Langkah yang Tertinggal
Langkah yang Tertinggal
Judul: "Langkah yang Tertinggal"
Bab 1: Senja Terakhir di Stasiun Itu
Hujan turun perlahan, membasahi peron stasiun yang lengang. Di antara langkah-langkah terburu para penumpang, aku berdiri diam, memeluk jaket yang tak lagi mampu menghangatkan dada yang dingin oleh kenyataan.
Kau berdiri di hadapanku. Matamu tak sepenuhnya menatapku, lebih sering melirik ke arah layar jadwal keberangkatan. Tapi aku tahu, kau menghindari pandanganku karena tak ingin hatimu runtuh sebelum waktunya.
“Kamu yakin... nggak bisa tinggal lebih lama?” tanyaku, nyaris seperti bisikan.
Kau tersenyum. Senyum yang dulu membuatku jatuh cinta—kini menjadi pisau tumpul yang tetap berhasil mengiris.
“Kalau aku bisa, aku pasti tinggal,” jawabmu pelan. “Tapi hidup nggak selalu soal keinginan, kan?”
Kereta datang tepat waktu. Peluit panjang menggema, seperti aba-aba bahwa waktuku bersamamu benar-benar habis.
Aku ingin memelukmu. Tapi aku tahu, jika kulakukan itu, aku mungkin tak akan bisa melepaskan.
Kau melangkah masuk, meninggalkan satu koper kenangan dan sejuta kata yang tak sempat terucap.
Saat pintu kereta tertutup dan kau hanya tinggal bayangan di balik kaca, aku tahu: tidak semua cinta harus memiliki akhir yang bahagia. Ada cinta yang cukup dengan dikenang, meski tak bisa dimiliki.
Dan aku... aku akan belajar hidup dengan langkah yang tertinggal itu.
Bab 2: Setelah Kau Pergi
Sejak hari itu, stasiun menjadi tempat yang kuhindari. Bukan karena takut terlambat naik kereta, tapi karena di sana, aku pernah kehilangan seseorang yang tak bisa kutunggu lagi.
Hidup berjalan, katanya. Tapi tak ada yang memberitahu bagaimana caranya berjalan tanpa arah. Aku bekerja seperti biasa, menyeduh kopi yang sama, menyapa orang yang sama. Tapi senyumku kini punya jarak. Semua terasa seperti formalitas; rutinitas tanpa rasa.
Di kamar, masih ada sisa-sisa keberadaanmu. Mug bergambar kucing yang dulu kau tinggalkan. Bantal yang selalu kupeluk karena aromamu masih tersisa samar. Playlist lagu favoritmu yang selalu muncul saat aku mengaktifkan shuffle—seolah semesta pun belum siap untuk melupakanmu.
Setiap malam, aku duduk di dekat jendela. Menatap lampu-lampu kota yang tak pernah benar-benar padam. Sama seperti rindu ini. Ia menyala terus, walau tak lagi punya tempat untuk kembali.
Hari-hariku dipenuhi kalimat-kalimat tak selesai. Aku sering berbicara sendiri, seolah kau masih duduk di seberang meja makan. Kadang aku ingin menulis surat, tapi tak tahu ke mana harus kukirim.
Kau di kota lain kini. Mengejar mimpi, seperti yang pernah kita rancang bersama—bedanya, kali ini kau melangkah tanpa aku.
Dan aku… sedang belajar menerima bahwa kadang, cinta tak harus berjalan berdampingan. Kadang, cinta hanya cukup untuk mendoakan dari kejauhan.
Tapi malam-malam ini terasa lebih dingin, lebih sepi. Karena setelah kau pergi, aku bukan lagi aku yang sama.
Bab 3: Pelan-pelan Aku Belajar Lagi
Hari-hari setelah kepergianmu adalah rangkaian perjuangan. Bukan perjuangan melawan dunia, tapi melawan diriku sendiri. Melawan rasa ingin menghubungimu. Melawan dorongan untuk mencari tahu kabarmu lewat sosial media. Melawan pikiran “bagaimana kalau kita masih bersama?”
Sore itu, aku duduk di kafe yang baru buka tak jauh dari tempat kerja. Tempat itu terasa asing, dan mungkin itu yang aku butuhkan—tempat tanpa kenanganmu.
Pelayan datang dengan senyum ramah, menanyakan pesananku. Aku menunjuk menu acak, tak benar-benar peduli rasa apa yang akan kuterima. Yang penting, aku duduk di tempat yang tak kau kenal. Di ruang yang tak pernah kau datangi.
Dari sudut ruangan, kulihat seorang perempuan muda sedang menulis di laptopnya. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, matanya fokus, seperti tak peduli dunia luar. Aku iri—bukan pada keberadaannya, tapi pada ketenangannya.
Aku ingin bisa seperti itu—hidup tanpa beban dari yang telah pergi.
Tiba-tiba, ponselku bergetar.
Pesan dari: Ibu
"Nak, kamu baik-baik saja? Ibu lihat kamu jarang pulang. Jangan terlalu banyak menyendiri, ya."
Aku terdiam. Rasanya sudah lama aku tak benar-benar menjawab pertanyaan semacam itu dengan jujur. Aku ingin bilang, "aku tidak baik-baik saja." Tapi akhirnya hanya kutulis:
“Aku baik, Bu. Terima kasih.”
Kebohongan kecil yang kupakai agar orang-orang berhenti khawatir.
Di luar jendela, langit mulai berwarna jingga. Senja lagi—waktu yang dulu paling sering kita nikmati bersama.
Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, aku tak merasa hancur saat melihatnya.
Mungkin... mungkin aku sedang mulai belajar. Pelan-pelan.
Bukan untuk melupakanmu, tapi untuk menerima bahwa kamu memang hanya singgah, bukan tinggal.
Bab 4: Surat yang Tak Pernah Kukira Akan Datang
Tiga minggu sejak kau pergi, dan aku mulai bisa tertawa kecil saat menonton komedi, bukan hanya menatap kosong layar televisi.
Aku masih merindukanmu, tentu. Tapi rindu itu kini tak lagi menjerat, hanya mengambang seperti debu dalam cahaya matahari pagi. Terlihat, tapi tak menyakitkan.
Hari itu, aku pulang lebih cepat dari biasanya. Di depan pintu apartemen, aku melihat sebuah amplop berwarna cokelat. Tak ada nama pengirim, hanya alamatku yang ditulis dengan tangan yang sangat familiar.
Tanganku gemetar saat meraihnya.
Di dalamnya, hanya selembar surat. Tapi setiap kata di dalamnya seperti napas yang lama kutahan—akhirnya dilepaskan.
"Untuk kamu yang selalu ada dalam pikiranku,
Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Mungkin ini salah, menulis surat saat seharusnya aku menjauh. Tapi aku tak ingin pergi tanpa meninggalkan apa pun.
Aku tahu kamu mungkin marah, atau kecewa. Aku juga tahu kamu sedang berusaha melupakan semuanya. Tapi ada hal-hal yang ingin kuberitahu, meskipun kamu tidak membalas.
Aku pergi bukan karena berhenti mencintaimu. Aku pergi karena aku takut, kalau aku tetap di sana, aku malah menghentikanmu dari tumbuh. Kamu terlalu sering menahanku, menyesuaikan langkahku dengan milikmu. Padahal kamu pun pantas punya dunia yang lebih luas.
Di kota ini, aku belajar banyak hal. Tapi tak satu pun hal baru yang bisa menghapus ingatan tentang kamu. Tentang kita.
Kalau suatu hari kita dipertemukan lagi, aku harap kamu sudah berdamai dengan luka yang kutinggalkan.
Dan kalau tidak... aku tetap ingin kamu bahagia, meski bukan denganku.
Salam dari kejauhan,
Damar"
Aku membaca surat itu berkali-kali. Menangis bukan karena sedih, tapi karena akhirnya aku tahu: aku bukan satu-satunya yang merasa kehilangan.
Damar pun terluka. Tapi ia memilih pergi, seperti aku kini harus memilih bertahan.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, aku menyalakan lampu kamar tanpa rasa berat di dada. Surat itu kutaruh di laci meja, bukan untuk disembunyikan, tapi untuk dikenang—sebagai bukti bahwa aku pernah dicintai, dan pernah kehilangan.
Dan sekarang, aku mulai bisa berdamai dengan keduanya.
Bab 5: Jejak yang Kupilih untuk Ikuti
Surat dari Damar kusimpan di dalam laci meja, tapi pikiranku tetap memutar kalimat-kalimatnya seperti kaset usang yang enggan berhenti.
Aku tahu aku tak seharusnya berharap. Tapi harapan itu datang juga, diam-diam, dalam bentuk pertanyaan: "Bagaimana kalau aku ke sana? Bukan untuk memintanya kembali… hanya untuk menutup kisah ini dengan cara yang lebih tenang."
Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah tapi sunyi, aku memesan tiket kereta ke kota tempat Damar tinggal. Kota yang dulu kami impikan bersama, namun hanya ia yang berhasil menjangkaunya lebih dulu.
Perjalanan memakan waktu enam jam. Aku duduk di dekat jendela, menatap hamparan sawah, jembatan, dan langit luas. Aneh, rasanya seperti melintasi bukan hanya jarak, tapi juga kenangan. Setiap stasiun yang dilewati terasa seperti satu bab dari masa lalu yang kutinggalkan.
Sesampainya di kota itu, aku tak langsung mencarinya. Aku berjalan kaki menyusuri taman kota, tempat yang sering ia ceritakan dulu lewat foto dan cerita suara. Ada penjual es krim di pinggir jalan, anak-anak berlarian, dan seorang ibu tua memberi makan burung merpati. Semua tampak damai, seperti kota ini tak mengenal kehilangan.
Aku duduk di bangku taman, membuka buku catatan kecil yang selalu kubawa. Tapi hari ini aku tidak menulis puisi. Aku hanya menuliskan satu pertanyaan:
“Apa yang sebenarnya kucari dengan datang ke sini?”
Dan sebelum aku sempat menjawabnya sendiri, seseorang memanggil namaku.
“Rana?”
Suara itu masih sama. Suara yang dulu pernah jadi rumah.
Aku menoleh, dan di sana ia berdiri. Damar. Dengan jaket biru tua dan wajah yang sedikit lebih tirus dari terakhir kali kulihat. Tangannya membawa tas belanja, seperti baru saja pulang dari pasar.
Kami berdiri beberapa detik, saling tatap, saling bingung. Lalu ia tersenyum. Senyum yang dulu kutakuti akan kulupakan, ternyata masih tersimpan rapi di kepalaku.
“Aku… nggak nyangka kamu ke sini,” katanya pelan.
Aku tersenyum kecil. “Aku juga nggak yakin kenapa aku datang.”
Ia duduk di sampingku. Diam. Tapi bukan diam yang canggung. Diam yang penuh pemahaman—bahwa kami tak lagi harus menjelaskan semuanya.
Lalu ia berkata, “Kamu mau cerita apa yang terjadi setelah aku pergi?”
Aku menatap langit yang mulai mendung, lalu menjawab, “Aku belajar sendiri lagi. Bangun sendiri. Menangis sendiri. Tapi juga... tumbuh sendiri.”
Damar menunduk pelan, lalu berkata, “Aku minta maaf, Ran.”
Aku mengangguk. “Aku juga minta maaf. Karena sempat berharap kamu akan kembali.”
Dan saat itu aku tahu: aku datang bukan untuk mengulang kisah. Aku datang untuk menutupnya dengan tenang—dengan orang yang dulu begitu aku cintai.
Bab 6: Kita yang Pernah Ada
Hujan turun pelan saat kami berjalan berdampingan, menyusuri trotoar kota yang basah. Tak ada yang mencoba menggenggam tangan, tak ada yang mencoba mengulang keintiman yang dulu pernah begitu mudah kami temukan. Tapi justru di situ, ada kelegaan.
“Kamu kelihatan lebih tenang sekarang,” ucap Damar sambil melirikku.
Aku tersenyum kecil. “Aku juga ngerasa begitu.”
Kami berhenti di sebuah kedai kopi kecil. Bukan karena ingin bernostalgia, tapi hanya karena butuh tempat berteduh. Di dalam, aroma kopi dan roti panggang menyambut seperti pelukan hangat dari dunia yang seolah tahu: kami tak datang untuk menyakiti, hanya untuk menenangkan luka yang lama.
“Aku sempat berpikir, kalau kita ketemu lagi, mungkin aku akan minta kamu balik,” kata Damar pelan. “Tapi sekarang, aku nggak akan lakukan itu.”
Aku menatapnya, mataku jernih.
“Aku juga sempat berpikir, kalau kita ketemu lagi, mungkin aku akan jatuh lagi,” jawabku. “Tapi sekarang aku tahu... cinta yang dewasa kadang tahu kapan harus dilepas.”
Kami diam beberapa saat, lalu tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena akhirnya kami sampai di titik ini—titik di mana mencintai tak harus memiliki, dan kehilangan tak lagi jadi luka yang berdarah.
“Aku bahagia pernah mencintaimu, Damar,” kataku.
Ia menunduk, kemudian menatapku dalam. “Dan aku akan selalu bersyukur pernah dicintai seutuh itu olehmu, Rana.”
Kami berpisah di persimpangan jalan. Tak ada pelukan. Tak ada janji untuk bertemu lagi. Hanya tatapan terakhir yang mengandung semua kata yang tak sempat diucapkan dulu.
Dan ketika aku menoleh ke belakang, Damar sudah tak terlihat. Tapi anehnya, tak ada sesak. Tak ada air mata.
Hanya ada satu hal yang tertinggal: keikhlasan.
Epilog: Langkah yang Tak Lagi Tertinggal
Sudah satu tahun sejak hari itu—hari di mana aku dan Damar memilih jalan masing-masing, bukan karena tidak saling mencintai, tapi karena akhirnya kami tahu: cinta tidak harus berakhir dengan “bersama.”
Kini, aku berjalan di kota yang dulu asing bagiku, tapi kini mulai terasa seperti rumah. Bukan karena ada seseorang yang menunggu, tapi karena aku sudah belajar menunggu diriku sendiri.
Aku mengisi hari-hariku dengan hal-hal kecil yang dulu sering kulewatkan: membaca buku di taman, membuat kopi dengan tangan sendiri, tertawa tanpa alasan di tengah malam. Hidup perlahan terasa penuh, meski tak lagi ada Damar di sisinya.
Surat darinya masih kusimpan, tapi tak lagi kubaca setiap malam. Bukan karena lupa, tapi karena aku tak lagi membutuhkannya untuk mengingat bahwa aku pernah dicintai.
Kini aku tahu, perpisahan bukan akhir dari segalanya. Ia bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih penting—perdamaian dengan diri sendiri.
Aku tak lagi bertanya-tanya apakah Damar akan kembali. Karena aku pun tak lagi menunggu. Aku berjalan ke depan, dengan langkah yang tak lagi tertinggal di masa lalu.
Dan ketika aku menatap bayanganku sendiri di jendela, aku tersenyum.
Akhirnya, aku pulang. Bukan ke siapa-siapa. Tapi ke diriku sendiri.
Komentar
Posting Komentar