Lebih dari Teman?
Lebih dari Teman?
"Lebih dari Teman?"
Sinopsis:
Naya (28), seorang copywriter ambisius di Jakarta, menjalani hubungan rumit dengan Reyhan (30), seorang fotografer freelance yang ia kenal sejak kuliah. Sudah hampir setahun mereka menjalani hubungan sebagai Friends with Benefits—tanpa ikatan, tanpa status, dan tanpa harapan.
Tapi saat masa lalu Reyhan kembali, dan hati Naya mulai merasakan sesuatu yang tak seharusnya ada, batas antara “teman” dan “lebih dari itu” mulai kabur.
Apakah FWB bisa berubah jadi cinta? Atau semua akan berakhir ketika salah satu dari mereka menginginkan lebih?
Bab 1: "Kesepakatan Tanpa Janji"
Apartemen Reyhan dipenuhi cahaya temaram dari lampu gantung IKEA yang menggantung malas di langit-langit. Aroma kopi yang basi dan parfum wanita masih tertinggal di udara, meski malam hampir berganti pagi.
Naya duduk di ujung ranjang dengan punggung membungkuk, tubuhnya hanya diselimuti kemeja Reyhan yang kebesaran. Ia menyalakan rokok, meski tahu Reyhan tak suka ia merokok setelah 'itu'. Tapi malam ini, ia tak peduli.
"Lu masih ingat pertama kali kita setuju soal ini?" tanya Naya, tanpa melihat ke arah Reyhan yang berbaring santai sambil memainkan ponselnya.
Reyhan hanya mengangguk pelan, tidak mengalihkan pandangan dari layar.
"Jangan baper. Jangan tanya kita ini apa. Jangan harap lebih," gumam Naya, mengutip kalimat mereka setahun lalu. "Lucu ya, dulu kedengarannya simpel."
"Dan sekarang?" tanya Reyhan akhirnya, matanya menatap langit-langit, bukan Naya.
"Masih simpel. Cuma... kadang nggak sesimpel itu pas gue sendirian."
Sunyi. Hanya suara AC yang berdesing lembut.
Reyhan duduk, menarik tubuh Naya ke pelukannya. Tapi pelukan itu kosong. Tidak ada rasa. Tidak ada makna. Hanya rutinitas.
"Boleh peluk. Tapi jangan jatuh cinta," bisik Reyhan pelan.
Naya menutup matanya. Senyumnya pahit.
"Telat, Han. Mungkin gue udah kebablasan."
Bab 2: "Kopi Pahit dan Rasa yang Mengendap"
Pagi itu hujan turun pelan. Jakarta basah, jalanan penuh genangan, dan kepala Naya berisi terlalu banyak pikiran untuk ukuran hari Rabu. Ia duduk di coffee shop langganannya di Kemang, mengenakan blazer hitam, rambut diikat rapi, dan tatapan kosong ke cangkir kopi yang belum disentuh.
"Latte-nya dingin, Nay," suara Tasya, rekan kerja sekaligus sahabat satu-satunya yang tahu semuanya, menyadarkannya.
Naya hanya mengangguk, lalu menyeruput sedikit. Dingin. Pahit. Sama seperti isi hatinya.
"Reyhan lagi?" tanya Tasya sambil menopang dagu. "Lu tuh ya, katanya FWB. Tapi muka lu tiap abis nginep di tempat dia kayak abis kena PHK."
Naya tertawa miris. "FWB tuh cuma konsep, Tas. Realitanya... hati bisa tolol kapan aja."
"Terus? Mau sampai kapan kayak gini?"
Naya menatap ke luar jendela. Hujan masih belum reda. Orang-orang masih berlalu-lalang di bawah payung, berusaha tak basah, padahal tetap kena cipratan juga. Seperti dirinya, berusaha menjaga jarak, tapi tetap kena perasaan.
"Aku nggak tahu. Mungkin sampai dia nemu cewek beneran dan ninggalin aku," jawabnya pelan.
Tasya mendesah. "Lu sadar nggak, Nay? Hati lu udah terlalu jauh. Sementara dia... Reyhan tuh bukan cowok jahat, tapi dia nyaman sama zona abu-abu. Dia nggak mau maju, nggak mau mundur. Tapi lu? Lu udah setengah jalan ke neraka."
Naya diam. Kata-kata itu menusuk. Tapi ia tahu itu benar.
Ponselnya bergetar.
[Reyhan]: Lagi di mana? Gue di sekitar Kemang. Mau mampir bentar.
Naya menggigit bibir bawahnya. Lalu tanpa sadar, dia mengetik:
[Naya]: Enggak bisa. Lagi sama temen. Nanti aja.
Tasya melihat ekspresinya. "Kok ditolak?"
"Karena kalau sekarang gue ngeliat dia, gue takut bakal bilang yang seharusnya nggak gue bilang."
"Kayak... 'Gue sayang lo', gitu?"
Naya tersenyum lemah.
"Bukan. Tapi 'gue capek jadi tempat singgah'..."
Bab 3: "Dia yang Datang, Aku yang Pergi"
Tiga hari. Sudah tiga hari Naya tidak membalas pesan Reyhan, selain sekadar "sibuk", "lagi meeting", atau "nanti gue kabarin ya".
Padahal dia tidak sibuk. Tidak ada meeting. Hanya butuh jarak, sebelum hatinya hancur total.
Dan untuk pertama kalinya, Reyhan datang mencarinya.
"Naya!"
Suara itu terdengar lantang di lorong kantor. Beberapa karyawan menoleh. Naya yang sedang mengetik di meja langsung terdiam.
Dia menoleh pelan. Reyhan berdiri di depan pintu, basah kuyup, jaketnya setengah meneteskan air hujan. Entah kenapa dia seperti adegan drama Korea, dan Naya adalah pemeran wanita yang terlalu lelah untuk drama apapun hari ini.
"Lu ngapain ke sini?" bisik Naya, panik, berdiri cepat.
"Gue udah WhatsApp. Lu nggak bales. Gue telepon. Nggak diangkat. Jadi gue ke sini."
"Ini kantor, Rey. Gimana kalau orang mikir yang aneh-aneh?"
Reyhan mendekat, nada suaranya makin pelan. "Lu kenapa, Nay? Lu berubah. Lu kayak ngejauh..."
Naya menatapnya. Mata itu masih sama—hangat, bingung, dan selalu membuatnya ragu untuk pergi. Tapi kali ini, dia sudah menyiapkan diri.
"Karena gue lagi mikir. Kita ini apa. Dan gue sadar, gue udah jadi orang yang terlalu berharap dari hubungan yang katanya 'nggak pakai hati'."
Reyhan terdiam. Hujan makin deras di luar, tapi lebih ramai di dalam dada Naya.
"Gue kira... kita sepakat," kata Reyhan pelan.
"Sepakat buat nggak saling nyakitin. Tapi ternyata gue yang nyakitin diri sendiri."
"Lu jatuh cinta ya?"
Naya tertawa pelan. "Pertanyaan bodoh, Han. Gue udah bilang di malam terakhir kita. Mungkin gue udah kebablasan."
Reyhan mendekat, lalu menggenggam tangannya.
"Nay, dengerin gue dulu—"
"Enggak, Rey." Naya menarik tangannya. "Lo dengerin gue. Gue nggak mau jadi pilihan kedua. Gue nggak mau terus ada cuma kalau lo lagi butuh pelukan, tapi nggak pernah cukup penting buat lo genggam di depan orang lain."
Sunyi.
"Ada orang yang mulai deketin gue," lanjut Naya. "Dia serius. Dan... mungkin, gue harus buka pintu buat dia. Bukan karena gue udah nggak sayang sama lo, tapi karena gue sayang diri gue sendiri."
Reyhan tak bicara. Hanya memandang Naya dalam diam. Ada raut yang tidak biasa—bukan marah, bukan kecewa. Tapi takut.
Untuk pertama kalinya... dia takut kehilangan Naya.
Tapi mungkin... memang sudah terlambat.
Bab 4: "Saat Bukan Aku yang Kau Cari"
Hari itu, Reyhan tidak mengirim pesan apa-apa.
Bahkan tidak ada “sampai rumah ya” seperti biasanya. Tidak ada tanda tanya yang menunggu dijawab. Tidak ada foto kopi atau langit senja yang biasa ia kirimkan, hanya karena tahu Naya suka hal-hal kecil seperti itu.
Kosong.
Dan justru itu yang membuat dada Naya semakin berat.
Sabtu sore. Kafe kecil di Cipete. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah dan daun-daun yang menggantung setengah kering.
Naya duduk berhadapan dengan Adrian — pria baru yang ia temui dua minggu lalu di acara klien. Berpakaian rapi, tutur katanya tenang, dan matanya fokus tiap kali Naya bicara. Terlalu sempurna untuk tidak dibandingkan dengan Reyhan.
"Jadi... kamu udah pikirin tawaran makan malam minggu depan sama keluargaku?" tanya Adrian, senyumnya tulus.
Naya tersenyum pelan. "Aku... belum yakin."
Adrian menatapnya dalam. "Karena kamu belum selesai dengan seseorang?"
Naya terdiam. Ia tidak menyangkal.
"Kalau aku boleh jujur," lanjut Adrian, "aku nggak mau jadi pelarian. Tapi kalau kamu butuh waktu, aku akan kasih itu. Selama aku tahu, kamu mengarah ke aku. Bukan mundur ke belakang."
Naya menunduk, menggenggam cangkir kopinya.
"Terima kasih... udah mau sabar."
Adrian mengangguk. "Naya, kamu perempuan yang layak dicintai penuh. Bukan setengah, bukan diam-diam."
Kata-kata itu menghantam seperti peluru.
Malamnya, Naya membuka galeri ponsel. Semua foto dengan Reyhan masih ada. Senyum-senyum setengah sadar, video pendek saat mereka karaoke jam dua pagi, dan selfie buram di dalam mobil—semua hanya milik mereka berdua. Tapi tidak pernah diunggah. Tidak pernah diumumkan. Selalu diam-diam.
Tiba-tiba notifikasi muncul.
[Reyhan]: Lagi apa?
Hanya dua kata. Tapi cukup untuk membuat Naya berhenti bernapas sejenak.
Ia membalas pelan.
[Naya]: Sama Adrian.
Lama tak ada balasan. Hingga akhirnya, satu kalimat muncul:
[Reyhan]: Dia bisa kasih kamu yang gue nggak bisa ya?
Jari Naya berhenti di atas layar. Lalu mengetik:
[Naya]: Bukan soal bisa atau nggak. Tapi dia mau. Dan itu udah cukup beda.
[Reyhan]: Gue baru nyadar… perasaan itu datang pas lo mulai pergi.
[Naya]: Harusnya lo sadar sebelum gue memutuskan buat ninggalin.
Sunyi. Tidak ada balasan lagi.
Naya mematikan ponsel, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa.
Air matanya turun. Tapi entah karena sedih, atau lega.
Bab 5: "Kalau Saja Sedari Awal"
Sudah seminggu sejak percakapan terakhir mereka.
Seminggu tanpa kabar, tanpa suara, tanpa tanya.
Dan dalam diam itu, Reyhan merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
Sabtu pagi. Jakarta belum terlalu ramai. Reyhan duduk di depan layar laptop, menatap folder bernama “Naya” yang berisi ratusan foto yang pernah ia ambil diam-diam—saat Naya tertawa tanpa sadar, saat ia tertidur di dalam mobil, bahkan saat mereka makan di warung pecel lele. Sederhana, tapi hangat.
Dia memutar satu video pendek. Naya sedang menyanyi pelan di dapurnya, pakai kaus kebesaran miliknya. Suara itu pecah, tapi mata Reyhan berkaca-kaca.
"Gue bodoh," gumamnya.
Reyhan menutup laptop, mengambil jaket, lalu pergi. Tujuannya jelas: menemui Naya. Kali ini, tidak ada basa-basi. Tidak ada "nanti dulu". Dia harus bicara.
Di sisi lain kota, Naya berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya. Hari ini dia akan dikenalkan Adrian ke keluarganya. Hubungan mereka belum lama, tapi serius. Dan Naya ingin mencoba membuka pintu yang selama ini selalu ia tutup rapat.
Ponselnya berbunyi.
[Reyhan]: Bisa ketemu sebentar? Please.
Naya menatap layar lama. Jemarinya gemetar. Ia menelan ludah.
Jangan bodoh lagi, Nay.
Tapi hatinya berbisik: Kalau ini perpisahan... setidaknya akhiri dengan benar.
Mereka bertemu di taman kecil dekat kantor lama mereka. Tempat yang biasa mereka datangi sepulang kerja dulu, saat masih sebatas teman. Sebelum semuanya kabur.
Naya datang dengan dress biru muda. Cantik. Tapi wajahnya lelah. Matanya menyimpan batas.
Reyhan menatapnya lama. "Kamu makin cantik."
"Ngomong cepat aja, Han. Aku harus pergi bentar lagi."
Reyhan menarik napas. "Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini. Tapi selama seminggu kamu hilang, aku ngerasa... kosong. Datar. Kayak... ada bagian hidup gue yang ikut hilang."
Naya diam.
"Selama ini, gue pikir gue cukup dengan situasi kita. Tapi ternyata... gue cuma takut. Takut gagal. Takut nggak bisa jadi cukup buat lo."
"Lalu kenapa sekarang?"
"Karena gue lebih takut kehilangan lo sepenuhnya daripada gagal jadi seseorang buat lo."
Naya menggigit bibir. "Rey... kamu tahu aku udah sama orang lain sekarang."
"Dan gue tahu dia baik. Gue tahu dia serius. Tapi... kasih gue satu kesempatan. Satu. Biar gue buktiin kalau perasaan gue bukan cuma karena lo udah pergi."
Naya menunduk. Matanya mulai berkaca.
"Kenapa kamu nggak bilang ini waktu aku masih nunggu, Han? Kenapa bukan waktu aku masih berharap kamu nyari aku duluan?"
"Gue telat, ya?"
"Iya," jawab Naya pelan. "Tapi sayangnya... rasa ini belum benar-benar hilang."
Mereka saling menatap.
Dan di sana, di tengah taman yang tenang dan langit yang mendung, mereka berdiri di antara dua hal: cinta yang tertunda, dan harapan yang sudah terlanjur digenggam orang lain.
Bab 6: "Antara Kamu, Dia, dan Aku Sendiri"
Malam itu, makan malam dengan keluarga Adrian berjalan baik—terlalu baik.
Ibunya sopan, adik perempuannya ramah, dan ayahnya hanya diam-diam menilai, tapi dengan pandangan yang tak menghakimi. Semua terasa... ideal.
Terlalu ideal.
Naya duduk di meja makan, mengenakan blouse putih dan senyum yang sopan. Tapi pikirannya terus mengembara pada suara Reyhan siang tadi. Kalimatnya mengendap di kepalanya seperti hujan yang tak kunjung reda.
"Gue lebih takut kehilangan lo sepenuhnya daripada gagal jadi seseorang buat lo."
Dan itu kalimat paling jujur yang pernah keluar dari mulut Reyhan sejak mereka mulai “hubungan tanpa status” itu.
Setelah makan malam selesai dan keluarga Adrian berpamitan, mereka duduk berdua di balkon apartemen Adrian.
"Thank you udah mau ikut," kata Adrian sambil menuang wine ke gelasnya.
Naya hanya mengangguk.
"Kamu kelihatan nggak sepenuhnya ada di sini malam ini."
Naya terdiam.
"Kamu ketemu dia tadi, ya?" tanya Adrian. Suaranya tenang. Tidak marah. Tapi jelas... terluka.
"Dia minta waktu sebentar. Aku datang... karena aku tahu aku butuh tutup semua ini dengan cara yang benar."
"Kamu masih cinta?"
Pertanyaan itu menusuk. Tapi tak bisa dijawab dengan cepat.
"Aku pernah sangat cinta. Sekarang... aku cuma ingin bisa mencintai dengan tenang."
Adrian memandangi Naya sejenak. "Kalau kamu harus pilih, Naya. Aku, yang baru tapi pasti. Atau dia, yang lama tapi masih penuh luka—kamu pilih siapa?"
Naya menatap lampu kota yang berkedip di kejauhan. Tangannya menggenggam gelas, tapi pikirannya jauh dari sini.
"Aku... nggak akan pilih siapa-siapa dulu."
"Kenapa?"
"Karena selama ini, aku terlalu sibuk mencintai orang lain, sampai lupa nanya: apa aku udah cukup buat diri aku sendiri?"
Adrian tersenyum tipis. "Itu jawaban paling dewasa, sekaligus paling menyakitkan."
Naya membalas dengan lirih, "Kalau aku maksa milih sekarang, salah satu dari kalian akan jadi tempat pelarian. Dan aku nggak mau itu terjadi."
Hening.
"Jadi kita apa?" tanya Adrian.
Naya menggeleng. "Kita... berhenti dulu. Kalau kamu masih mau nunggu, aku nggak bisa janji. Tapi aku akan jujur dari sekarang."
Adrian menatapnya lama. Lalu mengangguk. "Oke, Naya. Aku akan pergi... bukan karena aku menyerah, tapi karena kamu butuh ruang. Dan aku cukup dewasa buat nggak memaksa."
Malam itu, Naya pulang sendirian. Di dalam taksi, dia membuka jendela. Angin malam menyapu wajahnya.
Di kursi belakang yang dingin dan sepi itu, akhirnya dia menangis.
Bukan karena memilih siapa...
Tapi karena untuk pertama kalinya, dia memilih dirinya sendiri.
Bab 7: "Kalau Memang Untukmu, Aku Akan Kembali"
Tiga minggu.
Sudah tiga minggu sejak malam di balkon itu.
Tiga minggu sejak Naya memilih untuk tidak memilih siapa-siapa.
Dan di tiga minggu itu... tidak ada pesan dari Reyhan. Tidak ada kabar dari Adrian.
Sunyi. Tapi juga... lega.
Naya kembali tenggelam dalam pekerjaannya, memulai pagi dengan yoga, dan malam dengan jurnal digital yang mulai ia isi rutin—hal-hal yang dulu tak sempat ia sentuh karena hidupnya terlalu penuh oleh orang lain.
Di sana, dia belajar satu hal: kesendirian bukan hukuman. Tapi ruang bernapas.
Sore itu, dia duduk di kafe sendirian, membuka laptop dan secangkir kopi hangat. Musik pelan mengisi udara, dan dunia terasa cukup tenang.
Hingga seseorang menarik kursi di depannya.
Reyhan.
Tapi kali ini, penampilannya berbeda. Lebih rapi, lebih segar. Tidak ada mata kantung atau aroma rokok seperti biasa. Ia tersenyum... dan ada ketenangan di matanya.
“Hey,” sapanya.
Naya terkejut, tapi tidak menjauh. “Hey…”
“Gue tahu lo minta waktu. Dan gue ngasih itu. Tapi hari ini... gue datang bukan buat maksa balik. Gue cuma mau bilang makasih.”
Naya mengernyit. “Makasih… buat apa?”
“Buat ninggalin gue,” ucap Reyhan jujur. “Karena setelah lo pergi, gue baru ngerti siapa gue, dan kenapa gue takut cinta dari awal.”
Naya diam. Menatap matanya.
“Ada banyak hal yang gue pendam. Masa kecil yang... kacau. Hubungan keluarga yang pecah. Semua itu bikin gue pikir cinta itu cuma luka. Tapi waktu lo hilang dari hidup gue, baru gue ngerti... bukan cinta yang nyakitin gue. Tapi ketakutan gue sendiri.”
Naya menggigit bibir, hatinya bergetar.
Reyhan menarik napas. “Gue sekarang lagi ikut konseling. Baru dua sesi. Tapi gue serius. Karena gue pengen sembuh. Dan kalau suatu hari nanti gue sembuh sepenuhnya... gue harap lo masih di dunia yang sama, meski bukan di sisi gue.”
Naya tak sanggup menjawab. Tapi matanya mulai berkaca-kaca.
Reyhan berdiri, meletakkan secarik kertas kecil di atas meja.
"Ini... kontak psikolog gue. Kalau lo pernah ngerasa perlu, bisa juga lo coba. Kita semua butuh bantuan kadang, bahkan buat ngerti diri sendiri."
Dia tersenyum. “Gue pergi lagi sekarang. Tapi kali ini, bukan buat kabur. Tapi buat tumbuh.”
Dan dengan itu... Reyhan pergi.
Naya menatap kertas itu lama. Bibirnya gemetar. Lalu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya...
Dia merasa dicintai — bukan karena dibutuhkan,
Tapi karena dihargai.
Dan untuk pertama kalinya juga… dia mulai percaya,
Cinta mungkin nggak harus selalu dimiliki hari ini. Tapi bisa ditunggu, kalau memang layak.
Bab 8: "Luka yang Tidak Lagi Berdarah"
Dua bulan telah berlalu sejak pertemuan terakhir itu.
Naya belum membuka hati lagi. Belum juga bertemu Reyhan atau Adrian. Tapi kali ini... bukan karena menghindar, melainkan karena sedang belajar menerima dirinya sendiri.
Setiap Selasa sore, dia datang ke sebuah ruangan sunyi di lantai 3 sebuah gedung kecil di Kuningan. Di ruangan itu, ada sofa abu-abu dan seorang perempuan berusia 40-an yang selalu menyapa dengan senyum hangat dan pertanyaan yang sama.
“Bagaimana perasaan kamu minggu ini, Naya?”
Dan setiap minggunya, Naya belajar menjawab dengan jujur. Tentang rasa marah yang dulu ia kubur. Tentang rasa takut akan ditinggal. Tentang bagaimana dulu ia mengukur harga dirinya lewat seberapa keras seseorang menahannya untuk pergi.
“Saya sadar... saya bukan takut sendiri,” kata Naya di sesi keempat. “Saya takut nggak dianggap cukup. Saya takut dicintai setengah-setengah.”
Psikolognya tersenyum. “Dan sekarang?”
“Aku mulai belajar... bahwa menjadi cukup itu nggak perlu validasi dari siapa-siapa. Aku cukup, karena aku hidup. Karena aku utuh, bahkan dengan luka.”
Malam itu, di apartemen kecilnya, Naya membuka folder lama di laptopnya.
Folder itu berjudul: “FWB”.
Ia tersenyum kecil. Gila. Bahkan dulu dia terlalu jujur dalam menamai luka.
Satu per satu file dia hapus.
Foto-foto. Chat screenshot. Bahkan draft tulisan tentang Reyhan yang tidak pernah ia selesaikan.
Tinggal satu file yang tersisa. Sebuah audio. Suara Reyhan, tertawa, di malam mereka pertama kali begadang sambil bahas masa depan yang nggak jelas.
Naya memutar sebentar. Lalu menekan delete.
Dan saat jendela laptop tertutup, dia merasa ringan. Seperti napas yang selama ini pendek... akhirnya bisa dihela panjang.
Dua minggu kemudian. Sebuah pameran foto diadakan di galeri seni di Senopati.
Naya datang karena temannya ikut berpameran. Ia tak menyangka akan melihat nama yang sangat ia kenal terpampang di salah satu sudut:
Reyhan Putra – “Tentang yang Hampir”
Rangkaian foto-fotonya tidak menampilkan wajah Naya secara langsung. Tapi Naya tahu, itu semua tentangnya.
-
Sebuah tangan memegang cangkir kopi.
-
Sebuah bantal dengan lipstik samar di ujungnya.
-
Sebuah bayangan perempuan yang berdiri di jendela saat hujan.
Di bawah salah satu foto, ada kutipan:
“Beberapa orang tidak ditakdirkan bersama. Tapi mereka ditakdirkan untuk saling menyembuhkan. Walau hanya sebentar.”
Dan di detik itu, Naya tahu…
Reyhan sudah berubah. Dan ia juga.
Mereka pernah saling menyesakkan, saling melukai, tapi pada akhirnya, mereka tumbuh.
Bukan untuk bersama.
Tapi untuk menjadi versi terbaik dari diri masing-masing.
Dan untuk pertama kalinya… Naya bisa melihat masa depannya, tanpa nama Reyhan di dalamnya — tapi tanpa marah, tanpa luka, tanpa sesal.
Hanya... damai.
Bab 9: "Cinta yang Tenang, Akhir yang Damai"
Satu tahun kemudian.
Mentari pagi di Ubud menyapa perlahan lewat tirai linen putih di villa kecil tempat Naya menginap. Aroma kopi Bali menguar dari dapur, dan bunyi kicau burung jadi alarm alami di tempat yang jauh dari hiruk pikuk Jakarta.
Naya kini bekerja sebagai creative director di sebuah agensi independen, sering jadi pembicara workshop untuk penulis muda, dan sesekali... masih menulis puisi—bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri.
Ia sudah tidak menulis tentang Reyhan. Bahkan Adrian pun hanya sesekali muncul dalam memori, seperti bayangan lampu lalu lintas di malam hujan: pernah singgah, tapi tidak menetap.
Hari itu ia duduk di teras, membaca naskah calon penulis baru, ketika suara laki-laki terdengar dari ujung taman.
"Boleh duduk di sini?"
Naya menoleh. Seorang pria berdiri dengan senyum sopan, memegang buku yang sama dengan yang sedang Naya baca.
"Silakan," jawab Naya, ramah.
Namanya Aldo. Seorang arsitek yang cuti panjang untuk menyembuhkan burnout-nya. Percakapan mereka dimulai dari puisi, berlanjut ke filosofi kopi, dan akhirnya masuk ke dalam hal-hal absurd seperti: "Kalau waktu bisa dibekukan, kamu mau di detik yang mana?"
Dan lucunya, di sepanjang percakapan itu... tidak ada suara dalam kepala Naya yang membandingkan pria ini dengan Reyhan. Tidak ada bayangan masa lalu yang ikut duduk di kursi di sebelah.
Hanya dia, dan seseorang yang nyata, hadir, utuh.
Beberapa minggu kemudian, Naya menerima pesan di Instagram.
@reyhanputra:
"Hey. Dengar kamu habis ngisi acara literasi di Bali. Bangga banget. Kamu bersinar, Nay. Terus terbang, ya. :)”
Naya membaca itu sambil tersenyum.
Dia mengetik:
"Makasih, Han. Aku doain kamu juga tenang, di mana pun kamu sekarang."
Tak ada tanda titik-titik lagi. Tak ada tunggu dibalas. Tak ada luka yang tertinggal.
Hanya pesan.
Dari seseorang... yang pernah jadi segalanya.
Yang kini jadi kenangan, tapi bukan lagi beban.
Sore itu, Naya dan Aldo duduk di tepi sawah, diam, memandang senja.
"Lo percaya nggak," kata Aldo, "kadang orang datang ke hidup kita bukan buat selamanya, tapi biar kita belajar sesuatu yang besar."
Naya tersenyum.
"Aku percaya. Bahkan aku bisa bilang... beberapa perpisahan adalah bentuk paling jujur dari cinta."
Aldo menatapnya. "Dan kamu? Siap untuk jatuh cinta lagi?"
Naya tertawa kecil. “Aku nggak mau jatuh.”
“Oh?”
“Aku mau berjalan... perlahan. Dan kalau nanti aku jatuh, aku ingin jatuh di tempat yang bisa jadi rumah.”
Aldo mengangguk. “Semoga aku cukup empuk buat jadi tempat jatuhnya.”
Mereka tertawa.
Dan senja pun menutup hari, bukan dengan luka,
Tapi dengan cinta — yang tenang.
Cinta yang datang setelah hujan, setelah luka,
Dan setelah Naya akhirnya... pulang ke dirinya sendiri.
Epilog: "Langkah Baru"
Beberapa tahun kemudian, Naya berdiri di depan sebuah gedung baru, sebuah perpustakaan dan ruang komunitas yang didirikannya sendiri di Jakarta. Tempat ini jadi rumah bagi banyak penulis muda dan para pencinta sastra.
Dia tersenyum saat melihat sekelompok anak muda yang asyik membaca dan berdiskusi di taman kecil di halaman. Di salah satu sudut, ada papan kecil bertuliskan:
“Untuk semua yang pernah jatuh, dan bangkit kembali.”
Naya menghela napas dalam-dalam. Jalan hidupnya tidak mudah, tapi penuh warna. Luka-luka lama sudah jadi kenangan yang menguatkan, bukan menghambat.
Di sampingnya, Aldo berdiri dengan tenang, menyodorkan segelas air kelapa segar.
“Kita sudah sampai di sini, ya,” katanya.
Naya menatapnya dan mengangguk. “Kita bukan hanya sampai, Aldo. Kita mulai.”
Matahari terbenam perlahan, menyinari wajah mereka dengan hangat.
Dan di sanalah, di tempat yang dulu kosong dan sunyi, kini terisi dengan harapan, cinta, dan langkah baru yang penuh keyakinan.
Karena kadang, untuk menemukan cinta sejati, kita harus belajar mencintai diri sendiri terlebih dahulu.
“Lebih dari Teman?” – Sebuah cerita tentang mencintai, kehilangan, tumbuh… dan memilih diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar