Dua Bulan di Langit yang Sama

 Dua Bulan di Langit yang Sama


Judul: Dua Bulan di Langit yang Sama

Genre: Romance, Drama, Slice of Life


Sinopsis
Arga, seorang penulis lepas yang hidupnya tenang di kota kecil, menyimpan rahasia yang bahkan tak berani ia ceritakan pada sahabat terdekatnya: di dalam hatinya, ia memelihara dua cinta yang sama besarnya.
Satu, adalah Rania—teman masa SMA yang selalu menjadi "rumah" baginya. Perempuan sederhana dengan senyum yang mampu menenangkan badai.
Yang lain, adalah Liora—wanita yang ia temui di sebuah kafe hujan, dengan tatapan yang membuatnya merasa hidup kembali.

Keduanya berbeda bagaikan bulan purnama dan bulan sabit. Namun, bagi Arga, keduanya sama-sama menerangi malamnya yang gelap.

Namun hati tidak bisa dibagi selamanya. Pada akhirnya, ia harus memilih… atau kehilangan keduanya.


Episode 1 – Bulan Sabit di Jendela
Malam itu, Arga menatap layar laptopnya yang masih kosong. Tangannya terhenti di atas keyboard, bukan karena kehabisan ide, melainkan karena pikirannya melayang pada dua wajah.

Rania—yang beberapa jam lalu mengirim pesan singkat: "Kapan kita ngopi lagi? Aku rindu ngobrol sama kamu."
Liora—yang seminggu lalu berkata di bawah hujan: "Aku nggak mau jadi rahasia selamanya, Arga."

Hatinya seperti ruang kecil yang diisi dua cahaya berbeda.
Dan setiap kali ia mencoba menutup mata untuk tidur, cahaya itu bercampur, menimbulkan rasa hangat… sekaligus sesak.


Episode 2 – Langkah di Tengah Hujan
Hujan turun tanpa permisi. Arga berdiri di depan kafe, menunggu Rania yang katanya akan terlambat. Tapi entah kenapa, bayangan Liora justru yang lebih dulu datang di pikirannya.
Suara tawa, aroma kopi, dan tatapan mata yang menyiratkan luka.
Hatinya berdegup lebih cepat. Bukan karena cuaca dingin, tapi karena ia sadar… ia menunggu dua orang di satu waktu yang berbeda.

Episode 3 – Janji yang Tak Pernah Ditepati

Rania duduk di seberang meja, mengenakan sweater abu-abu yang pernah ia pakai saat mereka masih di SMA. Senyum itu masih sama, hangat dan sederhana.

“Kamu sibuk banget sekarang, Ga. Susah banget ngajak ketemu,” ujarnya sambil meniup kopi panas.

Arga menelan ludah. Ia ingin berkata bahwa alasannya bukan sibuk, tapi takut. Takut kebersamaan ini akan terasa seperti pengkhianatan—bukan pada Rania, tapi pada Liora.

“Iya… maaf. Banyak kerjaan,” jawabnya, setengah berbohong.

Ponselnya bergetar di saku. Sebuah pesan dari Liora:
“Aku di depan rumah kamu. Kalau kamu nggak ada, aku tunggu.”

Dada Arga terasa seperti diikat. Rania di hadapannya, Liora menunggunya. Dua dunia, satu hati, dan janji yang tak mungkin ia tepati untuk keduanya sekaligus.


Episode 4 – Dua Bulan di Langit Malam

Malam itu, Arga berdiri di jendela kamar, memandang bulan yang menggantung pucat.
Ia teringat perkataan Liora waktu itu:

“Bulan itu sama, Ga. Tapi kadang terlihat purnama di satu tempat, sabit di tempat lain. Kayak hati kamu, kan?”

Kata-kata itu menamparnya. Ia tahu, cepat atau lambat, salah satu dari mereka akan merasa hanya kebagian setengah cahaya.

Rania adalah masa lalu yang tak pernah pudar—tempat di mana ia merasa aman.
Liora adalah masa depan yang penuh kemungkinan—tempat di mana ia merasa hidup.

Tapi apa gunanya masa depan, kalau untuk mencapainya ia harus membunuh masa lalu?
Dan apa gunanya masa lalu, kalau ia terus menahan masa depan untuk datang?

Arga menutup mata. Di dalam gelap, ia melihat dua bulan… dan tahu ia tidak bisa menggenggam keduanya selamanya.

Episode 5 – Hujan yang Membawa Nama

Arga baru saja pulang dari kafe bersama Rania. Jalanan basah, udara dingin menusuk kulit.
Begitu ia membuka pintu rumah, Liora berdiri di sana—payung di tangan, rambutnya sedikit basah, mata penuh tanya.

“Kamu dari mana?” suara Liora tenang, tapi ada badai di baliknya.

Arga menelan ludah. “Dari… kafe. Ada urusan kerja.”
Liora menatapnya, lalu tersenyum tipis.

“Kerja sama Rania, ya?”

Nama itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Nama yang seharusnya tak ia tahu.


Episode 6 – Suara yang Retak

Arga membeku. Hujan di luar seakan berhenti, meninggalkan suara detak jantungnya yang semakin keras.

“Kamu… tahu dari mana?”
“Kota ini kecil, Ga. Dan kamu nggak pernah pandai berbohong.”

Liora menatapnya lama, seperti ingin menembus dinding hatinya.

“Aku nggak mau jadi bulan kedua, Ga. Kalau kamu masih pegang dia, lepaskan aku sekarang.”

Arga ingin bicara, tapi suaranya retak di tenggorokan.
Di kepalanya, wajah Rania muncul—dan senyum itu seperti tali yang mengikatnya ke masa lalu.
Sementara di hadapannya, Liora berdiri sebagai masa depan yang akan hilang jika ia diam terlalu lama.

Di luar, hujan kembali turun.
Dan di dalam, Arga merasa sedang tenggelam… bukan oleh air, tapi oleh pilihannya sendiri.

Episode 7 – Aroma Kopi yang Sama

Pagi itu, Rania mengajak Arga sarapan di sebuah kafe baru di pusat kota.
Saat mereka masuk, aroma kopi menyambut… tapi aroma itu membawa sesuatu yang lain: kenangan.
Kenangan tentang Liora.

Dan benar saja—di sudut ruangan, Liora duduk sendirian, menatap layar laptop.
Mata mereka bertemu. Tidak ada senyum, hanya keheningan yang tegang.

Rania menoleh ke Arga.

“Kamu kenal dia?” tanyanya sambil mengangkat alis.
“Eh… cuma… pernah ketemu,” jawab Arga gugup.

Tapi Rania tahu tatapan itu. Ia pernah melihat tatapan serupa di cermin ketika memikirkan seseorang yang ia sukai.


Episode 8 – Meja yang Terlalu Kecil untuk Tiga Hati

Tidak tahu apa yang mendorongnya, Rania mengajak Liora bergabung di meja mereka.

“Biar nggak sendirian,” katanya, meski suaranya terdengar datar.

Liora duduk, dan keheningan kembali turun.
Tiga cangkir kopi, tiga hati yang berdegup, dan terlalu banyak kata yang tidak diucapkan.

Liora memecahnya lebih dulu.

“Kamu nggak bilang ke aku kalau kamu suka kopi di sini,” katanya pada Arga, tapi matanya tak pernah lepas dari Rania.
Rania menatap balik.
“Kamu siapa, sebenarnya?”

Suasana di meja itu seperti bom waktu—dan Arga tahu, satu kalimat saja bisa membuat segalanya meledak.

Episode 9 – Bom Waktu Pecah

Keheningan di meja itu akhirnya pecah ketika Rania meletakkan cangkirnya dengan suara keras.

Rania: “Kamu pacarnya Arga, ya?”
Liora: “Kalau ‘pacar’ artinya orang yang dia peluk saat hujan, iya.”

Suara sendok jatuh dari tangan Arga. Beberapa pengunjung menoleh, tapi ketiganya seperti terjebak di dunia sendiri.

Rania: “Jadi selama ini… semua alasan kamu sibuk, cuma buat dia?”
Arga: “Ran, nggak seperti itu—”
Liora: “Jangan bohong lagi, Ga. Kita semua tahu jawabannya.”

Di dada Arga, rasa bersalah bercampur takut. Ia tahu, ia sedang kehilangan kendali atas dua dunia yang selama ini ia rawat diam-diam.


Episode 10 – Saat Semua Cahaya Padam

Rania berdiri, matanya berkaca-kaca tapi suaranya tegas.

“Kalau kamu mau sama dia, bilang sekarang. Biar aku pergi.”

Liora menatap Arga, wajahnya rapuh meski bibirnya tetap berusaha tersenyum.

“Kalau kamu nggak mau kehilangan aku, bilang juga sekarang. Biar dia yang pergi.”

Arga merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang.
Di satu sisi, ada rumah yang sudah lama ia huni.
Di sisi lain, ada langit baru yang ingin ia jelajahi.

Dan di tengah, hanya ada satu kata yang bisa ia ucapkan… tapi mulutnya tak kunjung bergerak.

Hening.
Lalu Rania berbalik, melangkah keluar kafe tanpa menoleh.
Liora tetap duduk, menatap Arga, lalu berkata pelan:

“Kamu pikir diam bisa bikin semuanya baik-baik saja? Nggak, Ga. Diam cuma bikin kamu kehilangan keduanya.”

Dan saat Liora ikut pergi, Arga menyadari… malam itu, langitnya benar-benar gelap.

Episode 11 – Kota Tanpa Senyum

Tiga hari berlalu tanpa pesan dari Rania maupun Liora.
Arga mencoba menulis, tapi setiap kata terasa kosong. Kopi di mejanya dingin, hujan di luar hanya membuat sepi semakin pekat.

Ia sempat berjalan ke rumah Rania. Lampu menyala, tapi tidak ada yang membukakan pintu.
Ia juga datang ke kafe tempat biasanya bertemu Liora, namun kursi favoritnya kosong.

Mungkin ini yang aku pantas dapatkan, pikir Arga.
Diam membuatku kehilangan keduanya. Dan sekarang, kota ini seperti tak punya senyum lagi.


Episode 12 – Surat Tanpa Nama

Suatu sore, Arga menemukan amplop terselip di bawah pintu rumahnya.
Tulisan tangannya familiar, tapi ia tak bisa langsung memastikan milik siapa—karena tidak ada nama pengirim.

“Kadang kita mencintai dua orang bukan karena kita serakah… tapi karena kita takut kehilangan cahaya.
Sayangnya, memilih berarti membunuh salah satu bintang. Dan kalau kamu tidak memilih, keduanya akan padam.”

Di bagian bawah, hanya ada satu inisial: R.
Arga tahu itu bisa berarti Rania… tapi Liora juga pernah memanggil dirinya “R” saat mereka saling mengirim catatan kecil di kafe.

Amplop itu adalah misteri—dan mungkin, petunjuk terakhir yang bisa menyambungkannya kembali pada salah satu, atau malah keduanya.

Episode 13 – Jejak di Tepi Amplop

Arga menatap amplop itu selama berjam-jam sebelum akhirnya memutuskan untuk mencari tahu.
Ia memperhatikan lekuk tulisan—cara huruf “m” ditulis, dan goresan miring ke kiri yang khas.
Rania punya tulisan miring, tapi Liora selalu menulis lurus rapi.
Namun, ada noda kopi di ujung amplop… dan itu kebiasaan Liora yang sering menulis sambil menyesap minumannya.

Hatinya berdebar. Bisa jadi surat ini dari Liora, tapi kenapa inisialnya “R”?
Atau… mungkinkah surat itu dari orang ketiga yang mengenal keduanya?


Episode 14 – Bayangan di Pintu Kafe

Arga memutuskan untuk kembali ke kafe tempat Liora biasa bekerja.
Saat masuk, ia melihat sosok yang tak ia duga: Rania—duduk di meja dekat jendela, mengobrol hangat… dengan lelaki yang sangat Arga kenal.
Bima.
Sahabatnya sejak kuliah.

Mereka tertawa. Bukan tawa basa-basi, tapi tawa yang sudah punya kedekatan.
Arga terpaku di pintu, dunia seakan memutar balik.
Apakah ini alasan Rania mulai menjaga jarak?
Atau… apakah Bima yang menulis surat itu?

Liora muncul dari dapur, melihat Arga, lalu melirik ke arah Rania dan Bima.
Di wajahnya ada senyum tipis—bukan manis, tapi seperti seseorang yang tahu rahasia besar dan sedang menunggu kapan rahasia itu meledak.

Episode 15 – Tiga Tatapan, Satu Rahasia

Arga berdiri di pintu kafe, tak tahu harus melangkah maju atau pergi.
Rania menoleh, mata mereka bertemu, dan senyum di wajahnya langsung memudar.
Bima menatap Arga dengan ekspresi kaku—campuran terkejut dan bersalah.

Liora datang menghampiri meja mereka.

“Wah, rame ya di sini,” ucapnya santai, tapi nadanya seperti menusuk.

Ketiganya diam. Hanya Liora yang terlihat tenang, seolah ia tahu persis semua potongan puzzle di ruangan itu.


Episode 16 – Kaitan yang Tak Pernah Diduga

Arga akhirnya duduk, meski lututnya terasa lemah.

“Ada yang mau jelasin apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya, menatap Rania dan Bima bergantian.

Bima menghela napas panjang.

“Aku… kenal Liora duluan. Bahkan sebelum kamu.”

Kalimat itu membuat Arga menoleh ke Liora.
Ia hanya tersenyum tipis.

“Kita pernah dekat, Ga. Tapi cuma sebentar. Sampai aku tahu… dia sahabat kamu.”

Rania menunduk, lalu berkata pelan:

“Aku nggak tahu mereka pernah punya cerita. Aku cuma… ketemu Bima pas kamu mulai menjauh.”

Arga menatap ketiganya—dan baru sadar, ia bukan hanya berada di tengah cinta segitiga, tapi simpul rumit di mana setiap orang di meja itu pernah saling terhubung secara diam-diam.

Episode 17 – Percakapan Tanpa Saksi

Keesokan harinya, Arga menerima pesan singkat dari Rania:
“Jangan cari aku hari ini. Aku ada urusan.”

Namun, sore itu, ia tanpa sengaja melihat Rania di teras kafe Liora.
Keduanya duduk berhadapan, tanpa Arga di antara mereka.

Rania: “Aku nggak mau kita saling benci cuma karena dia.”
Liora: “Aku juga nggak mau. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak peduli sama dia.”

Rania tersenyum pahit.

“Mungkin kita yang terlalu berharap. Dia nggak pernah bisa milih… dan kita yang capek nunggu.”


Episode 18 – Surat Kedua

Malamnya, Arga menemukan amplop lagi di bawah pintu.
Tulisan yang sama, tapi kali ini inisialnya L.

“Kamu tidak perlu memilihku, Ga. Tapi kamu harus memilih sesuatu.
Kalau terus diam, yang akan kamu genggam nanti hanya penyesalan.”

Arga duduk di lantai, menggenggam surat itu.
Hatinya perih. Bukan karena kehilangan, tapi karena ia mulai sadar… ia yang membuat semuanya runtuh.


Episode 19 – Pilihan yang Terlambat

Arga memutuskan mencari Rania lebih dulu. Ia ingin menjelaskan, meminta maaf, bahkan kalau perlu memohon.
Tapi saat tiba di rumah Rania, pintu dibuka oleh ibunya.

“Rania sudah berangkat ke luar kota. Dapat tawaran kerja di Bandung. Mungkin lama di sana.”

Arga bergegas ke kafe Liora. Tapi Liora tidak ada. Barista memberitahu:

“Dia berhenti minggu lalu. Katanya mau mulai hidup baru, jauh dari sini.”


Episode 20 – Dua Bulan yang Hilang (Ending)

Beberapa bulan kemudian, Arga duduk di bangku taman, menatap langit malam.
Bulan purnama menggantung indah, tapi baginya, itu terasa kosong.

Dulu, ia punya dua cahaya di langit hatinya.
Sekarang, keduanya pergi—bukan karena mereka saling merebut, tapi karena ia terlalu lama berdiri di tengah tanpa bergerak.

Ia membuka dompet, ada dua foto kecil: satu foto Rania saat tersenyum malu-malu, satu lagi Liora di bawah hujan.
Ia menatap keduanya, lalu menutup dompet pelan.

Mungkin ini hukuman untuk orang yang mencintai, tapi tak berani memilih.

Di kejauhan, suara tawa orang-orang di kafe memenuhi udara.
Tapi bagi Arga, malam itu hanya sunyi… dan bulan, entah purnama atau sabit, tetap saja terasa sendirian.

Epilog – Cahaya yang Tersisa

Setahun setelah malam itu, Arga pindah ke kota lain.
Bukan untuk melupakan, tapi untuk berhenti menunggu.

Di kamarnya yang baru, ada rak kecil berisi dua benda:

  • Sebuah cangkir keramik bergambar bulan—hadiah ulang tahun dari Rania.

  • Sebuah payung hitam lipat—yang pernah Liora tinggalkan di rumahnya setelah hujan pertama mereka.

Ia tidak membuangnya, tidak juga menggunakannya.
Benda-benda itu hanya duduk di sana, seperti dua bintang yang pernah menerangi langitnya.

Kadang, di malam tenang, ia masih bertanya-tanya… bagaimana kalau dulu ia memilih?
Apakah salah satu dari mereka akan tetap tinggal?
Atau justru, pilihan itu tetap akan membuatnya kehilangan?

Namun ia sadar, hidup tidak selalu memberi kesempatan kedua.
Yang tersisa hanyalah langkah ke depan—dan kenangan yang, entah pahit atau manis, akan selalu ikut berjalan di belakangnya.

Bulan muncul di luar jendela, setengah sabit.
Arga menatapnya, lalu tersenyum tipis.

Dua bulan di langit yang sama… kini tinggal satu. Tapi setidaknya, aku masih bisa melihatnya.

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh