foto diskusi tadi siang beredar di akun komunitas. Di salah satu slide, ada momen di mana ia dan Rey saling tertawa—tulus, ringan, seolah tak pernah terjadi luka.
Adit datang, menyodorkan cangkir. “Kamu kelihatan jauh.”
“Aku cuma... lihat foto tadi siang.”
Adit duduk di sampingnya. “Masih belum selesai sama dia?”
Nala tak menjawab. Ia hanya menatap langit, lalu berbisik,
“Kadang bukan orangnya yang belum selesai. Tapi versi diriku yang masih tertinggal di masa itu.”
📘 Bab 6 – Season 2: Yang Kita Biarkan Bertumbuh Diam-Diam
Sudah tiga hari sejak Rey dan Sena bicara di meja makan malam itu. Tidak ada pertengkaran setelahnya. Tapi juga tidak ada pelukan.
Hubungan mereka mulai terasa seperti jalan yang masing-masing sisinya berjalan sendiri—beriringan, tapi tak lagi saling sapa.
Rey mencoba fokus menulis. Ia bahkan menolak beberapa undangan diskusi dan lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerja. Tapi di tengah kalimat-kalimat puitis dan layar laptop yang terbuka, pikirannya kerap kembali ke wajah yang ia lihat di panggung tempo hari.
Wajah Nala.
Bukan karena ingin kembali. Tapi karena rasa yang belum punya nama, masih tertinggal dalam bentuk pertanyaan: “Apa yang sebenarnya aku cari dari pertemuan itu?”
Di sisi lain kota, Adit mengetuk pintu apartemen Nala, membawakan dua box makanan kesukaan mereka waktu kuliah dulu—chicken katsu dan tumis jamur mentega.
“Gue tahu kamu lagi males masak,” katanya sambil masuk.
Nala tersenyum kecil. “Sejak kapan kamu bisa tahu isi kulkas orang?”
“Sejak tahu kamu suka menyembunyikan lelahmu di balik senyum yang datar,” jawab Adit cepat.
Malam itu mereka makan bersama di lantai, sambil mendengarkan lagu-lagu akustik dari speaker kecil. Suasana santai, ringan, tapi juga… berbahaya.
Karena kedekatan yang tumbuh dari luka lama bisa saja menipu diri sendiri.
Dan ketika Adit tanpa sadar menyentuh tangan Nala—hanya untuk mengambil sendok—waktu seolah berhenti sejenak.
Nala menarik tangannya perlahan. Ia menatap Adit, lalu berkata pelan,
“Aku takut, Dit.”
Adit menatapnya balik. “Takut apa?”
“Takut aku cuma butuh seseorang. Bukan cinta.”
Adit tak menampik. Ia menarik napas, lalu menjawab jujur.
“Kalau aku boleh milih… aku lebih pilih jadi orang yang kamu butuhin dulu. Karena kadang, cinta lahir bukan dari rasa... tapi dari kehadiran.”
Di tengah malam, Rey berdiri di dapur, menatap gelas air yang belum diminum. Sena menghampiri, pelan.
“Aku nggak minta kamu tahu semua jawaban, Rey,” bisik Sena. “Aku cuma minta... jangan biarin aku nunggu di ruang yang kamu tutupi dengan diam.”
Rey menatap Sena. Lalu untuk pertama kalinya, ia berkata tanpa ragu:
“Aku akan buka semua. Tapi biarkan aku kenal diriku sampai tuntas dulu.”
Sena mengangguk. Tapi senyumnya tak sampai ke mata.
Karena kadang... kejujuran datang terlalu lambat, dan rasa sudah keburu mengendur.
📘 Bab 7 – Season 2: Saat Kita Akhirnya Menyebutnya dengan Nama
Hari itu, Rey kembali ke tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Nala: toko buku kecil di pojok Kemang, yang aroma kayunya tak pernah berubah. Tanpa sengaja—atau mungkin memang sudah ditulis semesta—Nala juga datang ke sana.
Ia berdiri di rak sastra, memegang buku karya penyair favorit Rey.
Mereka saling menatap. Tak kaget. Tak gugup. Seperti dua orang yang diam-diam tahu, momen ini pasti datang.
“Hai,” kata Rey.
“Hai juga.”
Senyum kecil. Lalu hening.
“Lagi cari apa?” tanya Rey.
“Jawaban,” jawab Nala tanpa berpikir. Lalu keduanya tertawa kecil. Tawaan yang tak lagi pahit, hanya sedikit getir.
Mereka duduk di kursi baca dekat jendela. Dan di antara derik kipas angin tua, Nala akhirnya berkata,
“Aku nggak nyari kamu, Rey. Tapi aku juga nggak bisa bohong bahwa ketemu kamu kemarin... bikin aku sadar, ternyata ada rasa yang belum pernah kita beri nama.”
Rey mengangguk pelan. “Aku juga ngerasain hal yang sama.”
“Bukan cinta,” lanjut Nala. “Tapi sesuatu yang lebih tua dari cinta. Sesuatu yang diam-diam tumbuh karena kita pernah saling bertahan terlalu lama. Dan sekarang, setelah kita lepas, perasaan itu masih ada. Tapi bentuknya berubah.”
Rey menggenggam jemarinya, lembut.
“Kalau dulu kita saling memiliki karena takut kehilangan, mungkin sekarang kita saling hadir... karena kita memilih, bukan terikat.”
Nala menarik tangannya pelan. “Tapi aku nggak bisa balik, Rey. Aku udah bukan Nala yang dulu. Dan kamu juga bukan Rey yang pernah aku jaga.”
Rey menatapnya dalam. “Aku nggak minta kita kembali. Aku cuma pengin kita tahu... bahwa kita pernah ada. Dan kita masih bisa saling mendoakan, tanpa harus saling menggenggam.”
Nala tersenyum. Kali ini senyum itu jujur.
“Kalau gitu, bolehkah aku menyebut ini... sebagai bentuk lain dari mencintai?”
Rey menjawab pelan,
“Ya. Mencintai... tanpa ingin memiliki.”
📘 Bab 8 – Season 2: Sena, dan Luka yang Tak Lagi Aku Tutupi
Rey duduk di lantai ruang tengah, menatap lembar-lembar puisi yang berceceran di sekitarnya. Setiap bait adalah fragmen dirinya—patah, bangkit, bingung, dan perlahan jujur.
Sena datang menghampiri tanpa suara, duduk di samping Rey, ikut membaca lembar-lembar yang tercecer. Salah satu puisi berhenti di tangannya.
“Aku belajar mencintai bukan dari siapa yang menetap,
tapi dari siapa yang tak lari, bahkan saat aku tak utuh.”
Sena menghela napas. “Itu tentang aku?”
Rey menoleh. Kali ini, tidak bersembunyi.
“Iya. Dan juga bukan.”
Sena mengernyit.
“Itu tentang kamu... yang datang di waktu aku belum selesai mencintai diriku sendiri. Tentang seseorang yang mau duduk di sisi luka yang belum bisa aku namai.”
Sena menatap mata Rey. “Dan Nala?”
Rey tak menjawab. Tapi sorot matanya menyimpan kejujuran yang tak bisa dibantah.
“Rey,” Sena melanjutkan pelan, “aku bisa menunggu. Tapi jangan biarkan aku berdiri di pintu yang tak pernah kamu buka penuh. Kalau kamu masih menoleh ke belakang, biarkan aku pergi sebelum kita jadi dua orang yang sama-sama saling menahan tapi nggak saling mencintai.”
Rey menunduk. Tangannya meremas lembaran puisi yang belum selesai.
“Aku mencintai kamu, Sen. Tapi aku juga sadar... mencintai bukan tentang menjaga kamu di sini. Tapi memastikan kamu nggak hancur karena aku belum selesai.”
Sena tersenyum. Sedih, tapi tenang.
“Kalau gitu... jangan janji apa-apa dulu. Pulihkan dirimu. Biar kalau nanti kita saling memilih, bukan karena takut kehilangan—tapi karena benar-benar ingin berjalan bareng.”
Malam itu, Sena tidur di kamar tamu. Rey menatap langit-langit kamarnya sendiri—sendirian, lagi. Tapi kali ini, kesendirian itu tidak terasa seperti hukuman. Justru... seperti awal yang baru.
Di sisi lain, Adit menemani Nala menyiapkan portofolio desain untuk pameran visual.
“Nal,” ucap Adit sambil menatap layar laptop, “boleh jujur?”
Nala menoleh. “Apa?”
“Aku suka kamu. Tapi aku sadar, perasaan yang aku punya bisa jadi tumbuh dari tempat yang salah.”
Nala menggigit bibir bawahnya. Tidak menjawab.
“Aku nggak minta kamu balas sekarang. Tapi aku juga nggak mau kamu menyimpan aku sebagai penampung rasa kehilangan. Karena aku mau jadi seseorang yang kamu pilih... bukan kamu pakai.”
Kali ini, mata Nala berkaca-kaca. Tapi ia mengangguk. Dan dalam hati, ia tahu—ia juga harus belajar jujur, seperti Rey.
📘 Bab 9 – Season 2: Perasaan yang Tidak Kita Rencanakan
Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai apartemen Rey. Suasana hening, tapi bukan karena kehilangan. Heningnya berbeda. Kali ini, lebih seperti ruang kosong yang menunggu diisi… oleh sesuatu yang belum diketahui bentuknya.
Rey membuka jendela. Angin segar masuk, membawa aroma kopi dari warung seberang. Ia melihat ponselnya. Tidak ada pesan dari Sena hari ini. Tidak seperti biasanya.
Tapi anehnya, ia tidak merasa ditinggal. Ia justru merasa… dihormati. Karena untuk pertama kalinya, seseorang memilih menjauh bukan karena marah, tapi karena sayang.
Dan itu memberinya ruang—untuk jujur, pada dirinya sendiri.
Di sudut kota yang lain, Nala berdiri di tengah galeri pameran kecil yang memajang karyanya. Ilustrasi-ilustrasi penuh warna menggambarkan perjalanan emosi: ketakutan, kebingungan, keberanian… dan ketulusan.
Adit datang, membawa dua botol air mineral. Ia diam di samping Nala, lalu bertanya,
“Kamu bahagia?”
Nala menghela napas. “Aku... lega. Untuk pertama kalinya, aku nggak menyembunyikan apa pun. Semua yang ada di sini… ini semua perasaanku yang selama ini aku simpan.”
Adit tersenyum, tapi kemudian menatap mata Nala, serius.
“Kalau kamu harus memilih… bahagia sendirian, atau nyaman bersama seseorang yang kamu belum cinta… kamu pilih yang mana?”
Nala berpikir lama, sebelum menjawab,
“Aku pilih bahagia sendirian. Karena aku nggak mau lagi belajar cinta dari rasa bersalah.”
Adit mengangguk. Ia tidak kecewa. Ia justru bangga—karena wanita di depannya sudah benar-benar berdiri di atas kakinya sendiri.
Sore hari, saat langit mulai berubah warna, Rey duduk di bangku taman tempat dulu ia sering membaca. Kali ini, sendiri. Tapi kali ini… ia tidak menunggu siapa-siapa.
Ia menulis lagi.
“Perasaan yang tidak kita rencanakan,
bukan berarti harus kita miliki.
Karena cinta yang utuh,
datang bukan dari kebutuhan…
tapi dari keberanian memilih meski tak ada yang menjanjikan apa-apa.”
Rey tersenyum kecil.
Dan di detik itu, ia tahu. Entah dengan Sena, entah sendiri, atau bersama seseorang yang belum ia temui…
ia siap membuka hati lagi.
Tapi bukan untuk menggantikan siapa pun.
Melainkan untuk menjadi dirinya yang sepenuhnya utuh.
📘 Bab 10 – Season 2: Jika Cinta Datang Lagi
Satu bulan kemudian.
Hidup berjalan seperti biasa. Tak ada drama besar. Tak ada pesan yang tertinggal atau telepon tengah malam.
Rey dan Nala kini berjalan di jalur mereka masing-masing—berdekatan tapi tidak lagi bersilangan.
Rey menghadiri peluncuran bukunya yang pertama. Buku puisi dan refleksi pribadi yang ia beri judul “Yang Kita Biarkan Pergi”. Di kursi tamu paling depan, Sena hadir. Tidak sebagai kekasih. Tapi sebagai seseorang yang pernah menjadi rumah, dan kini menjadi teman yang paling mengerti bentuk luka Rey.
“Buku yang jujur,” ujar Sena setelah acara selesai.
Rey tersenyum. “Karena aku nulisnya waktu akhirnya berhenti pura-pura baik-baik saja.”
Sena mengangguk. “Kita terlalu sering menyimpan rasa, padahal kadang... menyebutnya saja sudah cukup.”
Mereka tidak berpelukan. Tidak saling berpamitan dengan janji. Tapi mereka tahu: cinta pernah tinggal di antara mereka. Dan kini, cinta itu sudah tumbuh ke arah yang berbeda.
Nala, di sisi lain, melanjutkan proyek visual yang membawanya ke luar kota. Adit tidak ikut. Bukan karena tak ingin, tapi karena mereka berdua sepakat: kehadiran seharusnya tidak dibangun dari ketakutan akan kehilangan.
Sore itu, Nala menatap langit dari balkon penginapan.
Ia mengeluarkan buku sketsa, menulis kalimat kecil di halaman kosong:
“Jika cinta datang lagi,
semoga ia datang bukan untuk mengisi ruang kosong,
tapi untuk berjalan bersama—tanpa perlu terburu-buru,
tanpa harus mengganti yang sudah pergi.”
Ia tersenyum. Diri yang kini berdiri di sini bukan lagi Nala yang dulu. Ia bukan seseorang yang menggenggam karena takut. Tapi seseorang yang tahu… kapan harus memeluk, dan kapan harus melepas dengan ikhlas.
Di waktu dan tempat yang berbeda, Rey dan Nala menatap langit yang sama. Mungkin mereka tak akan saling bertemu lagi. Tapi di dalam hati, ada satu hal yang mereka tahu pasti:
Cinta tidak harus kembali untuk menjadi benar.
Kadang, cinta cukup hadir… lalu pergi, setelah mengajarkan kita bagaimana menjadi utuh.
📘 Epilog: Luka yang Tidak Menyisakan Dendam
Waktu berjalan. Dan tidak semua luka harus sembuh sepenuhnya untuk bisa dilanjutkan.
Rey kini hidup dengan tenang. Ia menulis, berbicara di komunitas, dan sesekali menyendiri tanpa rasa bersalah. Ia tak lagi menulis untuk dikenang, melainkan untuk melepaskan. Sena? Masih hadir sesekali—bukan untuk kembali, tapi untuk menunjukkan bahwa yang tulus tidak harus terus memiliki.
Nala pun serupa. Ia tak lagi menunggu cinta untuk membuatnya merasa layak. Kini ia berdiri sebagai dirinya sendiri—seniman, perempuan, manusia yang pernah gagal mencintai… tapi kini belajar mencintai tanpa syarat.
Mereka tidak berakhir bersama. Tapi mereka juga tidak pernah benar-benar hilang dari hidup satu sama lain. Nama-nama mereka mungkin tidak lagi muncul dalam notifikasi harian, tapi tetap tinggal diam-diam di ruang kenangan yang damai.
Karena cinta, pada akhirnya, bukan soal siapa yang bertahan paling lama.
Tapi siapa yang paling jujur dalam melepaskan,
dan tetap mendoakan diam-diam…
bahagia, meski bukan bersama.
Komentar
Posting Komentar