Tanda Luka
Tanda Luka
🩸 TANDA LUKA – Bab 1: Barang Baru
Cassandra menarik napas panjang saat kain penutup matanya dilepas.
Cahaya lampu di ruangan itu menyilaukan, membuatnya menyipit. Tangannya masih terikat di belakang, pergelangan tangannya perih, nyaris mati rasa. Ia duduk di lantai dingin dari marmer, sementara dua pria bertubuh kekar berdiri di belakangnya seperti bayangan neraka.
Lalu dia datang.
Pria itu memasuki ruangan tanpa suara. Jas hitamnya rapi, dasinya gelap, sepatu kulitnya bersih tanpa noda. Ia tak membawa senjata, tapi udara di sekitarnya menggigil saat dia lewat. Tatapannya tajam, penuh luka yang telah mengering dan menjadi bagian dari dirinya.
"Cassandra," pria itu menyebut namanya. Suaranya datar—dingin dan dalam, seperti malam tanpa bulan.
"Aku Kael."
Cassandra menelan ludah. Nama itu pernah ia dengar dari para penculiknya. Kael Valleria. Pemimpin mafia generasi kedua. Tidak ada belas kasihan. Tidak ada ampun.
"Apa kau tahu kenapa kau di sini?" tanyanya.
Cassandra hanya menatap. Ia tak tahu apakah harus menjawab jujur, atau pura-pura bodoh. Jantungnya berdetak kencang, terlalu cepat, seakan tubuhnya sadar lebih dulu bahwa apa pun yang akan terjadi setelah ini... bukanlah hal biasa.
"Aku... aku tidak tahu," bisiknya akhirnya.
Kael mendekat. Dengan satu gerakan tenang, ia berlutut di depannya. Tangannya mengangkat dagu Cassandra dengan lembut, tapi sentuhannya membuat tubuh gadis itu gemetar lebih parah daripada tamparan.
"Kau adalah... hadiah," katanya, suaranya rendah. "Tapi aku tidak menerima hadiah dengan cuma-cuma. Jadi kuanggap kau... milik."
"Milik... siapa?"
"Milikku."
Cassandra ingin membantah. Tapi matanya bertemu dengan mata Kael—gelap, terluka, penuh amarah yang dikubur dalam-dalam. Dan di sana, untuk sesaat, ia melihat sesuatu yang lebih menakutkan dari kekerasan.
Rasa ingin memiliki.
"Bawa dia ke kamarku," perintah Kael. "Jangan ikat dia. Kalau dia lari... aku sendiri yang akan mengejarnya."
🩸 TANDA LUKA – Bab 2: Sang Pemilik
Langkah-langkah sepatu menghantui koridor gelap menuju lantai atas. Cassandra berjalan di depan, diapit dua pengawal yang tak mengucap sepatah kata pun. Perintah Kael agar ia tidak diikat membuatnya merasa bebas—tapi hanya seolah-olah. Karena kenyataannya, ketakutannya lebih erat dari rantai mana pun.
Pintu kamar terbuka, dan pengawal itu mendorongnya masuk. Tidak kasar, tapi juga tidak lembut. Pintu ditutup di belakangnya. Sunyi.
Kamar itu... besar. Terlalu besar. Dominan hitam, abu-abu, dan perak. Bau parfum maskulin tercium samar di udara. Di tengahnya, tempat tidur luas dengan seprai hitam—tempat yang tampak seperti ranjang eksekusi bagi seseorang sepertinya.
Lalu suara itu datang lagi. Dalam. Penuh kontrol.
"Tak ada yang akan menyakitimu di sini... kecuali aku."
Cassandra berbalik. Kael berdiri di ambang pintu balkon, merokok. Api rokok menyala merah dalam kegelapan seperti mata iblis.
"Aku tak ingin jadi milik siapa pun," gumam Cassandra, lebih kepada dirinya sendiri.
Kael tertawa kecil. Dingin.
"Sayangnya, itu bukan keinginan yang kau punya. Aku membayar mahal untukmu, Cassandra."
"Aku bukan barang."
Kael mendekat. Tubuhnya tinggi, langkahnya tenang. Tapi matanya—mata itu seperti memelototi jiwanya.
"Belum," katanya pelan. "Tapi kau akan belajar bagaimana menjadi milikku. Perlahan. Dengan caraku."
Ia berhenti hanya beberapa senti dari wajah Cassandra. Tangannya terulur—bukan untuk memukul, bukan untuk memeluk. Ia menyentuh leher Cassandra, jari-jarinya menyusuri kulitnya yang dingin. Dan saat ia menyentuh bekas luka kecil di bawah rahang Cassandra, sesuatu berubah di sorot matanya.
"Bukan hanya aku yang telah menyakitimu, ya?" gumamnya.
Cassandra menahan napas. Luka itu kecil, tapi dalam. Bukan luka fisik yang membuatnya gemetar, melainkan fakta bahwa Kael memperhatikannya—lebih dari siapa pun yang pernah ada.
"Aku tidak mau kau menyentuhku," bisik Cassandra.
Kael menyeringai tipis.
"Itu bukan pilihan. Tapi aku juga tidak memperkosa milikku. Kau akan memberikannya... saat waktunya tepat."
Diam.
Kael mundur. "Bersihkan dirimu. Kamar mandi di sebelah sana. Pakai apa yang kau suka di lemari. Mulai besok, kau akan tinggal di sini. Di ranjang ini."
Cassandra tak menjawab. Ia menatap pintu, tapi tahu itu tak akan terbuka baginya. Jadi ia berjalan pelan menuju kamar mandi, sambil bertanya-tanya:
Apakah benar yang paling menakutkan dari Kael adalah sentuhannya? Atau justru... perhatiannya?
🩸 TANDA LUKA – Bab 3: Sangkar
Air panas mengguyur tubuh Cassandra, namun dingin di dalam dirinya tak juga hilang. Ia berdiri lama di bawah pancuran, mencoba menghapus bau penjara dan ketakutan dari kulitnya. Tapi ada yang lebih sulit dibersihkan daripada kotoran—rasa ditelanjangi, secara fisik maupun batin.
Setelah mandi, ia menemukan pakaian di lemari. Lembut. Mewah. Tapi tetap terasa seperti seragam penjara versi mahal. Ia memilih gaun satin abu tipis yang menggantung di ujung. Panjang, tapi terbuka di punggung. Tidak ada bra. Tidak ada celana dalam. Kael tahu apa yang ia lakukan.
Cassandra berdiri di depan cermin besar, memandangi dirinya sendiri. Matanya merah. Rambutnya lembab. Gaun itu membuatnya tampak seperti milik seseorang. Bukan dirinya sendiri.
Lalu suara ketukan pelan.
Kael masuk tanpa menunggu izin.
"Bagus. Kau pakai yang kupilih."
"Aku tidak punya pilihan, bukan?"
Kael menatapnya dari kepala hingga kaki, lalu duduk di kursi dekat jendela, menyilangkan kaki. Wajahnya santai, tapi matanya... tidak. Mata itu seperti milik hewan liar yang diajarkan cara duduk, tapi tetap lapar.
"Pilihan adalah ilusi, Cassandra. Di tempat ini, aku satu-satunya kenyataan."
Ia menepuk tempat tidur.
"Duduk. Di sini."
Cassandra mematung. Lalu, perlahan, berjalan mendekat dan duduk di tepi kasur. Jarak mereka satu lengan, tapi terasa seperti dunia yang berbeda.
Kael mengambil segelas anggur dari meja samping dan menyerahkannya padanya.
"Minumlah. Ini bukan racun."
"Aku tidak haus."
"Aku tidak bertanya apa kau haus. Aku menyuruhmu minum."
Tatapan mereka bertemu. Cassandra tahu, setiap kali ia melawan, Kael akan semakin tertarik. Bukan karena ia suka konflik—tapi karena ia terbiasa dengan kehancuran yang cantik.
Ia meminum sedikit. Anggur itu pahit.
"Bagus," katanya pelan. "Belajarlah patuh. Maka kau tidak akan kupecahkan."
"Dan kalau aku melawan?"
Kael tersenyum. Dingin. Sakit.
"Maka aku akan jatuh cinta padamu."
Hening. Jawaban itu bukan lelucon. Cassandra bisa merasakannya.
Kael berdiri. Ia berjalan ke arah rak buku di sudut kamar, mengambil kotak kayu kecil, dan membukanya. Di dalamnya—sebuah kalung rantai tipis, dengan liontin besi kecil berbentuk tetesan darah.
"Ini punyamu sekarang."
"Apa ini semacam... kalung peliharaan?"
"Lebih dari itu. Itu simbol. Jika kau memakai ini... kau secara resmi milikku di hadapan siapa pun."
Cassandra menatap kalung itu. Logamnya dingin. Tapi ada sesuatu yang lebih dingin di balik niat Kael memberikannya: pengakuan. Kepemilikan. Obsesinya.
"Aku belum setuju jadi milikmu."
Kael melangkah pelan, berdiri di belakangnya, lalu dengan lembut menyematkan kalung itu di leher Cassandra.
"Aku tidak menunggu persetujuanmu."
Saat kalung terkunci di lehernya, Cassandra merasa seperti sesuatu di dalam dirinya patah. Tapi anehnya... sebagian lain merasa hidup.
🩸 TANDA LUKA – Bab 4: Ujian Pertama
Cassandra duduk di tepi ranjang, mengenakan kalung itu. Ringan, tapi terasa seperti beban. Ia memegang liontin kecilnya—bentuk tetes darah, seperti ejekan pada luka-lukanya sendiri.
Saat Kael kembali dari rapat mafia yang katanya penting, Cassandra masih di kamar. Ia belum tidur. Ia sengaja menunggu.
Kael membuka pintu dan berhenti.
"Kau belum tidur?"
"Aku tidak bisa."
Ia menutup pintu, melepaskan jasnya dan berjalan ke minibar. Menuangkan whiskey, lalu menatapnya.
"Apa karena aku?"
"Karena semuanya."
Kael diam sejenak. Ia menyesap minumannya, lalu melangkah pelan ke arah ranjang, berdiri di hadapan Cassandra.
"Lepas gaunmu," katanya. Suaranya lembut, tapi bukan permintaan. Perintah.
Cassandra mematung.
"Kenapa?"
"Aku ingin melihat tubuh yang kini milikku."
"Aku bukan boneka pajangan, Kael."
Kael menyeringai. "Tidak. Kau jauh lebih menarik daripada boneka. Mereka tidak bisa melawan."
Cassandra berdiri. Tangannya gemetar saat menarik tali gaun dari punggungnya. Perlahan. Tak terburu-buru. Entah kenapa, ia ingin membuat Kael menunggu. Ia ingin melihat seberapa sabar pria itu.
Saat gaun meluncur ke lantai dan tubuhnya hanya tersisa kulit, Kael menatapnya lama. Sorot matanya bukan hanya nafsu—tapi juga rasa memiliki, luka, dan sesuatu yang lebih dalam: rasa takut kehilangan.
Ia melangkah mendekat. Cassandra mengira ia akan menyentuhnya. Tapi tidak. Kael hanya membungkuk, mengangkat gaun itu, lalu memakaikannya kembali padanya. Gerakannya pelan. Rapi.
"Aku tidak akan menyentuhmu malam ini," bisiknya di telinga Cassandra. "Tapi aku ingin kau tidur di ranjangku. Tanpa bantal pembatas. Dan tanpa takut."
"Kenapa?"
Kael menatap matanya, lebih lama dari sebelumnya.
"Karena aku ingin tahu... apakah kau bisa lebih berbahaya daripada aku."
Malam itu, Cassandra tidur di ranjang Kael.
Tubuh mereka tak bersentuhan. Tapi hawa tubuhnya, detak jantungnya, aroma kulitnya—semuanya terasa terlalu dekat.
Dan untuk pertama kalinya, Kael tidak tidur sama sekali.
🩸 TANDA LUKA – Bab 5: Wanita Sebelum Aku
Pagi itu, Cassandra terbangun dengan sensasi aneh di kulitnya. Bukan sentuhan—tapi tatapan. Saat ia membuka mata, Kael sudah duduk di sisi ranjang, mengenakan kemeja putih, rokok menyala di tangannya.
"Aku suka saat kau tidur," katanya tenang.
"Kenapa?"
"Karena kau tidak membantah."
Cassandra duduk perlahan, menarik selimut menutupi bahunya. "Kau senang dengan kepatuhan, ya?"
Kael tersenyum samar. "Bukan. Aku senang dengan... keindahan yang bisa kuatur. Tapi denganmu, aku tidak yakin."
Sebelum Cassandra sempat menjawab, suara ketukan keras terdengar di luar kamar. Tanpa menunggu jawaban, pintu terbuka.
Seorang wanita masuk.
Tinggi, cantik, elegan. Bergaun merah darah. Bibirnya menyeringai saat melihat Cassandra di ranjang Kael.
"Oh... aku lupa. Kau suka barang baru, Kael."
"Keluar, Selena," ujar Kael datar.
"Atau apa?" Wanita itu melangkah masuk lebih jauh. "Kau akan mengusirku dari tempat yang kubangun bersamamu?"
Cassandra menatap Kael. Ini bukan wanita biasa. Cara ia menatap Kael—itu bukan cemburu. Itu klaim.
"Dia siapa?" tanya Cassandra akhirnya, meski suaranya terdengar jauh lebih tenang dari isi dadanya.
Kael berdiri. "Dia masa lalu."
"Yang belum pergi," tambah Selena sambil menyandarkan diri ke dinding. "Jangan percaya pria ini, gadis kecil. Ia akan membuatmu merasa istimewa... lalu meninggalkanmu hancur. Seperti aku."
Cassandra turun dari ranjang, mengenakan kimono sutra yang tergantung. Langkahnya tenang, meski jantungnya berdetak liar.
"Aku bukan kamu," katanya pada Selena. "Dan aku tidak butuh keistimewaan darinya. Aku hanya ingin bertahan."
Selena tertawa pelan. "Manis sekali. Kael, kau pilih gadis ini karena dia polos? Atau karena kau tahu... dia akan patah lebih lambat?"
Kael tiba-tiba menarik Selena keluar kamar. Suaranya tidak keras. Tapi berbahaya.
"Jangan pernah masuk kamarku tanpa izin lagi. Dan jangan sentuh apa yang milikku."
Pintu tertutup.
Cassandra berdiri diam. Ia merasa tidak takut. Tapi marah.
Bukan karena Selena. Tapi karena Kael tidak menjelaskan apa-apa. Seakan masa lalunya adalah lukanya sendiri yang boleh berdarah kapan saja—dan Cassandra harus rela terkena percikannya.
Saat Kael kembali masuk, Cassandra berkata dingin:
"Jika aku hanya sementara, beri tahu aku sekarang."
Kael menatapnya. Sorot matanya gelap.
"Kau bukan sementara, Cassandra. Kau... sudah terlalu masuk."
Ia melangkah, memeluk wajah Cassandra dengan kedua tangannya, dan mencium keningnya. Lembut. Kontradiktif dengan cara hidupnya.
"Dan itu yang menakutkanku."
🩸 TANDA LUKA – Bab 6: Sentuhan Pertama
Hari itu hujan turun deras. Jendela kamar dipenuhi titik-titik air yang menderas pelan, seperti bisikan halus dari langit. Kael duduk di kursi baca, menatap layar laptop, membahas pengiriman senjata dari timur. Cassandra di seberang ruangan, membungkus dirinya dengan selimut sambil membaca buku yang diambil dari rak Kael.
Hening. Tapi bukan hening yang nyaman. Ini seperti udara yang menyimpan petir, menunggu waktu yang tepat.
"Aku bosan," gumam Cassandra, meletakkan buku.
"Tak ada yang memintamu menghibur dirimu," jawab Kael, matanya tetap ke layar.
"Apa kau memang selalu sesendiri ini?"
Kael menutup laptop. Tatapannya dingin.
"Kesendirian membuatku hidup."
"Atau membuatmu mati perlahan?"
Hening.
Lalu Cassandra berdiri dan berjalan pelan ke arahnya. Ia tidak memakai apa-apa selain gaun tidur tipis berwarna hitam yang transparan di cahaya sore. Ia tahu itu. Ia sengaja.
"Jika kau ingin menyentuhku, Kael..." bisiknya, "sekarang aku tak akan menolak."
Kael bangkit. Berdiri hanya beberapa inci darinya. Nafas mereka bertabrakan.
"Tapi aku tidak akan menyentuhmu duluan," lanjut Cassandra. "Kau harus memilih. Kontrol atau keinginan."
Tangan Kael mengepal. Rahangnya mengeras. Ia sedang... berperang dengan dirinya sendiri.
"Apa kau sedang bermain?" suaranya serak.
"Aku hanya... ingin tahu siapa yang lebih lemah malam ini."
Detik berikutnya, Kael mencengkeram wajah Cassandra, menariknya dalam ciuman. Kasih, marah, nafsu, dan luka bercampur menjadi satu. Bibir mereka menyatu, lidahnya liar, tangannya panas di pinggang Cassandra.
Tapi tiba-tiba… Kael melepasnya. Cepat. Seolah terbakar.
"Pergi tidur," katanya pelan. Terengah.
"Kael—"
"Kalau aku menyentuhmu lagi malam ini, aku tidak akan berhenti."
Cassandra diam. Lalu, perlahan, ia mendekat dan menempelkan bibirnya ke leher Kael. Satu kecupan kecil, tepat di bawah rahangnya.
"Sampai kapan kau mau terus menahan diri dari sesuatu yang sudah kau miliki?"
Kael menutup matanya. Napasnya kasar.
"Aku tidak takut padamu, Cassandra."
"Tapi kau takut padaku ada dalam dirimu."
Malam itu mereka tidur dalam satu ranjang. Tapi tak ada yang bersentuhan. Tidak perlu. Karena malam itu, perang sudah dimulai.
🩸 TANDA LUKA – Bab 7: Saat Itu Datang
Hari-hari berlalu di dalam rumah Kael seperti waktu yang membeku. Tidak ada kalender. Tidak ada jam. Hanya irama napas, detak jantung, dan diam yang tajam di antara mereka.
Tapi malam ini berbeda. Cassandra sedang bermain piano di ruang tengah—lagu lembut, kelam, seperti kisah yang belum selesai.
Kael masuk tanpa suara.
Ia berdiri di belakangnya lama, memperhatikan jari-jari Cassandra menari di atas tuts. Tak ada satu pun kata keluar, tapi Cassandra tahu ia di sana. Napas Kael terlalu panas untuk tidak terasa.
"Kau menyukai musik?" tanya Cassandra, tak menoleh.
"Aku menyukai... yang tak bisa kumiliki," jawab Kael.
Lagu berhenti. Cassandra berdiri.
Ia berbalik, dan saat mata mereka bertemu, semua jeda pecah.
Kael menariknya dengan kasar ke pelukannya, mencium bibirnya dalam-dalam, seperti seseorang yang kehausan akan hidup. Tidak ada perkenalan. Tidak ada manis. Hanya ledakan.
Cassandra membalas ciuman itu, tangannya mencengkeram kerah Kael, menariknya lebih dekat. Kael mengangkat tubuhnya ke atas meja piano, membaringkannya tanpa peduli suara denting tuts yang kacau.
Gaun tipis Cassandra robek begitu saja oleh tangan Kael—tapi tidak kasar. Bukan karena kebencian. Tapi karena ia tidak bisa menahannya lagi.
“Kael…” suara Cassandra gemetar.
Kael menatap matanya, tangannya menggenggam pergelangan tangan Cassandra di atas kepala.
“Aku memperingatkanmu,” bisiknya. “Jika aku menyentuhmu malam ini, kau tak akan pergi dari hidupku selamanya.”
Cassandra hanya menatapnya. Tak gentar. Tak takut.
“Sentuh aku, Kael. Biar aku jadi luka terbesarmu.”
Dan malam itu… mereka tak lagi saling tahan.
Tubuh mereka bersatu, bukan hanya dalam gerakan, tapi dalam kemarahan, kerinduan, dan rasa sakit yang tak pernah diberi tempat. Kael menciumi setiap inci tubuh Cassandra seperti pria yang menebus dosa, dan Cassandra merespons seperti wanita yang tak ingin diselamatkan—hanya dimiliki.
Tidak ada batas. Tidak ada belas kasihan. Tapi ada sesuatu yang lebih besar: ketergantungan.
Dan setelah semuanya reda, Kael memeluknya dari belakang, membisikkan kalimat yang tidak pernah ia ucapkan pada siapa pun.
“Aku takut padamu, Cassandra… karena kau satu-satunya hal yang bisa menghancurkanku tanpa peluru.”
🩸 TANDA LUKA – Bab 8: Setelah Api
Pagi datang, tapi matahari tidak benar-benar menyentuh kamar itu. Tirai masih tertutup, dan aroma tubuh mereka masih melekat di udara.
Cassandra terbangun lebih dulu. Ia menoleh, dan mendapati Kael masih tidur di sampingnya. Untuk pertama kalinya, pria itu tertidur tanpa senjata di dekatnya.
Ia tampak tenang. Rapuh, bahkan.
Cassandra duduk perlahan, membiarkan selimut turun ke pinggangnya. Tubuhnya masih terasa bekas genggaman Kael semalam, tapi bukan itu yang membuat jantungnya berdebar.
Yang membuatnya takut adalah:
Ia tidak ingin pergi.
Tak lama kemudian, Kael membuka mata.
“Kau bangun,” katanya pelan.
“Kau juga,” balas Cassandra.
Hening.
“Aku minta maaf,” ujar Kael tiba-tiba.
Cassandra menatapnya. “Untuk apa?”
“Karena aku tidak akan bisa melepaskanmu sekarang.”
Ia bangkit, duduk, lalu menarik Cassandra mendekat. Dipeluknya erat, seperti seseorang yang takut bangun dan kehilangan mimpi.
“Mulai hari ini, tak ada yang boleh menyentuhmu. Tak ada yang boleh memandangmu seperti aku memandangmu. Kau milikku, Cassandra.”
Cassandra diam. Ia seharusnya melawan. Tapi hatinya... tidak.
Tapi siang itu, saat mereka sedang makan di dapur—tenang, seolah hidup normal—seseorang masuk dengan napas tersengal.
Leon. Anak buah Kael.
“Bos… kita masalah.”
Kael berdiri. Tatapannya langsung berubah. Dingin.
“Apa?”
“Gudang senjata di utara meledak. Seseorang meninggalkan pesan.”
Leon menyodorkan kertas. Kael membacanya. Rahangnya mengeras.
Pesan di atas kertas itu hanya tiga kata:
“Kita mulai, Kael.”
Di bawahnya: simbol—lingkaran merah berdarah dengan tanda panah di tengah.
Cassandra berdiri pelan, melihat simbol itu.
“Siapa mereka?” bisiknya.
Kael tak menjawab.
Tapi matanya mengatakan semuanya.
Musuh lama. Dan kali ini… mereka tidak mengincar Kael. Mereka mengincar sesuatu yang lebih berharga.
Cassandra.
🩸 TANDA LUKA – Bab 9: Emas dalam Sangkar
Dua jam setelah pesan ancaman itu muncul, Cassandra dimasukkan ke dalam mobil hitam oleh Kael. Tak banyak kata. Tak ada penjelasan.
Hanya satu kalimat yang dia dengar dari Kael sebelum pintu ditutup:
“Ini demi keselamatanmu.”
Mobil itu melaju melewati jalanan basah, keluar dari kota, masuk ke hutan pinus yang sepi. Sopir tidak bicara. Cassandra tak bisa membuka ponsel. Tak ada sinyal.
Akhirnya mobil berhenti di depan rumah kayu modern, terpencil di atas tebing, menghadap laut. Indah. Dingin. Sepi.
Ketika pintu terbuka, Cassandra tahu:
Ini bukan tempat perlindungan. Ini sangkar.
Di dalam, rumah itu lengkap—kamar besar, dapur, koleksi buku. Tapi juga kamera tersembunyi di setiap sudut. Bahkan lemari pakaiannya sudah diisi. Seakan… Kael sudah menyiapkannya sejak lama.
Tak lama setelah ia masuk, layar besar di ruang tengah menyala otomatis. Wajah Kael muncul dari rekaman.
“Kalau kau melihat ini, berarti aku belum bisa datang. Jangan coba lari. Tempat ini dijaga. Aku tahu kau akan marah. Tapi jika mereka tahu kau di dekatku, kau akan mati.”
Cassandra berdiri, memeluk tubuhnya.
“Dan aku tidak akan membiarkan satu luka pun menyentuhmu, Cass.”
Malam pertama di tempat itu terasa seperti perang batin. Cassandra mandi air panas, mengenakan pakaian sutra yang sudah disediakan. Tapi hatinya kosong.
Apa ini perlindungan?
Atau cara Kael mengurung hal yang ia takut kehilangan?
Tengah malam, suara bel elektronik berbunyi. Pintu tidak terbuka. Tapi sebuah layar menyala lagi.
Kael. Live.
Tatapannya gelap. Rahangnya tegang.
“Aku tahu kau marah. Aku bisa melihatnya dari sorot matamu.”
Ia diam sejenak.
“Aku juga muak harus menyembunyikanmu seperti ini. Tapi mereka ingin kau, Cassandra. Karena mereka tahu... aku melemah karenamu.”
Cassandra mendekat ke layar.
“Kalau begitu kenapa tidak biarkan aku kembali?” bisiknya pelan, meski Kael tak bisa dengar.
Tapi Kael menunduk. Seolah... mendengar pikirannya.
“Aku lebih baik kehilangan seluruh hidupku… daripada kehilangan kau di tanganku sendiri.”
Dan layar pun mati.
Keesokan harinya, Cassandra menemukan sebuah ruangan kecil tersembunyi di balik rak buku. Di dalamnya:
-
Peta dengan tanda-tanda merah.
-
Foto-foto dirinya.
-
Rekaman dari masa lalu.
-
File berlabel: “Operasi Luka – Cassandra.”
Tangannya gemetar saat membuka file itu. Di halaman pertama:
Target: Cassandra Almaretta.
Status: Awalnya Umpan. Sekarang: Tak Terkendali.
Potensi ancaman pada kestabilan emosional Kael Varden: Tinggi.
Cassandra menatap dokumen itu, lalu berbisik:
“Jadi aku memang bagian dari rencana... sejak awal?”
🩸 TANDA LUKA – Bab 10: Luka yang Bangkit
Cassandra duduk di depan jendela, memandangi laut yang kelabu. Angin menghantam kaca, tapi dingin di tubuhnya bukan berasal dari cuaca. Itu datang dari dalam.
Ia memegang kembali dokumen dari ruang rahasia itu. Kata-kata “Umpan” dan “Ancaman pada kestabilan Kael” menari-nari dalam benaknya.
Semua malam yang mereka habiskan. Ciuman. Desahan. Janji samar.
Apa itu nyata… atau hanya skenario?
Ponsel di rak masih tanpa sinyal. Tapi ada sesuatu yang Kael lupa: jaringan radio darurat yang terkoneksi ke luar pulau. Cassandra menemukannya tersembunyi di belakang panel dapur.
Ia menyalakan alat itu. Static.
Lalu… suara samar muncul.
“…-kael… varden… masuk… perintah eksekusi…”
Jantung Cassandra membeku.
“…kode merah aktif. Subjek Cassandra terlibat langsung. Otoritas bebas tembak…”
Dia langsung mematikan radio.
Dia bukan hanya dikurung untuk dilindungi. Dia jadi target.
Malam hari. Suara pintu terbuka. Cassandra sontak mengambil pisau dapur. Langkah masuk terdengar berat… perlahan.
Tapi bukan pasukan.
Itu Kael. Dengan mata merah, tubuh penuh debu, dan luka di pelipis.
Cassandra berdiri. Tegak. Dingin.
“Kau memata-matai aku sejak awal?” tanyanya tanpa basa-basi.
Kael diam.
“Umpan, Kael? Itu aku?”
“Awalnya,” jawabnya. Jujur. Lurus.
Cassandra tertawa, tapi getir.
“Dan setelah itu? Kau jatuh cinta karena misi? Atau karena aku memang cocok jadi boneka untuk obsesi gilamu?”
Kael maju. Perlahan.
“Aku memang disuruh mendekatimu. Tapi aku tak pernah diminta mencintaimu.”
Diam.
“Dan itulah kesalahan terbesarku.”
Cassandra menatapnya. Marah. Tapi juga… hancur.
“Aku bisa saja lari. Aku bisa saja kirim sinyal keluar.”
“Kalau kau lakukan itu, Cass, mereka akan datang. Dan tak hanya aku yang akan mati.”
“Lalu kenapa tidak biarkan aku pilih?”
Kael mendekat, tangannya mengelus pipi Cassandra dengan lembut.
“Karena kalau kau mati… seluruh hidupku akan ikut hancur. Aku bisa kehilangan kerajaan. Kehormatan. Bahkan nyawa. Tapi bukan kau.”
Cassandra menahan air mata. Ia bisa memeluknya. Ia bisa menusuknya. Dan anehnya… ia ingin lakukan keduanya.
Akhir bab:
Malam itu, mereka tidur dalam satu ranjang. Tapi kali ini tak saling menyentuh.
Dan untuk pertama kalinya, Cassandra menyimpan rahasia dari Kael:
Dia sudah berhasil kirim sinyal keluar.
🩸 TANDA LUKA – Bab 11: Pintu yang Terbuka
Fajar belum benar-benar menyentuh langit saat Cassandra terbangun karena suara derit halus. Bukan angin. Bukan hujan.
Langkah kaki.
Ia turun dari ranjang tanpa suara, meraih pisau kecil dari bawah bantal — refleks baru yang ia pelajari dari hidup bersama Kael.
Tapi saat ia membuka pintu kamar…
Dia melihat sosok itu.
Seorang pria, berpakaian hitam penuh, wajah tertutup masker. Senjatanya sudah terarah.
Namun pria itu tak langsung menembak.
Dia menekan jarinya ke bibir, menyuruh Cassandra diam… lalu menyodorkan sesuatu: potongan kertas kecil berisi koordinat.
Dan di baliknya: tulisan tangan yang ia kenal sejak kecil.
“Ibuku masih hidup.”
Cassandra terdiam. Ia ingin menjerit. Ingin bertanya. Tapi pria itu sudah menghilang secepat ia datang.
Beberapa jam kemudian.
Kael masih tertidur, kelelahan setelah hari-hari pelarian. Cassandra duduk di sampingnya, menatap wajahnya yang biasanya tajam… kini damai. Terlalu damai.
Ia membuka laci di sebelah tempat tidur. Di sana, ia temukan berkas lain. Kali ini berisi arsip kelam operasi militer rahasia — dan satu folder bernama:
“C.A.S.S.A.”
Ia buka perlahan.
Di dalamnya:
-
Gambar anak kecil — dirinya — sedang dikawal oleh pria-pria bersenjata.
-
Transkrip eksperimen perilaku trauma.
-
Nama ayahnya, ibu angkatnya… semuanya tidak nyata.
Cassandra tersadar.
“Aku bukan hanya bagian dari rencana Kael. Aku adalah rencana itu.”
Siang harinya, Kael bangun dan mendapati Cassandra duduk di dapur, memandangi peta pulau.
“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan,” kata Cassandra pelan.
Kael meneguk air, masih mengantuk. “Tanya saja.”
Cassandra menoleh, matanya tajam.
“Kenapa kau tidak pernah cerita… bahwa aku bagian dari eksperimen ‘C.A.S.S.A’? Bahwa keluargaku semua bohong? Bahwa—”
Kael terdiam. Gelas di tangannya jatuh.
“Aku ingin melindungimu dari kebenaran itu.”
“Tidak. Kau ingin memilikiku tanpa harus menjawab siapa aku sebenarnya.”
Kael maju. Tapi kali ini Cassandra mundur.
“Ada seseorang datang tadi malam. Dia beri aku ini,” ujarnya sambil mengangkat kertas koordinat.
Kael membeku.
“Kalau kau ikut aku, kau harus pilih. Aku atau masa lalu itu.”
Cassandra tersenyum miris.
“Aku tidak akan pilih siapa pun, Kael. Kali ini… aku pilih diriku sendiri.”
Akhir Bab:
Malam itu, Cassandra diam-diam tinggalkan rumah kayu. Dengan radio, peta, dan pisau di tangan.
Tapi Kael berdiri di balik jendela, menatap kepergiannya dalam diam.
Dan ia berbisik pada dirinya sendiri:
“Jangan cari dia. Jangan ikuti dia.”
Tapi jantungnya berdenyut lebih keras.
Karena dia tahu…
Ia akan tetap mengejarnya. Bahkan jika itu artinya melawan seluruh dunia.
🩸 TANDA LUKA – Bab 12: Jalan yang Berlawanan
POV: Cassandra
Langkah kaki Cassandra cepat menyusuri jalanan hutan yang mulai gelap. Koordinat di tangannya mengarah ke titik di utara pulau. Di sana — menurut pesan yang diberikan pria misterius semalam — dia akan menemukan seseorang yang selama ini dianggap telah mati: ibunya.
Pikirannya masih berisik.
"Kalau mereka memalsukan masa kecilku… siapa aku sebenarnya?"
Ia berhenti sejenak, mengatur napas. Ranselnya berat. Pisau di pinggang membuatnya merasa kuat, meski di dalam hati: ia takut. Tapi tak ada ruang untuk gentar. Tidak lagi.
Setelah satu jam berjalan, ia tiba di mulut gua tua. Ada sinyal kecil menyala di tanah—alat pelacak yang ditanam untuk menandai lokasi aman.
Dan dari bayangan gua itu…
Keluar seorang wanita. Tua. Tapi sorot matanya sama seperti miliknya.
“Cassandra…” suara wanita itu serak. “Anakku.”
POV: Kael
Kael berdiri di depan jendela rumah kayu yang kini kosong. Hujan turun perlahan, membasahi kaca. Tangannya bergetar, tapi bukan karena dingin.
Karena untuk pertama kalinya sejak lama…
dia kehilangan kendali.
Leon masuk ke dalam rumah. “Tim kita menemukannya, bos. Cassandra ada di utara. Tapi… dia tidak sendiri.”
Kael menoleh. “Siapa?”
“Orang-orang dari jaringan Lamina. Yang dulu kita buru di misi 'Tanda Luka'. Dan… wanita bernama Celena. Dia… ibunya.”
Kael terdiam.
Celena.
Wanita yang dulu ia kira sudah mati. Wanita yang dulu juga… adalah bagian dari eksperimen.
Dan pengkhianat.
“Siapkan helikopter. Kita jemput dia. Sekarang.”
POV: Cassandra
Di dalam gua, wanita itu — Celena — menunjukkan padanya sesuatu yang jauh lebih menyakitkan dari apa pun: foto dirinya sebagai anak kecil, menangis, saat diambil dari laboratorium.
“Kau bukan hanya proyek, Cass,” ucap Celena. “Kau adalah bencana yang mereka ciptakan. Tapi… aku menyelamatkanmu. Dan Kael-lah yang menyerahkanmu kembali.”
Cassandra merasa tubuhnya seperti membeku.
Kael yang menyerahkan dirinya?
“Dia tak pernah mencintaimu, Cass. Dia hanya mencoba menebus dosa.”
POV: Kael
Dalam helikopter, Kael memegang foto tua yang sudah kusut. Di dalamnya: Cassandra kecil di pangkuan Celena, dan dirinya… berdiri di belakang mereka, masih remaja, memegang senjata.
Ia memejamkan mata.
“Aku tak akan biarkan mereka merebutmu lagi, Cass,” bisiknya.
Bukan untuk keselamatanmu.
Bukan karena misi.
Tapi karena tanpa kamu, aku tak punya alasan hidup.
Akhir Bab:
Cassandra menatap ibunya.
Kael melaju lewat udara.
Dua arah. Dua niat. Tapi satu hal pasti:
Pertemuan mereka berikutnya… akan berubah jadi perang.
🩸 TANDA LUKA – Bab 13: Api dalam Darah
POV: Cassandra
Cassandra berdiri di luar gua, angin menghantam wajahnya. Di belakangnya, ibunya—Celena—mengatur perlengkapan untuk pindah tempat. “Mereka pasti sudah mencium lokasi ini,” kata Celena tegas.
Tapi Cassandra tidak bergerak.
Ia tahu langkah kaki yang mendekat di antara pepohonan. Tidak tergesa. Berat. Terlatih.
Langkah Kael.
Dan benar saja.
Dari kabut tipis hutan pinus, Kael muncul. Jaket hitam, luka baru di pelipis, tapi sorot matanya masih sama:
Tak akan mundur.
Cassandra berdiri tegak. Tak ada senyum. Tak ada ketakutan.
“Jauh-jauh datang ke sini. Untuk apa? Menarikku kembali? Atau membungkam ibuku lagi?”
Kael menatap Celena yang berdiri di belakang putrinya.
“Dia berbohong padamu,” ucap Kael dingin. “Dia yang menyerahkanmu dulu, Cass. Bukan aku.”
Celena tertawa kecil. “Kau masih memakai cerita itu, Kael? Setelah dua dekade?”
“Dia manipulatif. Dia bagian dari eksperimen yang menciptakanmu. Kau hanya alat uji coba bagi mereka. Dan dia membiarkan itu terjadi!”
Cassandra menatap dua orang itu — dua dunia yang saling bertabrakan di hadapannya.
“Lalu siapa yang menyelamatkanku?” tanya Cassandra pelan.
Diam.
“Kau tahu jawabannya,” bisik Celena.
Kael melangkah maju, tapi Cassandra mengangkat tangannya.
“Aku tak butuh diselamatkan,” ucapnya. “Aku butuh kebenaran. Tanpa dibungkus nafsu. Tanpa dikurung dengan alasan cinta.”
POV: Kael
Hati Kael menjerit saat melihatnya. Cassandra berdiri seperti musuh. Seperti bukan lagi wanita yang ia peluk. Yang ia jaga. Yang ia… obsesi.
“Kalau kau ikut denganku, aku bisa bersihkan semua ini. Kita bisa lari, Cass. Keluar dari semua ini.”
Cassandra menatapnya tajam.
“Keluar dari apa, Kael? Rasa bersalahmu? Luka yang kau timbun jadi gairah? Atau… dari dirimu sendiri?”
Kael terdiam.
Dan saat itu… pasukan datang.
Helikopter terdengar di kejauhan. Celena bergerak cepat. “Mereka menemukan kita. Kode Hitam. Kau harus pilih, Cass.”
Cassandra memegang senjatanya. Napasnya tak goyah.
“Aku tidak ikut siapa pun,” katanya tenang.
Kael mendekat. “Cass, tolong.”
Cassandra mengangkat pistolnya, menodongkannya ke Kael.
“Kalau kau benar-benar mencintaiku, kau akan biarkan aku memilih jalanku. Meski jalanku… bukan bersamamu.”
Akhir Bab:
Tembakan meletus. Tapi bukan dari Cassandra.
Seseorang dari pasukan sudah mulai menyerang. Kekacauan terjadi.
Dan dalam gelapnya hutan dan dentuman peluru, Cassandra lari sendiri — meninggalkan keduanya.
Tidak ke masa lalu. Tidak ke pelindung.
Tapi menuju jalan yang tak pernah dirancang siapa pun.
🩸 TANDA LUKA – Bab 14: Seraphine
POV: Cassandra
Angin malam mengiris kulitnya. Cassandra berlari menyusuri jalan setapak tua yang dipenuhi akar dan bayangan. Di tangannya, ia menggenggam kompas tua peninggalan ibunya — benda kecil yang menuntunnya menuju satu titik terpencil di sisi timur pulau.
Situs eksperimen lama.
Tempat semua ini dimulai.
Ia masuk ke bangunan beton setengah runtuh yang tertutup semak dan lumut. Pintu logam yang sudah berkarat terbuka dengan suara geraman berat.
Di dalam — sunyi. Bau besi, debu, dan… kenangan.
Ruang demi ruang kosong.
Hingga ia menemukan ruang arsip, terkunci dengan kode manual. Di situ, jari-jari Cassandra bergerak sendiri, seperti mengingat sesuatu — dan berhasil membuka kuncinya.
Di dalam ruangan itu…
berkas-berkas “C.A.S.S.A” bukan yang paling berbahaya.
Ada folder lain. Lebih tua. Tertulis:
“Project: Seraphine — Unit L”
Dan di bawahnya:
“Subjek: Cassandra L. R.”
Subjek? Bukan hanya korban?
Tangannya gemetar. Ia membuka halaman pertama:
-
“Seraphine adalah program penciptaan manusia dengan potensi neurologis tingkat tinggi, dirancang untuk mengikat, mengontrol, dan menghancurkan simpul trauma.”
-
“Subjek L menunjukkan kemampuan empatik ekstrem. Ia bisa… ‘menarik rasa sakit orang lain’.”
-
“Efek samping: kehilangan identitas, ketergantungan pada figur dominan (biasanya laki-laki), dan ledakan emosi yang tidak stabil.”
Cassandra tak bisa bernapas.
Dia bukan hanya dibuat untuk diuji.
Dia dibuat untuk ‘merasakan’ — dan itu sebabnya Kael begitu melekat padanya. Karena secara tidak sadar… ia menyerap semua luka Kael.
POV: Kael
Tangan Kael terborgol. Wajahnya lebam. Di hadapannya — Kolonel Varka, mantan atasannya.
“Bawa dia ke ruang interogasi,” perintah Varka.
Kael mendongak. “Dia akan menghancurkanmu, Varka. Cassandra bukan gadis kecil lagi.”
Varka tertawa dingin. “Dia bukan gadis, Kael. Dia senjata. Dan seperti semua senjata, dia harus dikendalikan. Atau dihancurkan.”
POV: Cassandra
Malam makin larut. Tapi Cassandra tak bisa berhenti membaca. Semakin dalam ia selami dokumen, semakin banyak potongan dirinya yang ia temukan:
-
Catatan tidur dengan kabel-kabel menempel di kepalanya.
-
Grafik perubahan mood yang dikaitkan dengan interaksi dengan “Subjek K” — Kael.
-
Laporan bahwa Celena sendiri awalnya adalah peneliti proyek ini. Tapi melarikan Cassandra karena "ikatan emosional yang tidak terprediksi."
Dan satu halaman terakhir, ditulis tangan oleh Celena:
“Jika kau membaca ini, berarti kau telah bangun.
Kau bukan korban. Kau bukan boneka.
Kau adalah jantung dari kekacauan ini.
Tapi juga satu-satunya yang bisa menghentikannya.”
Akhir Bab:
Cassandra menutup folder itu.
Satu kalimat terlintas dalam benaknya:
“Aku bukan milik siapa pun. Tapi luka semua orang... ada di dalamku.”
Dan dari luar bunker itu, suara sepatu bot berat mulai terdengar.
Mereka sudah menemukannya.
🩸 TANDA LUKA – Bab 15: Darah yang Berbisik
POV: Cassandra
Langkah kaki mereka semakin dekat. Cassandra berdiri di tengah ruang arsip, napasnya perlahan, tenang.
Di dalam dirinya, ada sesuatu yang berubah. Seperti luka-luka yang selama ini ia serap… mulai membentuk sesuatu yang baru.
Sebuah kekuatan.
Bukan sihir. Tapi rasa.
Rasa sakit yang begitu kuat… hingga bisa jadi senjata.
Pintu besi bunker terbuka.
Empat pria bersenjata masuk.
“Subjek L. Menyerahlah!” teriak salah satunya.
Cassandra tak bergerak. Tapi tubuhnya mulai panas. Bukan karena api… tapi karena trauma yang selama ini dipendam.
Matanya berkedip.
Dan saat itu juga — salah satu pria mulai menjerit.
Tanpa disentuh, tubuhnya gemetar, menggenggam kepala. “Sakit… ada yang masuk ke kepalaku…!”
Yang lain ikut panik. Tapi Cassandra hanya menatap mereka.
“Kalian datang dengan senjata.
Aku datang dengan semua luka yang kalian tanamkan.
Sekarang… rasakan sendiri.”
Dalam waktu 60 detik, semua pasukan tumbang.
Bukan mati — tapi tenggelam dalam rasa sakit mereka sendiri yang dipantulkan kembali oleh Cassandra.
POV: Kael
Dari dalam ruang tahanan, Kael mendengar laporan lewat radio:
“Subjek L… menghentikan pasukan. Tanpa peluru. Mereka… tak bisa bergerak. Minta instruksi.”
Kael menutup matanya.
“Dia sudah bangkit.”
Kolonel Varka menatapnya.
“Kau tahu ini akan terjadi, kan?” tanya sang kolonel.
Kael menoleh perlahan.
“Tidak. Aku harap itu tidak pernah terjadi.
Tapi sekarang, satu-satunya yang bisa menghentikannya…
adalah dirinya sendiri.”
POV: Cassandra
Setelah pasukan tumbang, Cassandra keluar dari bunker.
Langit mulai memerah — matahari terbit, tapi tak ada kehangatan. Di tangannya, ia masih membawa jurnal Project Seraphine.
Ia bicara pelan, seperti pada dirinya sendiri.
“Aku bukan monster.
Tapi aku bukan gadis lemah yang kalian ciptakan.
Aku luka. Tapi juga ujung pisau.”
Ia mengaktifkan radio portabel.
Suaranya mengudara — ke siapapun yang masih mencoba mencarinya:
“Nama saya Cassandra L. R.
Aku bukan eksperimen. Aku bukan proyek.
Aku adalah hasil dari kebohongan kalian.
Dan hari ini, aku tidak lari.
Hari ini, aku akan mengakhiri semuanya.”
Akhir Bab:
Kael mendengar siaran itu dari ruang tahanannya.
Cassandra… tidak hanya lepas.
Dia sedang membakar dunia yang menciptakannya.
🩸 TANDA LUKA – Bab 16: Yang Masih Hidup
POV: Cassandra
Perjalanan ke fasilitas utama memakan waktu dua hari. Cassandra menyusuri jalur-jalur rahasia yang ia temukan dalam catatan ibunya — bunker bawah tanah tersembunyi jauh di bawah tanah kota mati bernama Karran-9.
Begitu sampai, dia disambut oleh keheningan aneh. Tak ada penjaga. Tak ada alarm.
Tapi begitu ia masuk, suasana berubah drastis.
Koridor penuh kabel dan cermin dua arah.
Lampu redup.
Dan suara samar… suara anak-anak menangis.
Cassandra menyusuri lorong itu hingga berhenti di depan ruangan yang hanya bertuliskan:
“L-02 / L-03 / L-05 / L-07”
Tangannya gemetar saat membuka kunci.
Pintu terbuka…
Dan di dalam, ada mereka.
Empat subjek lain.
Masih hidup. Terikat alat monitor. Wajah mereka muda, tapi mata mereka kosong.
Seorang anak lelaki berusia tak lebih dari 12 menatapnya — kulitnya pucat, tubuhnya kurus. Tapi suaranya sangat jelas:
“Kau... yang lolos, kan? Subjek L-01?”
Cassandra tak menjawab.
Dia hanya melangkah masuk perlahan.
Dan saat dia mendekat, seorang perempuan remaja dari sudut ruangan berbisik lirih:
“Kau harus pergi. Mereka menjebakmu. Kau… adalah pemicunya.”
POV: Kael
Kael berlumuran darah, tapi hidup.
Dia berhasil kabur dari tahanan dengan bantuan orang dalam — satu-satunya temannya yang tersisa di militer. Tapi dia tahu:
Tujuan akhir semua ini hanya satu: Cassandra.
Di punggungnya: luka lama yang terbuka kembali.
Di tangannya: pistol yang sudah tak ia percayai.
Di kepalanya: suara Cassandra yang terus terngiang:
“Aku bukan milik siapa pun.”
Kael menaiki motor curian, menuju ke Karran-9.
“Kalau aku tak bisa menyelamatkannya...
setidaknya aku akan mati bersamanya.”
POV: Cassandra
Para subjek mulai bangkit. Perlahan.
Tapi tatapan mereka tak ramah. Bahkan yang paling muda — si bocah lelaki — kini menatap dengan mata gelap, pupil mengecil.
“Kau membangunkan kami, L-01. Tapi tak berarti kau satu-satunya yang bebas.”
Cassandra perlahan menyadari: mereka bukan korban.
Mereka… adalah hasil akhir.
Dan dia?
Dia hanya prototipe.
“Mereka melepaskanmu bukan untuk bebas,” ujar gadis remaja, L-03. “Tapi untuk memicu perang.”
Semua ruangan mulai gemetar. Alarm menyala.
“Protokol Ragnarok diaktifkan.”
Akhir Bab:
Cassandra berdiri di tengah eksperimen lain — kini sadar, kini bangkit.
Dan mereka semua menatapnya seperti ratu, atau pengkhianat.
“Pilih, Cassandra,” bisik L-05.
“Pimpin kami… atau lenyap bersama mereka.”
🩸 TANDA LUKA – Bab 17: Antara Tuhan dan Senjata
POV: Cassandra
“Pimpin kami… atau lenyap bersama mereka.”
Suara itu masih menggema di kepala Cassandra saat ia menatap wajah-wajah di hadapannya — bocah, remaja, tubuh dewasa yang belum sepenuhnya manusia… tapi juga bukan monster.
Mereka adalah luka yang dibentuk menjadi daging.
Sama seperti dirinya.
Cassandra menutup mata.
Di dalam dirinya, semua rasa sakit yang pernah ia serap berkumpul, saling bertabrakan, membentuk sesuatu yang lebih tajam dari peluru: kesadaran.
“Kita tidak diciptakan untuk hidup.
Kita diciptakan untuk diuji, dikendalikan, dan… jika perlu… dibunuh.”“Tapi hari ini, kita memilih untuk jadi manusia.”
L-03 tertawa pahit. “Kemanusiaan tidak menyelamatkan siapa pun di dunia ini.”
Cassandra menatapnya dalam-dalam.
“Maka kita harus jadi yang pertama.”
POV: Kael
Kael masuk ke bunker Karran-9 dengan nafas berat dan tubuh setengah hancur. Ia mengikuti jejak darah dan kabel hingga ke pusat kendali fasilitas.
Apa yang ia lihat di monitor membuatnya berhenti bernapas.
Cassandra… berdiri di hadapan 4 Subjek L lainnya.
Dan di belakang mereka — sistem nuklir mini reaktor sudah aktif.
“Kalau sistem meledak, seluruh daratan 10 km akan hilang,” ucap seorang teknisi yang Kael paksa bicara.
“Tapi kalau Subjek L-01 mengambil kendali sistem… ia bisa membalikkan semua itu. Membakar program dari dalam.”
Kael hanya punya satu pertanyaan.
“Tapi… apa itu akan membunuhnya?”
Teknisi itu menatapnya.
“Ya.”
POV: Cassandra
Panel utama terbuka.
Tombol di hadapannya menyala merah — PROTOKOL RESET BIOSISTEM SERAPHINE.
Jika ditekan, maka seluruh arsip, data, sistem eksperimen… akan hancur.
Bersama para Subjek.
Bersama dirinya.
“Kalau kau memilih jalan ini, kau sendirian,” kata L-05.
“Tapi kalau kau memimpin kami… kita bisa menguasai dunia yang membuang kita.”
Cassandra memandangi wajah mereka satu per satu.
L-02: bocah laki-laki yang tidak pernah mengenal ibunya.
L-03: gadis yang tubuhnya penuh bekas kabel.
L-05 dan L-07: prototipe yang lebih kuat, tapi kehilangan arah.
Mereka adalah dirinya,
dalam versi yang tidak pernah diselamatkan.
Cassandra menarik napas panjang.
Dan berkata, pelan tapi pasti:
“Aku bukan Tuhan.
Tapi aku juga bukan senjata.”“Aku adalah luka yang memilih… untuk sembuh.”
Tangannya menyentuh tombol merah itu.
Dan—
POV: Kael
Dari kejauhan, Kael berlari.
“CASSANDRA, JANGAN—!”
Tapi sudah terlambat.
Sistem menyala.
Suara otomatis berbicara:
“RESET BIOSISTEM DIMULAI.”
“HAPUS MEMORI: AKTIF.”
“PENGHANCURAN DIRI DIMULAI.”
Layar padam.
Lampu-lampu mati.
Dan suara Cassandra terakhir terdengar di seluruh sistem:
“Bukan untuk balas dendam.
Tapi agar tak ada lagi yang seperti kami.”
Akhir Bab:
Ledakan tak pernah terjadi.
Sistem terbakar… dari dalam.
Kael sampai di ruang pusat hanya untuk menemukan bunker kosong.
Subjek hilang.
Cassandra… tak ada.
Hanya satu jejak yang tertinggal di lantai:
Tanda luka berbentuk spiral, tergambar dari darah dan debu.
🩸 TANDA LUKA – Bab 18: Nama yang Terhapus
POV: Kael
Sudah 9 bulan sejak fasilitas Seraphine dihancurkan.
Dunia sipil akhirnya tahu:
bahwa militer menyimpan eksperimen ilegal,
bahwa anak-anak dijadikan subjek senjata,
dan bahwa seorang perempuan bernama Cassandra menolak jadi Tuhan… dan memilih jadi manusia.
Tapi tak ada tubuh yang ditemukan.
Tak ada jejak yang pasti.
Hanya satu saksi: Kael.
Hari ini, ia berdiri di tepi danau kecil di luar kota tua Ardent, tempat terakhir yang disebut dalam koordinat Cassandra.
Ia memejamkan mata, membuka catatan terakhir milik Celena yang ditemukan dari bekas rumahnya:
“Kalau dia memilih untuk menghapus segalanya, maka dunia akan melupakannya.
Tapi tidak Kael.
Tidak kamu.
Karena luka sejati… tak pernah benar-benar hilang.”
Kael menatap air danau.
Ia tahu: dia tidak bisa menyelamatkannya.
Tapi ia bisa menjaga namanya tetap hidup.
POV: ??? (Tak diketahui)
Sebuah toko kecil di kota pesisir.
Gadis muda berdiri di balik rak buku. Rambutnya panjang, mata abu-abu. Ia membaca dengan tenang. Tangannya bergerak hati-hati, seolah-olah baru belajar menyentuh dunia.
Namanya — menurut pelayan toko — adalah Luna.
Seorang pengungsi dari reruntuhan utara.
Tak punya identitas. Tak ingat masa lalu.
Tapi malam-malam tertentu, dia terbangun dengan tangan bergetar, tubuhnya basah oleh keringat, dan satu kalimat selalu muncul di bibirnya:
“Aku… tidak milik siapa pun.”
POV: Kael
Kael menutup catatan itu dan menatap langit.
Ia tak tahu di mana Cassandra.
Ia tak tahu apakah ia masih hidup… atau sudah pergi.
Tapi dia tahu satu hal:
“Jika kau masih ada di dunia ini…
aku tidak akan mencarimu.
Karena sekarang, untuk pertama kalinya…
kau bebas.”
💔 Penutup dari Tanda Luka:
Cassandra:
-
Tidak mati. Tapi menghapus eksistensinya sendiri dari sistem — termasuk identitas, jejak, dan memori semua orang… kecuali Kael.
-
Mungkin sekarang hidup sebagai Luna — tanpa ingatan, tapi masih membawa luka di tubuhnya.
Kael:
-
Satu-satunya orang yang masih mengingat semuanya.
-
Tidak mengejar Cassandra, karena ia sadar: cinta sejati adalah membiarkan seseorang memilih jalannya sendiri.
Dunia:
-
Proyek Seraphine terbongkar.
-
Eksperimen dihentikan.
-
Tapi sistem baru mulai terbentuk… di balik layar.
🩸 TAMAT
Tidak mati. Tapi menghapus eksistensinya sendiri dari sistem — termasuk identitas, jejak, dan memori semua orang… kecuali Kael.
Mungkin sekarang hidup sebagai Luna — tanpa ingatan, tapi masih membawa luka di tubuhnya.
Satu-satunya orang yang masih mengingat semuanya.
Tidak mengejar Cassandra, karena ia sadar: cinta sejati adalah membiarkan seseorang memilih jalannya sendiri.
Proyek Seraphine terbongkar.
Eksperimen dihentikan.
Tapi sistem baru mulai terbentuk… di balik layar.
Komentar
Posting Komentar