Hati yang Tak Terlihat

 Hati yang Tak Terlihat


Sinopsis

Arini selalu percaya bahwa cinta yang tulus akan menemukan jalannya. Namun, bagi dunia, ia hanyalah wanita bodoh yang terlalu banyak memberi tanpa pernah diminta. Ia mencintai sepenuh hati, mengorbankan segalanya, tetapi matanya hanya melihat satu orang—Pradana.
Sayangnya, pandangan Pradana tak pernah kembali padanya. Ia menatap jauh, melewati Arini, seolah ia tak pernah ada.
Di antara rasa sakit yang tak terlihat, Arini belajar bahwa cinta tak selalu tentang memiliki… tetapi tentang bertahan, meski dunia menyebutmu bodoh.


Episode 1: Senyum yang Tak Pernah Sampai

Hujan sore itu turun pelan, mengetuk jendela kafe kecil di sudut kota.
Arini duduk di kursi dekat kaca, menunggu.
Selalu menunggu.

Ia tahu, Pradana mungkin tak akan datang tepat waktu. Ia juga tahu, bahkan jika pria itu muncul, matanya akan sibuk mencari orang lain. Tapi, entah kenapa, Arini tetap menunggu. Hatinya, seperti seorang pengembara yang menolak pulang meski tahu jalan pulang itu buntu.

“Minumannya, Mbak,” pelayan meletakkan secangkir cappuccino di depannya.
Aroma kopi hangat menguap, tetapi Arini tak menyesapnya. Tangannya hanya membelai pinggiran cangkir, seolah di sana tersimpan keberanian yang ia butuhkan untuk bertanya “Kenapa aku tidak pernah cukup?”

Pintu kafe terbuka.
Pradana masuk, senyum hangat merekah—bukan untuk Arini, tapi untuk perempuan di belakangnya.

Arini tersenyum juga. Senyum yang ia tahu, tak akan pernah sampai ke hati Pradana.

Episode 2: Diam yang Menggigit

Pradana duduk tiga meja dari Arini.
Wanita di sampingnya tertawa kecil, suaranya seperti lonceng kaca yang jatuh di atas meja kayu—jernih, nyaring, dan memecah ruang hening kafe.

Arini memalingkan pandangan. Bukan karena benci, tapi karena matanya takut membocorkan rahasia yang selama ini ia simpan rapat.

Tangannya bergerak, mengambil sendok kecil, mengaduk cappuccino yang sudah dingin. Busa di permukaan pecah pelan, seperti hatinya yang retak-retak tanpa suara.

“Kenapa aku tetap di sini?”
Pertanyaan itu datang lagi, membisik, memukul, lalu menghilang.

Pradana menoleh sekilas. Tatapan mereka bertemu—hanya satu detik, tapi cukup untuk membuat Arini merasakan seluruh dadanya berdesir. Ia tersenyum, ragu-ragu. Pradana membalas… dengan anggukan singkat, sebelum kembali pada wanita itu.

Bibir Arini mengerjap kecut. Ia ingin tertawa, tapi takut suaranya terdengar seperti keluh.

“Arini?”
Suara itu datang dari belakang. Nisa, sahabatnya, berdiri dengan payung basah di tangan. Matanya meneliti wajah Arini sebentar, lalu berpindah ke arah Pradana.
“Oh…” Nisa tidak melanjutkan.

Arini pura-pura tersenyum. “Baru nongkrong sebentar. Mau gabung?”

Nisa duduk, tapi tidak melepas pandangan curiganya. “Kamu tahu kan itu… dia nggak sendiri.”
“Aku tahu.”
“Dan kamu tetap…” Nisa menggantung kalimatnya, menunggu keberanian Arini untuk mengaku.

“Aku cuma… senang dia bahagia,” jawab Arini, pelan, nyaris seperti berbohong pada dirinya sendiri.

Di meja seberang, tawa Pradana dan perempuan itu pecah lagi.
Arini meneguk cappuccino yang kini hambar. Di lidahnya, rasanya seperti air hujan yang tersisa di gelas kosong—dingin, pahit, dan tidak diundang.

Hujan di luar semakin deras. Tapi di dalam dadanya, badai itu sudah lama turun.

Episode 3: Payung di Bulan Juni

Hujan deras mengguyur kota hari itu.
Jalanan licin, genangan air memantulkan lampu-lampu toko seperti cermin yang pecah. Arini berlari kecil dari halte, memeluk map berisi dokumen magangnya.

Ia terlambat. Bukan karena macet, tapi karena ia memang lemah dalam mengatur waktu.
Sepatunya basah. Ujung rok menempel di kaki. Rambutnya menempel di pipi.

Dan di tengah semua kekacauan itu—
Seseorang menepuk pundaknya.

“Kamu mau ke arah kampus, kan?”
Suara itu hangat, meski di tengah hujan. Seorang pria berdiri, memegang payung hitam yang sedikit terlalu kecil untuk dua orang.

“Eh… iya,” jawab Arini gugup.
“Ayo bareng. Daripada kamu basah kuyup.”

Itulah pertama kalinya Arini berjalan di bawah payung yang sama dengan Pradana.
Dia bukan siapa-siapa waktu itu—hanya kakak tingkat yang jarang ia lihat, tapi entah kenapa, Arini mengingat setiap detiknya: suara air hujan di payung, aroma hujan bercampur kopi dari nafasnya, dan cara Pradana miring sedikit ke luar agar Arini tidak terkena cipratan air.

“Nanti kamu sakit kalau basah begini,” katanya sambil tersenyum.
Senyum itu… yang kemudian jadi rumah bagi hati Arini.

Sejak hari itu, Arini mulai memperhatikan setiap kehadiran Pradana. Cara dia membantu junior tanpa diminta, cara dia tersenyum ketika menyapa satpam kampus, bahkan cara dia mengetik cepat di perpustakaan sambil menggigit ujung bolpoin.

Perasaan itu tumbuh diam-diam.
Tanpa janji, tanpa alasan jelas—hanya karena Pradana pernah membagi separuh payungnya di bulan Juni.


Malam itu, di kamar kontrakannya yang sempit, Arini menatap atap yang bocor, mendengar suara hujan menetes.
Ia tersenyum sendiri.

Dia tidak tahu, bahwa senyum yang sederhana itu akan membuatnya menunggu… hingga bertahun-tahun kemudian, di sebuah kafe, sendirian.

Episode 4: Hal-Hal Kecil yang Tidak Terlihat

Arini tidak pernah benar-benar berbicara lama dengan Pradana sejak kejadian payung itu.
Tapi entah bagaimana, ia tahu banyak tentang pria itu.

Ia tahu Pradana suka minum kopi hitam tanpa gula, tapi akan menambahkan sedikit susu kalau sedang begadang.
Ia tahu Pradana tidak tahan pedas, meski selalu memesan nasi goreng level 2 di warung depan kampus.
Ia tahu Pradana sering lupa sarapan karena terburu-buru mengejar jadwal rapat.

Dan dari semua yang ia tahu, ada satu hal yang selalu ia lakukan: memastikan Pradana baik-baik saja, meski Pradana tidak pernah menyadarinya.


Pagi itu, Arini bangun lebih awal. Ia membeli roti gandum dan susu kotak, lalu menitipkannya di meja resepsionis kantor tempat Pradana magang.
Tidak ada nama pengirim. Tidak ada catatan manis. Hanya dua benda sederhana yang ia tahu akan membantu Pradana melewati pagi yang sibuk.

Siang harinya, dari balik jendela kafe tempat ia mengetik laporan, Arini melihat Pradana berjalan sambil menggigit roti itu. Ia tersenyum kecil—tidak ada yang tahu, bahkan Pradana, bahwa roti itu datang dari dirinya.


“Kenapa kamu nggak bilang kalau itu dari kamu?” tanya Nisa suatu kali.
“Kalau aku bilang, nanti rasanya beda,” jawab Arini.
“Rasanya buat siapa?”
Arini terdiam sebentar. “Buat aku… supaya aku tahu aku tulus.”


Malam itu, ia mengetik pesan di ponselnya: "Besok jangan lupa sarapan, ya."
Tapi jempolnya ragu menekan tombol kirim. Ia menghapusnya.

Arini tidak ingin mengganggu. Ia hanya ingin menjaga, dari jauh.


Sementara itu, di dunia Pradana, nama Arini mungkin hanya sekilas terlintas di daftar kontak.
Tapi di dunia Arini, Pradana adalah seluruh bab yang ia tulis setiap hari—tanpa ia sadari, tinta itu mulai menghapus dirinya sendiri.

Episode 5: Kursi Kosong di Sampingnya

Sabtu sore itu, Arini duduk di bangku taman kampus. Ia memegang dua gelas es teh—satu untuknya, satu untuk Pradana.
Mereka sudah janjian, katanya, untuk membicarakan acara reuni kecil yang akan diadakan bulan depan.

Jam menunjukkan pukul empat.
Lima menit berlalu. Sepuluh. Setengah jam.

Arini menggenggam gelas itu lebih erat, berharap Pradana muncul dari arah gedung perpustakaan seperti biasanya.
Tapi yang muncul adalah pemandangan yang menusuk: Pradana berjalan cepat… bersama seorang perempuan yang belum pernah ia lihat. Perempuan itu tertawa, memegang lengan Pradana tanpa ragu.


“Arin!”
Pradana melihatnya, tapi matanya hanya sekilas singgah di wajah Arini.
“Maaf, aku lupa bilang… aku nggak bisa lama. Ini Dira, temen kantor,” katanya sambil tersenyum.

Arini menelan ludah. “Oh… hai.”
Dira membalas ramah, lalu mengajak Pradana pergi.

Tidak ada “terima kasih” untuk es teh yang sudah mencair di tangannya. Tidak ada permintaan maaf karena membatalkan janji.


Bangku di samping Arini tetap kosong.
Dan di sana, ia menyadari satu hal: kadang, yang paling menyakitkan bukanlah kehilangan seseorang… tapi menyadari bahwa sejak awal, ia tidak pernah benar-benar punya tempat di sampingnya.


Malamnya, Nisa mengirim pesan.

“Arin, kamu nggak capek? Aku lihat kamu selalu ada buat dia, tapi dia nggak pernah lihat kamu.”

Arini mengetik jawaban: “Aku nggak nunggu dia lihat. Aku cuma mau dia bahagia.”
Tapi di ujung hatinya, ia tahu… setiap kali ia berkata seperti itu, dirinya semakin lelah.

Episode 6: Nama yang Menggores

Kantor Pradana sedang ramai sore itu. Arini datang membawa map berisi dokumen desain yang diminta untuk proyek komunitas kampus, alasan yang sengaja ia buat agar bisa bertemu Pradana.

Ia berdiri di dekat pintu, melihat Pradana sibuk berbicara dengan rekan-rekannya.
Di sampingnya… Dira.

Bukan hanya berdiri dekat, tapi mereka tampak berbagi sesuatu yang lebih dari sekadar rekan kerja. Tatapan itu. Senyum itu. Cara bahu mereka saling bersentuhan ketika menoleh ke arah yang sama.


“Eh, Arini, ya?” suara seorang karyawan memanggilnya. “Kamu temennya Mas Pradana?”
Arini tersenyum kecil. “Iya.”
“Kamu udah kenal Dira? Itu tunangannya Mas Pradana. Mereka mau nikah tahun depan, lho.”

Kata tunangannya jatuh seperti batu besar ke dadanya.
Arini berusaha tetap tersenyum, meski seluruh tubuhnya terasa dingin.

“Oh… iya, aku pernah ketemu,” jawabnya pelan.
Lidahnya seperti kaku. Napasnya terasa berat.


Pradana menghampiri.
“Arin, makasih udah bawain ini,” katanya sambil menerima map dari tangannya.
Tidak ada yang berubah di raut wajahnya—tidak ada rasa bersalah, tidak ada kesadaran bahwa di depan matanya, hati Arini baru saja robek menjadi dua.

Dira datang menyusul, menggandeng lengan Pradana sambil tersenyum ramah. “Makasih ya, Arini. Pradana sering cerita, kamu teman lamanya.”

Teman lama.
Arini hanya mengangguk.
Mereka pergi.


Sepulang dari kantor itu, hujan turun lagi.
Arini berdiri lama di halte, membiarkan air menetes di wajahnya, berharap orang-orang mengira itu hanya air hujan—bukan air mata.

Episode 7: Langkah yang Tertahan

Tiga hari berlalu sejak Arini mendengar kata itu—tunangannya.
Tiga hari sejak ia berdiri di halte, basah kuyup, sambil mencoba menenangkan detak jantungnya yang memukul-mukul seperti ingin pecah.

Di meja kerjanya, ponsel Arini berkedip.
Pesan dari Pradana:

“Arin, kamu lagi sibuk nggak? Aku butuh file desain yang dulu kamu buat.”

Arini menatap layar itu lama.
Satu bagian dari dirinya ingin membalas: “Maaf, aku sibuk.”
Tapi jarinya justru mengetik:

“Oke, aku kirim nanti siang.”


Nisa mengetuk pintu kamar kosnya sore itu. “Arin, kita harus ngomong.”
Arini mengangkat kepala dari laptop. “Tentang apa?”
“Kamu harus berhenti. Dia udah tunangan, Rin. Kamu cuma nyakitin diri sendiri.”

Arini menutup laptop pelan. “Aku tahu, Nis. Tapi… kalau aku berhenti, nanti aku nggak tahu lagi gimana caranya hidup tanpa dia di pikiranku.”

Nisa menghela napas. “Hidup tanpa dia itu nggak sesulit yang kamu kira. Yang susah itu percaya kalau kamu pantas bahagia tanpa dia.”


Malamnya, Arini menatap jendela kos. Hujan turun tipis, seperti bisikan.
Ia mencoba membayangkan hari-hari tanpa pesan dari Pradana, tanpa menunggu namanya muncul di notifikasi.
Dadanya sesak.

Ia menutup mata dan berjanji pada diri sendiri: “Besok aku akan mulai menjaga jarak.”

Tapi keesokan paginya, ia sudah berdiri di depan kantor Pradana, membawa kopi hitam tanpa gula—persis seperti yang ia tahu pria itu suka.

Episode 8: Membantu dari Bayang-Bayang

Pagi itu, kantor Pradana seperti sarang lebah yang gelisah.
Orang-orang mondar-mandir, wajah tegang, suara telepon berdering tanpa henti.

Dari balik kaca kafe seberang, Arini memperhatikan. Ia memang sengaja mampir sebelum berangkat ke tempat kerjanya sendiri—meski sebenarnya, ia sedang cuti.

Ia melihat Pradana duduk di mejanya, menatap layar laptop dengan wajah frustasi. Sesekali, ia memijit pelipis, lalu mengetik cepat.


Arini tahu masalah itu. Seminggu sebelumnya, ia mendengar dari seorang teman bahwa proposal penting kantor Pradana ditolak klien karena presentasinya kurang rapi. Dan hari ini, adalah tenggat terakhir revisi.

Tanpa berpikir panjang, Arini membuka laptopnya sendiri. Ia mencari file presentasi lama yang pernah ia buat untuk acara kampus, lalu mulai mendesain ulang sesuai kebutuhan proyek Pradana—meski ia tidak tahu pasti semua detailnya.

Jam menunjukkan pukul 10 malam ketika Arini akhirnya mengirim file itu ke email kantor Pradana, menggunakan alamat anonim.


Keesokan harinya, ia menerima pesan singkat dari Pradana:

“Rin! Proyeknya lolos. Presentasinya keren banget, entah siapa yang bantuin desainnya, tapi bener-bener nyelametin tim.”

Arini mengetik: “Seneng denger kabar baiknya.”
Ia menghapus niat untuk menulis: “Itu aku yang buat.”


Hari itu, Pradana menulis status di media sosialnya:

“Tim terbaik! Kalian luar biasa!”

Tidak ada namanya di sana.
Tidak akan pernah ada.


Di kamar kos, Arini tersenyum tipis sambil menatap langit-langit.
Rasanya aneh—bahagia sekaligus hampa.
Ia menyadari, menjadi seseorang yang ada di balik layar itu seperti menjadi lilin: menerangi, tapi perlahan meleleh habis.

Episode 9: Tamu yang Tak Diundang

Sabtu sore, Arini menerima pesan dari Pradana:

“Rin, lagi sibuk nggak? Main ke rumah, ada yang mau aku kenalin.”

Hatinya berdebar.
Ia mencoba menenangkan diri—mungkin ini soal acara reuni, pikirnya. Atau… mungkin hanya ingin bertemu sebagai teman.

Dengan dress sederhana dan tas kecil, Arini datang ke rumah Pradana. Pintu terbuka, aroma masakan menyambutnya.


“Arin! Masuk.”
Pradana menyapanya dengan senyum lebar. Dan di sampingnya, berdiri Dira—tanpa blazer kantor, tanpa make up berlebihan. Kali ini ia hanya mengenakan apron, tangannya masih memegang sendok kayu.

“Ini Dira,” kata Pradana, bangga. “Tunanganku.”

Kata itu menusuk telinga Arini, meski ia sudah mendengarnya sebelumnya.
“Hai, Arini,” sapa Dira ramah. “Pradana sering cerita tentang kamu. Duduk, ya. Aku bikin teh.”


Mereka duduk bertiga.
Obrolan mengalir—tentang kerjaan, tentang acara nikah yang sedang mereka persiapkan, tentang rencana bulan madu. Arini tersenyum, mengangguk, sesekali memberi komentar ringan.

Tapi di balik semua itu, tangannya mencengkram tas di pangkuannya.
Ia takut, kalau tidak begitu, ia akan meremas hatinya sendiri.


“Rin, nanti kamu datang ke pernikahan kami, ya,” kata Dira sambil menuang teh.
Tentu saja Arini menjawab, “Pasti.”
Suara itu terdengar mantap, tapi di dalamnya, ada suara lain yang berbisik: “Kalau aku sanggup.”


Sore itu, ketika pulang, Arini berjalan kaki lebih lama dari biasanya.
Langkahnya pelan, seakan berharap waktu juga ikut melambat—supaya ia tidak cepat sampai di tempat di mana ia harus kembali sendirian.

Episode 10: Retak yang Tak Terlihat

Arini duduk di meja kerja, menatap layar laptop yang berisi tugas kampus dan pekerjaan magangnya.
Namun pikirannya melayang ke tempat lain—ke tawa Pradana dan Dira di rumah itu, ke janji yang diucapkan tanpa bisa ia penuhi.

Malamnya, ia sulit tidur.
Suara hujan di jendela menjadi irama sedih yang mengiringi kesendiriannya.


Hari-hari berlalu, tapi Arini semakin sering merasa lelah tanpa alasan jelas.
Teman-teman mulai bertanya, “Kamu kenapa, Rin? Kok kelihatan capek banget?”
Arini hanya tersenyum tipis dan menjawab, “Biasa aja, banyak kerjaan.”

Tapi di balik itu, hatinya mulai retak.


Di kelas, Arini kehilangan fokus.
Saat presentasi, ia tergagap, suara bergetar.
Ia yang dulu selalu ceria, kini mulai sering menghilang dalam diam.


Suatu sore, Nisa duduk di sampingnya di taman kampus.
“Kamu harus jujur sama diri sendiri, Arin,” katanya lembut.
“Kamu nggak bisa terus-terusan jadi bayang-bayang seseorang.”

Arini mengangguk, tapi air mata jatuh tanpa bisa ditahan.
Ia merasa seperti kaca yang pecah perlahan—retak, tapi sulit untuk diperbaiki.


Ia tahu, harus ada titik di mana ia berhenti mencintai tanpa balasan.
Tapi hatinya… belum sanggup melepaskan.

Episode 10: Retak yang Tak Terlihat

Arini duduk di meja kerja, menatap layar laptop yang berisi tugas kampus dan pekerjaan magangnya.
Namun pikirannya melayang ke tempat lain—ke tawa Pradana dan Dira di rumah itu, ke janji yang diucapkan tanpa bisa ia penuhi.

Malamnya, ia sulit tidur.
Suara hujan di jendela menjadi irama sedih yang mengiringi kesendiriannya.


Hari-hari berlalu, tapi Arini semakin sering merasa lelah tanpa alasan jelas.
Teman-teman mulai bertanya, “Kamu kenapa, Rin? Kok kelihatan capek banget?”
Arini hanya tersenyum tipis dan menjawab, “Biasa aja, banyak kerjaan.”

Tapi di balik itu, hatinya mulai retak.


Di kelas, Arini kehilangan fokus.
Saat presentasi, ia tergagap, suara bergetar.
Ia yang dulu selalu ceria, kini mulai sering menghilang dalam diam.


Suatu sore, Nisa duduk di sampingnya di taman kampus.
“Kamu harus jujur sama diri sendiri, Arin,” katanya lembut.
“Kamu nggak bisa terus-terusan jadi bayang-bayang seseorang.”

Arini mengangguk, tapi air mata jatuh tanpa bisa ditahan.
Ia merasa seperti kaca yang pecah perlahan—retak, tapi sulit untuk diperbaiki.


Ia tahu, harus ada titik di mana ia berhenti mencintai tanpa balasan.
Tapi hatinya… belum sanggup melepaskan.

Episode 12: Fajar Baru

Minggu pagi yang cerah, Arini berjalan santai di taman kota.
Udara segar menusuk paru-parunya, mengusir sisa-sisa kelabu dalam hatinya.

Di sebuah bangku, seorang pria duduk sambil membaca buku.
Matanya bertemu dengan Arini, lalu tersenyum ramah.

“Pagi,” sapanya sederhana.

Arini membalas, “Pagi.”
Sebuah percakapan kecil pun mengalir—tentang cuaca, tentang buku, tentang mimpi.


Hari-hari berlalu, pertemuan itu berubah jadi rutinitas.
Arini merasa ada sesuatu yang berbeda—ringan, hangat, dan… nyata.
Bukan bayangan, bukan harapan yang menjerat, tapi kehadiran yang menyentuh hati perlahan.


Suatu sore, ia duduk di tepi danau, memandangi air yang berkilau diterpa sinar matahari.
“Ini awal yang baru,” pikirnya.
“Aku berhak bahagia.”


Malamnya, Arini menulis di jurnalnya:
“Aku belajar mencintai diriku sendiri dulu, sebelum mencintai orang lain. Dan aku siap membuka hati, untuk cinta yang sebenarnya.”


Langkah kecil itu mengantarkan Arini ke fajar baru—cahaya yang selama ini ia cari, ternyata sudah ada dalam dirinya.

Episode 13: Awal dari Sebuah Cerita

Musim semi mulai menyapa kampus dengan bunga-bunga bermekaran.
Arini duduk di bangku taman, kali ini bukan sendirian.

Di sebelahnya, pria dari taman kota itu—Raka namanya—tersenyum sambil menyerahkan sebuah buku catatan.
“Ini buat kamu. Sebuah cerita baru, untuk halaman baru,” katanya lembut.

Arini menerima dengan mata berbinar.
Ia tahu, ini bukan hanya tentang buku, tapi tentang babak baru dalam hidupnya.


“Terima kasih, Raka,” ucap Arini pelan.
Raka menggenggam tangan Arini sebentar.
“Kita mulai cerita ini bersama, ya?”

Arini mengangguk, merasakan hangat yang belum pernah ia rasakan sejak lama.


Dalam dirinya, ada keberanian untuk mencintai lagi—tanpa takut terluka, tanpa harus menjadi bayang-bayang.


Sore itu, di bawah langit jingga, Arini menyadari satu hal:
Kadang, cinta sejati dimulai dari keberanian untuk mencintai diri sendiri dulu.


Cerita Arini belum selesai.
Tapi untuk kali ini, ia memilih melangkah maju dengan hati yang baru

Episode 14: Senja dan Harapan

Hari itu, matahari mulai turun perlahan di ufuk barat.
Arini berdiri di balkon kampus, memandangi warna langit yang berubah jadi oranye dan ungu.

Ia mengingat semua perjalanan yang telah dilalui:
Hari-hari penuh harap yang tak berbalas, air mata yang jatuh tanpa diketahui, dan luka yang perlahan sembuh.


Raka datang menghampiri, membawa dua gelas teh hangat.
“Kamu suka teh, kan?” tanyanya sambil menyerahkan satu gelas.

Arini tersenyum. “Iya. Terima kasih sudah ada.”


“Kadang, kita harus kehilangan sesuatu dulu supaya bisa menemukan sesuatu yang lebih berharga,” kata Raka lembut.

Arini mengangguk, menatap mata pria itu.
Ia merasa damai—bukan karena tak ada luka, tapi karena ia sudah belajar untuk menerima dan terus melangkah.


Malam itu, Arini menulis di jurnalnya:
“Aku tidak bodoh karena mencintai dengan tulus. Aku kuat karena aku belajar melepaskan dan memilih bahagia.”


Di bawah langit senja yang hangat, cerita Arini menemukan harapan baru.
Sebuah babak yang bukan tentang kehilangan, tapi tentang menemukan diri dan cinta yang sejati.


Tamat



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh