Bayang di Balik Lampu Kota

Bayang di Balik Lampu Kota


Sinopsis:

Di tengah gemerlap Jakarta, Nadira Anindya—seorang konsultan keuangan sukses—terjebak dalam jaring rahasia, ambisi, dan hubungan terlarang. Di siang hari, ia dikenal sebagai wanita karier yang tak terkalahkan. Namun di malam hari, ia menjalani kehidupan yang tak banyak orang tahu—terikat janji dengan dua pria yang sama-sama memegang kunci masa depannya.
Sementara itu, satu kesalahan kecil membuka pintu pada masa lalunya yang kelam, memaksa Nadira memilih: mempertahankan nama baik, atau mempertaruhkan segalanya demi seseorang yang mungkin saja mengkhianatinya.

Bab Pembuka – Malam di Menara Emas:

Gemerlap lampu kota Jakarta memantul di kaca tinggi lantai 50. Gaun satin merah Nadira membalut tubuhnya dengan sempurna, menarik tatapan setiap orang yang lewat. Ia menyesap sampanye, matanya mengamati ruangan seperti bidak catur yang sudah ia rencanakan langkahnya.

Adrian Wiratma berdiri di ujung ruangan, berbicara dengan para investor asing. Senyumnya tipis, tapi tatapannya menusuk. Nadira tahu, pria itu tak pernah hadir tanpa tujuan.

Di sudut lain, Raka Mahendra berdiri dengan jas gelapnya, kamera kecil di saku, dan pandangan yang sama sekali tidak menganggap pesta ini sekadar hiburan. Saat mata mereka bertemu, Nadira merasakan tarikan yang aneh—campuran nostalgia dan peringatan.

Dan di tengah riuh gelas beradu, sebuah pesan masuk ke ponsel Nadira:

“Aku tahu rahasiamu.”

 

Bab 2 – Tawaran yang Beracun

Lift berhenti di lantai 45, langsung menuju ruang rapat pribadi Adrian Wiratma. Dindingnya kaca gelap, menampilkan panorama kota yang seperti berlutut di bawah kakinya.

Nadira melangkah masuk, suara hak tingginya memantul di lantai marmer. Adrian menutup map di tangannya dan menatapnya lama, seolah mengukur setiap detik keberadaannya.

“Kamu datang lebih cepat dari yang kuduga,” ujarnya, suaranya rendah dan dingin.

Nadira tersenyum tipis.

“Proyek senilai ratusan miliar memang pantas diprioritaskan.”

Adrian berjalan memutar, mendekat, lalu meletakkan satu amplop tebal di meja.

“Ini… angka-angka yang tidak akan kamu tolak. Tapi ada satu syarat.”

Nadira menegakkan tubuh. “Apa?”

Adrian menatap langsung ke matanya.

“Aku ingin kamu menjadi penghubung eksklusif antara perusahaanmu dan aku. Semua komunikasi lewat kamu. Tidak ada pihak ketiga.”

Nadira memicingkan mata. “Itu terdengar seperti kontrol.”

Adrian tersenyum miring.

“Bukan kontrol, Nadira… tapi jaminan. Kamu tahu dunia ini. Semua orang punya harga. Aku cuma ingin memastikan kamu tetap di sisiku.”

Sebelum Nadira sempat menjawab, pintu terbuka. Raka berdiri di ambang, matanya langsung jatuh ke amplop di meja.

“Sepertinya aku datang di saat yang… menarik,” katanya datar.

Adrian menoleh, wajahnya tetap tenang. “Raka Mahendra. Jurnalis yang katanya memburu kebenaran.”

Raka menatap Nadira lama, lalu tersenyum kecil—senyum yang tidak membuatnya tenang.

“Hati-hati, Nadira. Tawaran yang terlalu bagus biasanya beracun.”

Hening sejenak. Hanya suara lalu lintas dari bawah sana yang terdengar.

Nadira sadar, apapun pilihannya malam ini… akan menentukan ke mana hidupnya melaju.

Bab 3 – Bayang Masa Lalu

Hujan tipis turun membasahi kaca kafe di bilangan Menteng. Aroma kopi bercampur dengan udara lembap. Nadira duduk di sudut, punggungnya menghadap pintu, seperti seseorang yang tidak ingin mudah ditemukan.

Namun, Raka tahu persis di mana mencarinya. Ia datang tanpa payung, rambutnya basah, kemejanya sedikit kusut—seperti pria yang terburu-buru mengejar sesuatu yang lebih penting dari penampilan.

“Kita perlu bicara,” katanya sambil duduk, tanpa menunggu undangan.

Nadira menatap keluar jendela, mencoba menjaga jarak. “Tentang apa?”

Raka mengeluarkan sebuah USB kecil dan meletakkannya di meja. “Tentang Adrian Wiratma. Dan tentang kamu… sepuluh tahun lalu.”

Jantung Nadira berdegup keras. “Kamu menggali masa lalu?”

“Tidak perlu menggali. Masa lalu itu sendiri yang datang ke permukaan,” jawab Raka, suaranya rendah. “Proyek yang Adrian tawarkan itu… hanya kedok. Di baliknya ada aliran dana gelap. Dan aku punya bukti—rekaman, dokumen—semuanya ada di sini.”

Nadira meraih cangkir kopinya, berusaha terlihat tenang, padahal tangannya sedikit bergetar. “Kenapa memberitahu aku? Bukankah kau seharusnya langsung mempublikasikannya?”

Raka menatapnya lekat.

“Karena kamu ada di sana, Nad. Kamu bagian dari cerita ini. Dan kalau aku menjatuhkan Adrian… kamu ikut jatuh.”

Seketika, kilasan masa lalu berputar di kepalanya—malam di Singapura, transaksi rahasia, dan tatapan seseorang yang kini sudah tiada.

Hening. Lalu Raka mencondongkan tubuhnya, berbisik:

“Kamu cuma punya dua pilihan. Lindungi dia… atau lindungi dirimu sendiri.”

Di luar, hujan makin deras, menutupi suara-suara kota. Tapi di dalam kepala Nadira, badai yang jauh lebih besar baru saja dimulai.

Bab 4 – Rahasia Saskia

Pukul sembilan malam, kantor sudah sepi. Hanya lampu di ruang Nadira yang masih menyala. Di luar jendela, langit Jakarta diguyur hujan, seperti menutup mata atas apa yang sedang terjadi di dalam.

Nadira berdiri di depan mejanya, menatap amplop dari Adrian yang masih belum ia sentuh. Pikirannya kacau oleh peringatan Raka.

Suara pintu berderit pelan. Saskia masuk, membawakan setumpuk berkas. “Maaf, Bu, saya harus menyelesaikan laporan ini malam ini,” katanya, suaranya sopan tapi nadanya terlalu tenang.

Nadira mengangguk. “Taruh saja di meja.”

Namun, saat Saskia menunduk, sebuah flashdisk jatuh dari saku jaketnya. Nadira sempat melihat label kecil di atasnya: WIRATMA_HOLDINGS_2021.

Mata mereka bertemu. Sekilas, Saskia terlihat panik, tapi cepat-cepat mengambil flashdisk itu.

“Bukan apa-apa, Bu. Data pribadi.”

Nadira memicingkan mata. “Data pribadi atau data perusahaan Adrian?”

Saskia terdiam, lalu tersenyum tipis—senyum yang tidak pernah Nadira lihat sebelumnya.

“Kadang, Bu… yang tahu terlalu banyak justru yang pertama kali disingkirkan. Saya cuma memastikan saya punya… asuransi.”

Ucapan itu menggantung di udara, dingin seperti AC yang berhembus.

Saskia berbalik hendak pergi, tapi sebelum keluar, ia berkata pelan tanpa menoleh:

“Kalau Ibu pintar, kita bisa sama-sama selamat.”

Pintu menutup. Nadira berdiri terpaku, sadar bahwa permainan ini jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan.

Bab 5 – Batas yang Kabur

Restoran di lantai atas Hotel Aria dipenuhi cahaya temaram dan musik jazz yang mengalun pelan. Dari meja sudut, Nadira bisa melihat seluruh ruangan, tapi yang membuatnya tidak nyaman adalah fakta bahwa dua pria yang ingin ia hindari kini duduk di hadapannya—Adrian di sebelah kanan, Raka di sebelah kiri.

Awalnya ini adalah makan malam bisnis dengan Adrian, namun entah bagaimana Raka muncul dengan alasan “kebetulan ada di sini”. Nadira tahu tidak ada yang kebetulan di dunia mereka.

Adrian menyandarkan diri di kursinya, pandangannya bergeser pada Raka.

“Kalau kau mau menulis artikel, pastikan kau punya narasumber yang layak dipercaya.”

Raka tersenyum miring.

“Dan kalau kau mau menyuap seseorang, pastikan mereka tidak punya alasan untuk menusukmu dari belakang.”

Ketegangan di meja terasa seperti tali yang siap putus kapan saja. Nadira mencoba memotong suasana dengan mengambil segelas anggur. “Kita di sini untuk makan malam, bukan saling mengancam,” ujarnya, walau suaranya sedikit bergetar.

Adrian menatap Nadira dalam-dalam.

“Aku ingin memastikan kamu memilih pihak yang benar.”

Raka menatapnya balik, suaranya pelan tapi menusuk.

“Atau mungkin… dia tidak harus memilih sama sekali.”

Perkataan itu membuat Nadira terdiam. Pilihan. Selama ini ia pikir ia bisa mengendalikan dua dunia—dunia Adrian yang penuh kekuasaan, dan dunia Raka yang penuh kebenaran. Tapi malam ini, jarak antara keduanya semakin tipis, dan ia berdiri tepat di atas garisnya.

Saat pelayan datang membawa makanan, Nadira merasakan getaran ponselnya. Pesan masuk dari nomor tak dikenal:

"Kalau kau salah langkah malam ini, semuanya berakhir."

Tangannya terasa dingin. Ia melihat ke arah Adrian, lalu ke Raka. Entah siapa di antara mereka yang lebih berbahaya.

Bab 6 – Jebakan di Lantai 23

Lantai 23 Menara Rachman tidak tercatat di buku tamu resmi. Di koridor sunyi itu hanya ada satu pintu baja tanpa plakat, dan Nadira harus mengetuk tiga kali sebelum dibukakan oleh pria berjas hitam.

Di dalam, ruangan remang dengan meja bundar besar. Adrian duduk di ujung, ditemani dua orang asing—satu bule berambut putih, satu pria lokal dengan tatapan penuh curiga. Di atas meja, tumpukan map dan laptop terbuka menampilkan grafik dana investasi.

“Duduk,” perintah Adrian singkat.

Nadira mematuhi, berusaha menyembunyikan kegelisahan.

Percakapan dimulai, penuh istilah keuangan dan angka besar. Tapi di tengah pembahasan, Nadira merasakan getaran aneh dari ponselnya—bukan pesan, tapi notifikasi aplikasi rekaman. Seseorang sedang memantau.

Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti pada sebuah tas kecil di pojok. Tas itu milik Saskia.

Nadira menyadari: pertemuan ini sedang direkam.

Namun sebelum ia sempat bereaksi, pintu terbuka dan Raka masuk, wajahnya tenang tapi matanya penuh waspada.

“Lanjutkan saja. Aku hanya mau mendengar langsung.”

Adrian bangkit, wajahnya berubah dingin. “Kau tidak diundang.”

Raka tersenyum tipis.

“Justru karena itu aku datang. Karena biasanya, hal-hal yang tidak diundang… yang paling penting untuk diketahui.”

Hening menegang.

Tiba-tiba, lampu padam. Hanya cahaya darurat yang menyinari ruangan. Suara kursi tergeser, napas cepat, lalu bunyi pintu ditutup keras. Saat lampu kembali menyala, tas Saskia hilang—dan begitu juga dengan map berisi dokumen utama.

Nadira berdiri terpaku. Di ruang itu, semua orang tahu: permainan sudah dimulai, dan tak ada lagi jalan kembali.

Bab 7 – Harga Sebuah Kebohongan

Pagi itu, halaman depan Jakarta Daily menampilkan foto buram Adrian Wiratma keluar dari Menara Rachman, ditemani headline besar:

"Skandal Investasi: Jejak Dana Gelap Wiratma Holdings"

Nadira membaca artikel itu di ruang kerjanya, jantungnya berdebar. Setiap paragraf seolah menggali lebih dalam ke malam di Lantai 23. Raka jelas memegang kendali narasi—artikel itu menyinggung “seorang eksekutif wanita” tanpa menyebut nama, tapi cukup jelas bagi siapa pun yang tahu.

Ponselnya berdering. Adrian.

“Temui aku. Sekarang.”

Suara di seberang terdengar seperti perintah, bukan permintaan.

Ketika Nadira tiba di kantornya, Adrian sudah menunggu dengan ekspresi dingin. Di mejanya ada laptop yang menampilkan rekaman CCTV dari lift Menara Rachman. Nadira melihat dirinya masuk ke lantai 23… diikuti oleh Saskia.

“Jelaskan kenapa asistenmu ada di pertemuan rahasia itu,” tanya Adrian pelan, tapi nada suaranya penuh ancaman.

Nadira mencoba mengatur napas. “Dia… mengantarkan dokumen.”

Adrian menatapnya tajam.

“Dokumen yang sekarang hilang? Nadira, aku tidak suka orang berbohong padaku.”

Sebelum ia sempat membalas, pintu ruang Adrian terbuka. Raka masuk tanpa diundang, lagi.

“Mungkin karena dia sudah terlalu sering berbohong,” katanya, sambil melempar flashdisk ke meja.

Adrian memandangnya curiga. “Apa itu?”

Raka hanya tersenyum.

“Potongan rekaman pertemuan kita malam itu. Bagian yang tidak ingin kau lihat.”

Nadira menelan ludah. Ia tahu di flashdisk itu ada sesuatu yang bisa menjatuhkan Adrian—dan juga dirinya.

Adrian memegang flashdisk itu sebentar, lalu menatap Nadira, matanya seperti membaca pikirannya.

“Kita akan bicara lagi nanti. Sendirian.”

Ketika Nadira keluar dari ruangan, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal:

"Aku punya sisanya. Temui aku di Pelabuhan Tua, tengah malam."

Pengirimnya: Saskia.

Bab 8 – Ciuman yang Salah Waktu

Hujan deras membasahi dermaga Pelabuhan Tua. Lampu-lampu redup memantul di genangan air, menciptakan bayangan yang bergerak seperti hantu. Nadira berdiri di bawah payung hitam, matanya menyapu area yang nyaris kosong.

Raka muncul dari kegelapan, jaketnya basah kuyup.

“Kau benar-benar datang,” katanya, suaranya rendah.

Nadira menatapnya waspada. “Saskia mengundang kita. Katanya dia punya sisa rekaman.”

Raka mendekat, menatap matanya lekat-lekat. “Kau yakin ini bukan jebakan?”

Sebelum Nadira sempat menjawab, sebuah suara dari kejauhan terdengar: “Nadira! Raka!” — suara Saskia, diikuti bunyi pintu besi ditutup keras.

Mereka berlari ke arah suara itu, tapi tiba-tiba lampu dermaga padam. Hanya sisa cahaya dari kapal-kapal yang berlabuh memberi sedikit penerangan. Dalam gelap dan dingin, Raka menarik Nadira ke balik kontainer untuk bersembunyi.

Napas mereka berkejaran. Hanya beberapa inci yang memisahkan wajah mereka. Hujan menetes dari rambut Raka ke pipi Nadira. Dalam ketegangan itu, entah siapa yang mulai lebih dulu, bibir mereka bertemu—cepat, singkat, tapi cukup untuk mengingatkan keduanya pada semua yang belum selesai di masa lalu.

“Ini bukan waktunya,” bisik Nadira, menarik diri.

Raka mengangguk, tapi matanya tidak beranjak dari wajahnya. “Mungkin bukan waktunya… tapi itu tidak berarti aku tidak menginginkannya.”

Langkah kaki mendekat. Lampu senter menyapu area. Mereka menahan napas. Dari celah, Nadira melihat dua pria asing membawa Saskia—tangannya diikat, mulutnya dibungkam.

Salah satu pria itu menoleh, dan Nadira merasa darahnya membeku. Ia mengenal wajah itu—orang yang ia kira sudah mati tujuh tahun lalu.

Bab 9 – Pilihan yang Mematikan

Cahaya senter berkelebat di antara tumpukan kontainer, menciptakan bayang-bayang menari-nari yang menyesatkan. Nadira berdiri membeku, menatap Saskia yang terikat dan dibawa oleh dua pria asing. Wajah salah satu pria itu seperti mimpi buruk yang kembali: seorang pria bertato yang dulu ia kira sudah tewas dalam kecelakaan misterius.

Raka mengintip dari balik kontainer, matanya penuh tekad.

“Kita harus bertindak sekarang. Kalau mereka bawa Saskia pergi, kita kehilangan kunci utama untuk membongkar Adrian.”

Nadira menggigit bibir, hatinya bergejolak.

“Kalau aku ikut kau, Adrian pasti akan langsung mencurigai aku dan Saskia. Tapi kalau aku tinggal, aku bisa cari jalan lain untuk selamatkan dia.”

Raka menggeleng.

“Tidak ada jalan lain. Ini satu-satunya kesempatan.”

Detik-detik berlari begitu cepat. Nadira tahu, setiap pilihan membawa risiko kematian.

Dengan napas tertahan, ia melangkah keluar dari persembunyian.

“Aku ikut,” katanya pelan tapi tegas.

Raka tersenyum kecil, memberikan isyarat untuk maju.

Mereka bergerak beriringan, menyelinap di antara bayang-bayang dan bunyi derak kontainer yang bergeser. Saat mendekati tempat penyanderaan, Nadira merasa tangan Raka menyentuh lengannya—sentuhan yang memberinya keberanian dan ketegangan sekaligus.

Namun, saat hendak membebaskan Saskia, suara langkah berat datang dari belakang. Sebuah tangan besi menutup mulut Nadira sebelum ia sempat berteriak.

Gelap menyelimuti pandangannya.

Bab 10 – Terperangkap dalam Gelap

Gelap total menyelimuti Nadira saat tangan besi menutup mulutnya dan menariknya ke balik kontainer. Nafasnya tercekat, jantung berdebar keras. Ia berusaha menenangkan diri, mencari celah untuk bergerak.

Tangan kasar menariknya ke sebuah ruangan kecil, berisi alat-alat logistik dan beberapa kotak kayu. Pria bertato itu berdiri di depannya, wajahnya mengerikan dalam bayangan.

“Kau pikir bisa bermain-main dengan orang sepertiku?” geramnya, suaranya penuh ancaman.

Nadira mengumpulkan keberanian, mencoba berbicara pelan tapi tegas.

“Aku tidak ingin masalah. Tapi kau salah memilih musuh.”

Pria itu tertawa kasar, lalu melemparkan sebuah flashdisk ke meja.

“Ini yang kau cari? Terserah mau kau ambil atau tidak. Tapi ingat, setiap langkahmu diawasi.”

Nadira mengamati flashdisk itu, hatinya bergemuruh. Ini bisa jadi kunci untuk membongkar semua kejahatan Adrian—atau jebakan yang lebih dalam.

Tiba-tiba suara langkah mendekat. Pintu terbuka, dan Raka muncul dengan wajah tegang.

“Nadira, aku di sini. Kita harus keluar sebelum mereka kembali.”

Dengan sigap, Raka melepaskan ikatan Nadira. Mereka saling bertukar pandang, janji tanpa kata bahwa ini belum berakhir.

Namun sebelum mereka sempat pergi, pintu tertutup rapat dari luar. Alarm kecil berbunyi, dan cahaya merah menyala.

“Selamat datang di perang sebenarnya, Nadira.”

 

Bab 11 – Pelarian dan Konfrontasi

Sirene meraung memecah keheningan malam. Lampu strobo merah berkedip di seluruh lorong gelap Menara Rachman. Nadira dan Raka berlari cepat, menyelinap melewati penjaga yang panik dan kamera yang merekam setiap langkah.

“Ke ruang kontrol!” teriak Raka sambil menarik Nadira.

Mereka tiba di ruang kontrol, di mana layar-layar menampilkan berbagai sudut gedung. Di tengah layar, tampak wajah Adrian yang muncul lewat video call.

“Aku sudah menunggumu, Nadira,” suaranya dingin dan penuh amarah.
“Kau kira bisa melawan aku? Semua ini adalah permainan, dan aku yang mengendalikan papan catur.”

Nadira menatap layar, tak gentar.

“Permainanmu akan berakhir malam ini, Adrian. Aku akan ungkap semua.”

Adrian tertawa sinis.

“Kau tidak akan pernah keluar dari sini hidup-hidup.”

Lampu padam seketika. Dalam kegelapan, Nadira dan Raka saling genggam tangan, bertekad untuk bertahan dan berjuang.

Bab 12 – Titik Balik

Kegelapan total memenuhi ruang kontrol. Nadira dan Raka berusaha menenangkan napas, mengandalkan insting dan ingatan jalan keluar gedung. Lampu darurat menyala redup, memperlihatkan pintu darurat yang terkunci rapat.

Di balik layar, suara Adrian masih terngiang, penuh ancaman. Tapi Nadira tahu, kini giliran mereka untuk mengendalikan permainan.

“Raka, ambil flashdisk ini,” bisiknya. “Aku akan cari tahu celahnya.”

Raka mengangguk, dengan cepat memasukkan flashdisk ke laptop yang ada di meja. File-file rahasia mulai terbuka satu per satu—rekaman suara, bukti transfer ilegal, dokumen yang menghubungkan Adrian ke jaringan kriminal internasional.

Tiba-tiba layar menampilkan peringatan sistem. Adrian mencoba mengambil alih kontrol, tapi Raka sudah memblokir aksesnya.

“Ini bukan cuma tentang kita lagi,” ujar Raka. “Ini tentang keadilan.”

Dengan sebuah klik terakhir, mereka mengirim semua bukti ke media dan aparat penegak hukum.

Suara langkah kaki berat terdengar mendekat, pintu ruang kontrol terbuka. Tapi kali ini, bukan Adrian yang masuk—melainkan polisi bersenjata lengkap.

Nadira menarik napas lega, menatap Raka dengan mata penuh arti.

“Ini baru permulaan.”

 

Epilog – Fajar Baru

Beberapa minggu setelah penggerebekan besar-besaran, nama Nadira muncul di media sebagai sosok kunci yang membantu mengungkap jaringan kejahatan besar. Meski harus kehilangan banyak hal, termasuk rasa percaya pada beberapa orang terdekat, ia kini berdiri dengan kepala tegak—lebih kuat dan lebih bijak.

Di sebuah kafe kecil yang tenang, Nadira duduk bersama Raka. Hujan sore yang dulu jadi saksi bisu bahaya dan pengkhianatan kini terasa seperti kenangan yang jauh.

Raka tersenyum sambil menyeruput kopi hangatnya.

“Jadi, apa rencanamu sekarang?”

Nadira menatap jendela, lalu kembali menatap Raka dengan senyum tipis.

“Mulai dari nol. Dengan hati yang lebih terbuka dan waspada. Dan mungkin, kali ini… aku siap untuk mempercayai seseorang sepenuhnya.”

Raka mengangkat cangkirnya.

“Untuk fajar baru.”

Nadira mengangkat cangkirnya, mereka bersulang dalam keheningan yang penuh harapan.

Fajar baru telah tiba, membawa janji akan kehidupan yang lebih terang—meski bayang-bayang masa lalu tetap ada, mereka tahu bersama, segala rintangan bisa dilewati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh