Hujan yang Membawa Nama
Hujan yang Membawa Nama
Prolog
Hujan turun lagi malam ini.
Butirannya jatuh dari langit, menari di genteng, menetes di kaca jendela, dan mengetuk memoriku yang sudah lama berkarat.
Bagi sebagian orang, hujan hanyalah air. Tapi bagiku, hujan selalu membawa nama.
Nama itu… Aruna.
Bab 1: Pertemuan di Bawah Payung
Halte bus sore itu penuh sesak. Orang-orang berdesakan, menunggu hujan reda. Aku berdiri di ujung, memegang payung yang masih terlipat.
Di sudut halte, seorang gadis duduk sambil menutupi kepalanya dengan buku tipis. Rambutnya basah, menempel di pipi. Wajahnya pucat, tapi ada sesuatu yang membuatku tak bisa mengalihkan pandangan.
Aku ragu beberapa detik, lalu melangkah mendekat.
“Kalau kamu nggak keberatan, kita bisa berbagi payung.”
Gadis itu mengangkat wajah. Matanya bening, seakan menampung sisa-sisa hujan. Ia tersenyum kecil.
“Terima kasih. Namaku Aruna.”
Sejak hari itu, hujan tak pernah lagi terasa sepi.
Bab 2: Rahasia di Balik Gerimis
Kami sering bertemu setelah kejadian di halte. Anehnya, hampir selalu saat hujan.
Kadang di perpustakaan kampus, kadang di kafe kecil dekat jalan raya, kadang di bawah pohon flamboyan yang daunnya berjatuhan.
“Aneh ya, kita selalu ketemu pas hujan,” kataku suatu sore.
Aruna tersenyum, menatap jendela yang dipenuhi butiran air.
“Mungkin karena aku cuma suka keluar rumah kalau hujan.”
Aku tertawa pelan. “Bukannya orang biasanya malah ngeluh kalau hujan?”
“Justru itu,” ia menatapku, suaranya lirih. “Hujan bisa nyembunyiin air mata. Nggak ada yang tahu kalau kita nangis.”
Aku terdiam. Ada sesuatu dalam ucapannya yang terasa lebih dalam dari sekadar candaan.
Bab 3: Janji pada Langit
Malam itu hujan turun deras, seolah langit sedang merobek dirinya sendiri. Aku berlari ke taman kecil dekat rumah karena mendapat pesan singkat dari Aruna:
“Aku di sini. Datanglah.”
Di bawah lampu jalan yang redup, aku menemukannya berdiri tanpa payung. Bajunya basah kuyup, wajahnya menatap langit seakan mencari jawaban.
“Aruna! Kamu bisa sakit kalau begini!” seruku panik.
Dia menoleh, tersenyum samar. “Raka…” suaranya nyaris tenggelam oleh hujan.
“Kalau suatu hari aku pergi… janji, setiap kali hujan turun, kamu akan ingat aku.”
Aku menggenggam tangannya erat, mencoba menghapus kegelisahan di wajahnya.
“Kenapa ngomong begitu? Kamu nggak akan pergi ke mana-mana!”
Tapi Aruna hanya tersenyum. Senyum yang membuat dadaku sesak.
“Hanya janji saja. Untuk berjaga-jaga.”
Bab 4: Lagu di Bawah Atap Seng
Hari itu hujan turun deras, dan aku serta Aruna berteduh di sebuah warung kecil pinggir jalan. Atap sengnya berisik, dihantam air dari langit.
Aku iseng mengambil gitar tua yang digantung di dinding warung. “Boleh aku main sedikit?” tanyaku pada pemilik warung. Ia mengangguk.
Jari-jariku memetik nada sederhana. Aruna menatapku, lalu tersenyum tipis.
“Kamu bisa main gitar?”
“Sedikit. Biasanya cuma buat ngisi waktu.”
Tanpa kusangka, Aruna ikut bernyanyi. Suaranya lembut, agak serak, tapi justru itu yang membuatnya terasa hangat. Saat ia bernyanyi, hujan di luar terdengar seolah jadi musik pengiring.
Aku menatapnya lama. Ada rasa yang tak bisa kujelaskan—seperti hujan yang jatuh tanpa bisa dicegah.
Bab 5: Senja dan Rahasia
Sore itu, kami duduk di bangku taman kampus. Gerimis turun, tipis saja.
“Aruna,” panggilku. “Kenapa sih kamu selalu suka hujan?”
Dia tersenyum, menunduk. “Karena hujan itu adil. Semua orang sama-sama basah.”
Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi sebelum sempat, wajahnya berubah pucat. Tangannya gemetar, seakan kehilangan tenaga.
“Aruna! Kamu kenapa?” aku panik, mencoba menopangnya.
Dia buru-buru menggeleng. “Aku nggak apa-apa… cuma pusing sedikit.”
Namun di matanya, ada kilatan yang berbeda. Rahasia yang belum mau ia ceritakan.
Bab 6: Jejak Air Mata di Balik Jendela
Beberapa hari kemudian, aku pergi ke rumah Aruna. Hujan turun deras, dan ibunya yang membuka pintu.
“Oh, kamu Raka, ya? Aruna lagi di kamar.”
Aku mengangguk, lalu berjalan ke arah kamar itu.
Ketika pintu terbuka, aku melihat Aruna duduk di tepi jendela. Wajahnya basah, entah karena hujan yang menyelinap atau… air mata.
“Runa…” panggilku pelan.
Ia buru-buru menyeka wajahnya. “Kamu datang? Maaf, aku nggak bisa keluar hari ini.”
Aku mendekat, duduk di sampingnya. “Kalau ada yang ganggu kamu, bilang aja. Aku bisa dengerin.”
Aruna tersenyum pahit. “Kalau aku cerita… kamu janji nggak akan pergi?”
“Janji.”
Dia menatapku lama, seolah mencari keberanian. Tapi akhirnya, ia hanya menggeleng. “Nanti saja. Bukan sekarang.”
Di luar, hujan semakin deras. Dan di dalam, rahasia itu semakin menekan dadaku.
Bab 7: Bayangan di Tengah Hujan
Malam itu aku bermimpi. Hujan turun deras, dan aku berlari mencari Aruna. Tapi setiap kali hampir menyentuhnya, ia memudar, hilang di balik kabut.
Aku terbangun dengan napas tersengal.
Entah mengapa, firasatku buruk.
Keesokan harinya, aku mencoba menghubungi Aruna, tapi pesannya hanya singkat:
“Maaf, Raka. Aku butuh waktu sendiri.”
Aku berdiri lama di depan jendela, menatap hujan yang jatuh tanpa henti. Ada sesuatu yang ia sembunyikan, sesuatu yang membuatku takut kehilangan lebih cepat daripada yang seharusnya.
Bab 8: Rahasia Terbongkar
Hari itu aku memutuskan untuk menunggu Aruna di depan rumahnya. Hujan turun deras, tapi aku tak peduli.
Ketika pintu terbuka, aku kaget melihat ibunya. Wajahnya tampak letih, matanya sembab.
“Kamu Raka, ya?” suaranya bergetar. “Aruna sedang di rumah sakit.”
Aku tercekat. Dunia serasa berhenti.
“Kenapa…?!”
Beberapa jam kemudian, aku menemukan Aruna di ruang rawat. Ia terbaring, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum melihatku.
“Raka… kamu datang.”
Aku menelan ludah, menahan emosi. “Kenapa kamu nggak pernah bilang?”
Aruna menatap langit-langit. “Karena aku nggak mau kamu kasihan sama aku.”
Air mataku hampir jatuh. Kini aku tahu: Aruna mengidap penyakit jantung bawaan yang parah.
Bab 9: Keputusan Berat
Sejak hari itu, aku selalu menemani Aruna. Mengajaknya membaca buku, mendengarkan musik, bahkan hanya duduk diam sambil mendengar suara hujan di luar jendela rumah sakit.
Tapi keluarganya mulai khawatir. Suatu malam, ayah Aruna memanggilku.
“Raka,” suaranya tegas tapi penuh kepedihan. “Kau anak baik. Tapi Aruna butuh ketenangan. Jangan sampai dia makin terikat, lalu terluka lebih dalam kalau… sesuatu terjadi.”
Kata-kata itu menusukku lebih tajam daripada hujan yang paling deras.
Aku ingin melawan. Aku ingin bilang bahwa aku tidak akan pergi, apa pun yang terjadi. Tapi tatapan ayah Aruna membuatku ragu.
Bab 10: Pertemuan yang Menyakitkan
Aku bertemu Aruna di taman rumah sakit. Hujan turun rintik-rintik, membuat tanah beraroma basah.
“Raka,” katanya pelan. “Kalau kamu capek, kamu boleh berhenti. Kamu nggak harus selalu ada di sini.”
Aku menatapnya tajam. “Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Aku di sini karena aku mau, bukan karena kewajiban.”
Aruna tersenyum pahit. “Aku nggak mau jadi beban buatmu.”
“Beban? Aruna, kamu itu alasanku bertahan. Tanpa kamu, apa yang tersisa buat aku?”
Matanya berkaca-kaca. Tapi ia tetap berusaha kuat.
“Kalau suatu hari aku nggak ada… kamu harus tetap hidup. Janji, Raka.”
Aku menggenggam tangannya erat. “Jangan bicara begitu. Selama aku bisa, aku akan terus di sisimu.”
Di atas kami, hujan turun makin deras, seakan ikut menangisi percakapan itu
Bab 11: Malam Terakhir Bersama Hujan
Hujan deras mengguyur kota malam itu. Angin berhembus kencang, membuat daun-daun berjatuhan seperti serpihan ingatan.
Aku menerima pesan dari Aruna. Singkat saja:
“Temui aku di taman.”
Aku berlari tanpa payung. Tubuhku basah kuyup, tapi aku tidak peduli. Di bawah lampu jalan yang temaram, aku melihatnya berdiri. Rambutnya basah, wajahnya pucat, tapi senyum itu masih sama—senyum yang selalu membuatku lemah.
“Aruna!” aku menghampirinya, menggenggam tangannya yang dingin. “Kenapa keluar malam-malam begini? Kamu bisa sakit!”
Ia menatapku lama, seakan ingin menghafal setiap detail wajahku.
“Raka… terima kasih. Karena kamu, hujan selalu terasa hangat.”
Dadaku sesak. “Jangan ngomong begitu… kita masih bisa—”
“Tidak.” Ia menggeleng, air mata bercampur dengan hujan. “Aku sudah tahu waktuku tidak lama. Aku hanya ingin satu hal terakhir…”
“Apa?” suaraku bergetar.
Aruna tersenyum tipis. “Janji… setiap kali hujan turun, kamu akan ingat aku. Jangan lupakan namaku.”
Aku memeluknya erat, seakan ingin menahan waktu agar berhenti di sana. Tapi hujan tetap jatuh, dan waktu tetap berjalan.
Malam itu, untuk terakhir kalinya, aku merasa benar-benar hidup di bawah hujan bersama Aruna.
Bab 12: Hujan yang Membawa Nama (Epilog)
Tahun-tahun telah berlalu. Aku sudah dewasa, bekerja, hidup seperti manusia pada umumnya. Tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah: hujan.
Setiap kali hujan turun, aku selalu berhenti sejenak. Menutup mata, mendengarkan suara air yang jatuh, dan di dalam derasnya, aku masih bisa mendengar suara itu—
suara Aruna, yang memanggil namaku lembut.
Aku menepati janji.
Aruna mungkin telah pergi, tapi hujan selalu membawanya kembali.
Dan sampai kapan pun, setiap hujan turun, aku akan tersenyum sambil berbisik:
“Aruna… aku masih di sini.”
🌧️ TAMAT 🌧️
Komentar
Posting Komentar