Bayangan di Lorong Sekolah

 Bayangan di Lorong Sekolah



Prolog

Sekolah itu selalu tampak sama ketika malam tiba—gelap, sunyi, dan berdebu. Namun, siapa pun yang pernah terjebak lembur di gedung tua itu tahu satu hal: lorong lantai tiga tidak pernah sepi.

Arga, seorang siswa kelas sebelas, terpaksa pulang paling akhir karena harus menyelesaikan laporan praktikum di laboratorium biologi. Semua temannya sudah pulang, bahkan satpam yang biasanya keliling sudah lenyap entah ke mana. Hanya ada ia, suara gesekan penanya di kertas, dan... derap langkah.

Awalnya pelan.
Tok... tok... tok...

Arga berhenti menulis. Ia menajamkan telinga.

Kosong.

Ia tertawa kecil, mencoba menenangkan diri. "Ah, cuma perasaan..." gumamnya.

Namun, langkah itu terdengar lagi. Lebih cepat. Lebih dekat.
Tok... tok... TOK... TOK...

Arga menelan ludah, lalu menoleh ke pintu laboratorium yang sedikit terbuka. Dari celah sempit itu, ia melihatnya—bayangan seorang murid, berdiri di lorong.

Bayangan itu tidak bergerak. Tidak bernapas. Hanya berdiri menunggu.

Arga gemetar, ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia baru sadar sesuatu yang lebih mengerikan:

Bayangan itu... tidak punya pemilik.

Chapter 1: Jangan Lihat ke Belakang

Arga menutup bukunya perlahan, jantungnya berdentum kencang. Bayangan itu masih di sana, membeku di tengah lorong. Bentuknya samar—tinggi seperti murid laki-laki, namun wajahnya tidak terlihat.

Pikiran Arga berputar:
"Kalau aku diam, mungkin dia akan pergi..."

Namun, seolah membaca ketakutannya, bayangan itu bergerak. Satu langkah ke depan.
Drap.

Arga mundur, kursinya bergeser menimbulkan suara berdecit nyaring.

Bayangan itu berhenti. Lalu kepalanya miring perlahan, seakan-akan mendengar suara Arga.

Tiba-tiba lampu laboratorium berkedip. Sekali. Dua kali. Lalu mati total.

Gelap gulita.

Arga menahan napas. Hanya ada degup jantungnya sendiri dan suara seret... sesuatu menyeret di lantai. Bukan langkah, tapi seperti kuku panjang menggores keramik.

Craaaak... craaak...

Ia merogoh saku, menemukan ponselnya. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan flashlight. Cahaya putih menyapu ruangan—kosong. Tidak ada apa-apa.

Namun saat ia mengarahkan cahaya ke celah pintu... bayangan itu sudah tepat di depan pintu laboratorium, menempel, tanpa wajah.

Mata Arga melebar. Ia refleks menutup pintu keras-keras dan menguncinya. Tangannya gemetar, peluh dingin membasahi pelipis.

Dari luar, terdengar suara ketukan pelan.
Tok... tok... tok...

Lalu sebuah suara lirih, serak, seolah keluar dari dalam perut:

"Kau... lihat aku..."

Chapter 2: Bayangan Masuk ke Kelas

Ketukan itu semakin keras.
TOK! TOK! TOK!

Arga mundur sampai punggungnya menempel ke meja praktikum. Nafasnya terengah, hampir tersedak oleh rasa panik.

Pintu laboratorium bergetar. Gagang pintu berputar perlahan. Padahal tadi sudah ia kunci.

"Mustahil... kuncinya dari dalam..." pikir Arga.

Namun suara berderit terdengar. Pintu itu terbuka sendiri, lambat tapi pasti. Celah hitam menganga, menelan cahaya senter ponsel Arga.

Dan di sanalah ia berdiri.
Sosok itu akhirnya menampakkan dirinya.

Tubuhnya pucat, berlumuran noda hitam seperti bekas terbakar. Rambutnya panjang, menutupi sebagian wajah. Namun dari sela-sela rambut, mata putihnya melotot langsung ke arah Arga. Tidak ada bola mata—hanya putih pucat yang mengilap.

Arga hampir menjatuhkan ponselnya. Kakinya kaku, tapi instingnya memaksa untuk lari. Ia melompat melewati meja, berlari ke pintu belakang laboratorium. Tangannya meraih gagang pintu—terkunci.

"Sial! Harus lewat lorong depan!"

Ia menoleh sekilas. Sosok itu masih berdiri di pintu depan, kepala terkulai ke samping seperti boneka rusak. Namun... bibirnya mulai bergerak.

Sebuah senyuman terbentuk, merekah terlalu lebar hingga kulit pipinya robek.

"Jangan lari..." bisiknya.

Arga menjerit dan berlari sekencang mungkin keluar dari laboratorium. Ia berlari di lorong gelap, langkah kakinya bergema panjang. Namun gema itu tidak sendirian. Ada langkah lain yang mengikutinya—cepat, menyeret, dan semakin dekat.

Drap... draaap... craaak... craaak...

Arga menoleh ke belakang. Tidak ada siapa pun.

Tapi begitu ia kembali menatap ke depan, sosok itu sudah berdiri di ujung lorong, memblokir jalan keluar.

Chapter 3: Lorong yang Tidak Berujung

Arga berhenti mendadak. Nafasnya memburu, keringat dingin membasahi kemejanya.

Di depan, sosok itu masih berdiri di ujung lorong. Tubuhnya kaku, kepala miring, dan senyuman yang terlalu lebar menatapnya dari kejauhan.

Arga melirik ke kiri-kanan. Ada pintu kelas, tapi semua terkunci rapat. Ia tahu kalau mendekat untuk memutar gagangnya, waktunya habis.

Ia hanya punya dua pilihan: lari ke arah bayangan itu, atau... balik arah.

Arga memilih yang kedua. Ia berbalik, berlari secepat mungkin. Tapi anehnya—lorong itu terasa semakin panjang. Lampu-lampu gantung di atas kepalanya terus berkedip, dan kelas-kelas yang dilewatinya terlihat sama, berulang-ulang.

"Kenapa... kenapa gak sampai-sampai ke tangga?!" teriaknya dalam hati.

Dari belakang, suara seretan semakin keras.
Craaaak... craaaak... craaaak...

Arga menoleh sekilas.

Sosok itu masih ada di sana. Tapi kali ini... lebih dekat.
Padahal tadi jaraknya jauh. Kini hanya sepuluh meter di belakangnya.

Arga hampir tersandung. Ia menabrak sebuah pintu kelas yang sedikit terbuka—aneh, karena sebelumnya terkunci semua. Tanpa pikir panjang, ia masuk.

Ruangan itu gelap, bau apek menusuk hidung. Arga menutup pintu cepat-cepat dan menahan napas.

Hening.

Ia mengira aman. Sampai akhirnya, terdengar suara bisikan dari dalam kelas, bukan dari luar.

“Kenapa kau masuk ke kelas kami...?”

Lampu ponsel Arga menyala, menyapu ruangan.

Di dalam kelas itu, semua kursi penuh. Penuh oleh murid-murid... tapi tubuh mereka kaku, pucat, dan mata putih kosong menatap lurus ke arahnya.

Chapter 4: Kelas yang Tidak Pernah Kosong

Arga terdiam di ambang pintu. Lampu ponselnya bergetar di tangannya sendiri, seolah cahaya pun ketakutan.

Puluhan murid duduk di bangku-bangku kayu. Seragam mereka lusuh, robek, dan dipenuhi noda gelap yang tidak bisa dikenali. Wajah mereka pucat, mulut mereka terkunci rapat, hanya mata putih itu yang menatap lurus ke depan.

Tidak ada suara napas. Tidak ada gerakan.

Namun saat Arga melangkah mundur, semua kepala mereka berputar serempak menoleh ke arahnya.

Krek... krek... krek... suara tulang leher patah memenuhi ruangan.

Arga hampir menjerit, tapi tenggorokannya tercekat. Ia menempel ke dinding, cahaya ponselnya menyapu papan tulis di depan kelas.

Ada tulisan dengan kapur putih:

“JANGAN MENOLAK PANGGILAN.”

Tiba-tiba salah satu murid bangkit. Gerakannya kaku, seperti boneka yang ditarik benang. Ia berjalan ke arah Arga dengan kepala yang masih menoleh ke samping, matanya menatap lurus tanpa berkedip.

Langkahnya diikuti murid lain. Satu demi satu, mereka berdiri, bergerak serempak, mendekat.

Arga panik. Ia mencoba membuka pintu—tidak bisa. Ia menendangnya—tetap terkunci.

Di belakangnya, murid-murid itu terus mendekat, suara sepatu mereka bergema di lantai.
Drap... draap... draap...

Sampai akhirnya mereka berhenti.

Bersama-sama, mereka membuka mulut perlahan. Dari mulut itu tidak keluar teriakan, tapi sebuah bisikan serempak yang memenuhi ruangan:

“Giliranmu berdiri di lorong...”

Cahaya ponsel Arga padam. Gelap total.

Dan ketika menyala lagi, Arga tidak lagi berada di dalam kelas. Ia berdiri sendirian di lorong sekolah, lampu-lampunya padam, namun kali ini... ia yang melihat bayangan murid lain muncul dari kejauhan.

Chapter 5: Giliran Arga

Lorong sekolah sunyi. Lampu neon di langit-langit berkelip sesekali, menyorot lantai keramik yang berdebu.
Arga berdiri di tengah, ponsel di tangannya bergetar, baterai hampir habis.

Di ujung lorong, sosok murid itu kembali muncul. Bayangan hitam dengan mata putih kosong.
Namun kali ini... Arga merasa aneh.

Sosok itu tidak lagi menakutkan—lebih seperti... pantulan dirinya sendiri.
Posturnya sama. Seragamnya pun robek di bagian lengan—tepat di tempat seragam Arga juga robek tadi saat ia terburu-buru melompat meja.

"Apa... itu aku?" pikirnya.

Sosok itu bergerak. Satu langkah maju.
Arga merasa dadanya ikut berguncang, seolah langkah itu datang dari dalam dirinya sendiri.

Tiba-tiba, lorong berputar. Cahaya meredup, dan suara bel sekolah berdentang keras.
TRIINGGGGG!!!

Pintu-pintu kelas terbuka serentak. Dari masing-masing ruangan, murid-murid pucat itu keluar dengan gerakan kaku, memenuhi lorong.
Mereka tidak menatap Arga, tapi berjalan melewatinya, menghadap ke arah sosok bayangan di ujung lorong.

Arga terengah. Murid-murid itu membungkuk... memberi hormat.

Dan bisikan yang sama terdengar lagi, tapi kali ini bukan hanya dari mereka—melainkan juga dari dalam kepala Arga sendiri.

“Giliranmu berdiri di lorong.”

Tangan Arga gemetar. Ia menunduk. Ponselnya mati total.
Namun saat ia melihat pantulan kaca jendela di samping, tubuhnya sendiri sudah... menghitam, samar, seperti bayangan.

Chapter 6: Malam Berikutnya

Suara bel berhenti. Gelap menelan semuanya.
Saat Arga membuka mata, ia sudah tidak merasakan tubuhnya lagi. Hanya berdiri... di lorong.

Waktu seolah berhenti. Tidak ada hari, tidak ada malam. Hanya lorong yang terus ada.
Dan murid-murid itu terus berjalan, masuk kelas, keluar lagi, seakan mengulang siklus yang sama.

Arga ingin berteriak, tapi yang keluar dari mulutnya hanya bisikan:

“Jangan lihat ke belakang...”


Chapter 7: Murid Baru

Malam berikutnya, seorang murid lain masuk sekolah. Seorang gadis bernama Mira, yang lupa mengambil bukunya.
Ia masuk dengan santai, menyalakan ponsel sebagai penerang.

Lorong sepi. Semua terlihat normal.
Namun dari kejauhan, Mira melihat sosok berdiri di ujung lorong. Tinggi, samar, tak bergerak.

Ia mengira itu satpam. “Pak?” panggilnya.
Tidak ada jawaban.

Ketika ia melangkah lebih dekat, sosok itu mengangkat kepalanya perlahan.
Mata putih. Senyuman terbelah.

Mira menjerit dan berlari.


Chapter 8: Bayangan Arga

Arga melihatnya. Gadis itu berlari, panik. Sama seperti dirinya dulu.
Tapi anehnya, Arga tidak bisa menolong.

Setiap kali ia mencoba menggerakkan tangan, tubuhnya hanya berdiri kaku.
Setiap kali ia ingin berkata “Lari!”, yang keluar hanyalah bisikan serak:

“Kau lihat aku...”

Mira terus lari, tapi lorongnya tak pernah habis. Sama seperti dulu.

Arga sadar—dirinyalah yang kini berdiri di ujung lorong. Dirinyalah bayangan yang ia lihat waktu pertama kali.


Chapter 9: Siklus

Murid-murid pucat keluar dari kelas lagi. Mereka membentuk lingkaran, mengurung Mira.
Bisikan serempak menggema:

“Giliranmu berdiri di lorong...”

Mira menangis, berusaha meraih pintu. Namun pintu itu terkunci, seperti yang dialami Arga dulu.
Lampu berkedip.

Dalam sekejap, Mira menghilang.
Yang tersisa hanyalah sosok baru—bayangan murid perempuan, berdiri di sudut lorong, menatap kosong.

Arga menunduk. Kini ia bukan sendirian lagi.


Chapter 10 (Final): Lorong yang Tidak Pernah Kosong

Malam demi malam, sekolah itu selalu sepi. Namun setiap kali ada murid yang masuk terlalu larut, lorong lantai tiga menyambutnya dengan hening.

Dan di ujung lorong... selalu ada bayangan.
Kadang seorang murid laki-laki.
Kadang seorang gadis.

Tak ada yang bisa kabur.
Tak ada yang bisa melawan.

Karena siapa pun yang masuk...
akan menjadi bagian dari lorong itu.

Lorong yang tidak pernah kosong.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh