Jejak di Balik Kabut

 Jejak di Balik Kabut


Sinopsis:

Ketika sebuah desa kecil selalu diselimuti kabut pekat setiap malam, hilangnya beberapa penduduk menimbulkan ketakutan. Tiara, seorang jurnalis muda yang kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun, mulai mencurigai bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar legenda lama tentang "Penjaga Kabut".

Namun semakin dalam ia menyelidiki, semakin banyak rahasia lama terbongkar—termasuk rahasia keluarganya sendiri.

Bab 1 – Kembali ke Sukamaya:

Kabut turun lebih cepat malam itu. Jalan setapak menuju desa nyaris tak terlihat, hanya diterangi lampu senter kecil di tangan Tiara. Ia menarik napas panjang, aroma tanah basah bercampur dingin menusuk paru-paru.

Sudah sepuluh tahun ia meninggalkan desa ini, tapi bisikan warga masih sama:
"Jangan keluar saat kabut turun."

Tiara hanya tersenyum miris. Ia tak percaya pada mitos. Namun langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di tanah: jejak kaki kecil, basah, mengarah ke hutan.

Jejak itu berhenti mendadak, seolah pemiliknya lenyap begitu saja.

Bab 2 – Bisikan Lama

Tiara tiba di rumah peninggalan orang tuanya. Dinding kayu berderit setiap kali angin malam menerpa. Ia menyalakan lampu minyak, menatap foto lama keluarganya yang masih tergantung di ruang tamu.

“Tiara?”
Suara berat itu membuatnya terlonjak. Arman berdiri di depan pintu, masih mengenakan seragam polisi desa. Senyumnya samar, seolah lega sekaligus canggung.

“Kau kembali di waktu yang salah,” kata Arman.
“Maksudmu?”
“Dua orang hilang minggu ini. Sama seperti dulu.”

Tiara mengernyit. “Seperti dulu? Kau bicara soal legenda itu?”
Arman tidak menjawab. Ia hanya menatap jendela yang dipenuhi kabut, lalu menutup gorden dengan cepat.


Bab 3 – Hutan Pinus

Keesokan paginya, Tiara mengikuti jejak yang ia lihat semalam. Jejak kaki kecil itu membawanya ke dalam hutan pinus. Udara lembap, suara ranting patah terdengar di kejauhan.

Di balik kabut tipis, Tiara menemukan sesuatu: sebuah pita merah tergantung di dahan rendah. Masih baru, basah oleh embun.

Tiba-tiba, suara anak kecil terdengar lirih:
“Bantu aku…”

Tiara memutar tubuhnya. Tak ada siapa pun. Hanya kabut yang semakin menebal.


Bab 4 – Catatan Lama

Malam itu, Tiara menemukan kotak kayu di gudang rumahnya. Di dalamnya ada buku catatan milik ayahnya. Halaman-halaman berisi coretan aneh: peta desa, tanda silang merah di hutan, dan catatan terakhir berbunyi:

"Mereka datang bersama kabut. Jangan percaya siapa pun."

Belum sempat ia mencerna, terdengar ketukan keras di pintu.
Tiga kali.
Lalu sunyi.


Bab 5 – Rahasia Bu Ratna

Tiara mendatangi rumah kepala desa. Bu Ratna menyambutnya dengan ramah, tapi sorot matanya dingin.

“Ayahmu terlalu banyak tahu,” ucap Bu Ratna pelan, seolah membaca isi kepala Tiara.
Tiara tercekat. “Apa maksudmu?”
Bu Ratna hanya tersenyum samar.
“Jika kau ingin tetap hidup, berhentilah menggali.”

Sebelum Tiara sempat bertanya lagi, suara gong desa tiba-tiba berdentum. Pertanda satu hal: seseorang hilang lagi malam ini.


Bab 6 – Sosok di Kabut

Tiara dan Arman ikut dalam pencarian. Mereka menyusuri jalan setapak, membawa obor.

Di tengah kabut pekat, Tiara melihat sosok tinggi berdiri di ujung jalan. Tubuhnya kurus, wajah tak terlihat, hanya siluet samar dengan mata merah menyala.

“Arman… kau lihat itu?”
Namun ketika ia menoleh, Arman justru tampak pucat.
“Tiara… jangan menatapnya…”

Sosok itu bergerak mendekat perlahan, kabut berputar di sekelilingnya.

Bab 7 – Hilangnya Raka

Gong desa berdentum tiga kali. Semua warga berlari ke balai desa. Suasana riuh, wajah-wajah panik, terutama seorang ibu yang menangis histeris.

“Anakku… Raka… dia belum pulang!”

Tiara tercekat. Nama itu terdengar familiar—Raka, bocah yang sering ia temani bermain dulu sebelum ia pindah ke kota.

Arman mencoba menenangkan warga, tapi sorot matanya gelisah. “Kita bentuk tim pencarian. Jangan berpencar.”

Namun, Tiara merasakan sesuatu. Raka hilang bukan karena tersesat. Ada pola di balik semua ini.


Bab 8 – Peringatan di Jendela

Malam itu, Tiara terbangun karena suara ketukan di jendela kamarnya. Pelan, berirama… tok… tok… tok…

Ia ragu mendekat, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutan. Ketika tirai ia singkap, jantungnya hampir berhenti.

Di balik kaca yang berembun, ada tulisan samar dengan jari:
“Jangan ikut campur.”

Tiara mundur ketakutan. Tapi yang membuatnya lebih merinding adalah kenyataan: kamarnya ada di lantai dua. Tak mungkin ada orang bisa menulis di sana tanpa tangga.


Bab 9 – Jejak Darah

Keesokan paginya, pencarian Raka dimulai. Tiara ikut bersama Arman. Mereka menyusuri tepian danau yang diselimuti kabut tipis.

Di tanah becek, Tiara menemukan setitik darah. Lalu bercak lain, membentuk jejak yang memanjang ke hutan pinus.

“Arman, lihat ini!”
Namun sebelum Arman sempat mendekat, seekor burung gagak tiba-tiba jatuh dari langit, mati tepat di depan mereka.

Tiara menelan ludah. Burung itu mati tanpa luka. Seolah… kehabisan napas dalam sekali hisap.


Bab 10 – Suara di Gereja Tua

Sore menjelang malam, Tiara menuju gereja tua di pinggir desa—tempat yang sudah lama ditinggalkan. Ia teringat catatan ayahnya: tanda silang merah di peta ada tepat di lokasi itu.

Begitu melangkah masuk, lantai kayu berderit keras. Suasana lembap, bau kayu lapuk bercampur debu. Di dalam, ada altar retak dan kaca jendela berwarna yang pecah separuh.

Saat ia menyalakan senter, terdengar suara lirih.
“Tiara…”

Ia berbalik cepat. Tak ada siapa pun.
Namun bayangan hitam melintas di dinding, bergerak menuju ruang bawah tanah.

Tiara gemetar, tapi kakinya seolah tak bisa berhenti melangkah.

Bab 11 – Ruang Bawah Tanah

Tiara nekat mengikuti bayangan ke ruang bawah tanah gereja. Di sana, ia menemukan ruangan penuh simbol aneh di dinding, bercampur dengan nama-nama orang desa yang sudah lama hilang.

Di pojok ruangan, ada sebuah lonceng tua berkarat. Pada gagangnya tertulis:
"Saat kabut berdentum, jiwa terhitung."


Bab 12 – Arman Menyembunyikan Sesuatu

Tiara menunjukkan temuannya pada Arman. Namun Arman justru tampak gugup, seolah ingin menutupi sesuatu.

“Tiara, hentikan penyelidikanmu. Ini bukan urusanmu.”
“Bukan urusanku? Anak-anak hilang, Arman! Termasuk Raka!”

Arman terdiam, lalu berkata pelan:
“Kalau kau tahu kebenarannya… mungkin kau tak akan sanggup menerimanya.”


Bab 13 – Kembalinya Kabut Tebal

Kabut malam itu lebih pekat dari biasanya. Desa seperti terkunci dalam tirai putih. Suara gong terdengar lagi—tapi kali ini, tidak ada yang memukulnya. Gong itu berdentum sendiri.

Penduduk panik. Tiara melihat bayangan sosok tinggi bermata merah di tepi balai desa. Tapi anehnya, hanya dia yang melihatnya.


Bab 14 – Kebenaran Tentang Ayah

Tiara kembali membuka catatan ayahnya, menyusun potongan tanda silang merah di peta. Ia menyadari satu hal mengejutkan: semua tanda itu adalah lokasi orang hilang… termasuk tempat terakhir ayahnya terlihat sebelum meninggal.

Bu Ratna mendatangi Tiara diam-diam malam itu.
“Ayahmu dulu bagian dari mereka, Tiara. Dia mencoba keluar, tapi kau tahu sendiri akibatnya.”


Bab 15 – Pengorbanan

Arman akhirnya mengaku: setiap kali kabut datang, desa harus menyerahkan seorang “tumbal” agar sosok penjaga kabut tidak mengambil semuanya.

“Itu sudah perjanjian lama, Tiara. Kalau tidak… seluruh desa akan binasa.”

Tiara marah. “Kalian mengorbankan anak-anak demi bertahan hidup?!”

Arman menunduk. “Kalau aku tidak ikut menjaga, mereka akan memilihmu yang berikutnya.”


Bab 16 – Raka di Antara Kabut

Saat pencarian lanjutan, Tiara mendengar suara Raka memanggil namanya. Ia berlari ke hutan pinus dan benar: bocah itu berdiri di antara kabut, tampak pucat dan linglung.

Namun saat Tiara mencoba mendekat, Raka berkata:
“Pergi… mereka mengikutimu…”

Dari balik kabut, siluet sosok tinggi bermata merah kembali muncul. Kali ini lebih dekat.


Bab 17 – Konfrontasi di Balai Desa

Tiara memaksa Bu Ratna menjelaskan kebenaran. Bu Ratna akhirnya mengaku:
“Penjaga Kabut itu nyata. Dulu, ayahmu mencoba menghentikan ritual, tapi gagal. Kini siklus itu kembali.”

Tiara menolak. “Tidak. Aku akan buktikan kalau ini hanya akal-akalan kalian!”

Namun tiba-tiba, gong desa berdentum lagi—dan kabut menyelimuti seluruh ruangan.


Bab 18 – Ritual Tersembunyi

Tiara mendapati dirinya berada di gereja tua bersama beberapa tetua desa. Di sana, sebuah ritual kuno tengah berlangsung—lonceng tua dibunyikan, dan nama-nama korban dibacakan.

Yang membuatnya terkejut: nama berikutnya yang dibacakan adalah… namanya sendiri.


Bab 19 – Pengkhianatan Arman

Tiara menatap Arman dengan kekecewaan. “Jadi… kau bagian dari mereka?”

Arman gemetar. “Aku hanya ingin melindungimu. Kalau aku tidak menyerahkan namamu… desa akan memilihmu juga. Setidaknya dengan cara ini, aku bisa menyelamatkan Raka.”

Air mata Tiara jatuh. “Kau menghianatiku… demi menyelamatkan orang lain?”

Namun sebelum ritual selesai, kabut bergerak liar. Sosok bermata merah muncul, mengamuk, seolah marah karena perjanjian dilanggar.


Bab 20 – Jejak Terakhir

Tiara berlari ke altar dan membunyikan lonceng tua dengan sekuat tenaga. Kabut bergetar, suara jeritan menggema dari segala arah.

Dalam kilatan cahaya, ia melihat sekilas wajah ayahnya—tersenyum, lalu lenyap bersama kabut. Sosok penjaga pun menghilang.

Desa kembali tenang. Namun tubuh Arman tergeletak di tanah, tanpa nyawa, seakan menjadi pengganti tumbal terakhir.

Tiara berdiri di tepi hutan pinus, menatap pita merah yang kini terbakar di tangannya. Ia tahu, kabut sudah pergi… untuk sementara.

Di buku catatan ayahnya, halaman terakhir kini terisi sendiri dengan tulisan samar:
“Siklus akan selalu kembali. Jejak mereka tetap ada.”




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh