Mentality: The War Inside
Mentality: The War Inside
Bab 1 – Bayangan Pertama
Langit sore itu seperti cat air yang dicampur terlalu banyak putih—pucat, nyaris hambar. Arka berjalan pelan di trotoar, menunduk, menendang batu kecil yang menggelinding di depannya. Tas ransel yang membebani punggungnya terasa lebih berat dari biasanya.
Bukan karena buku atau laptop di dalamnya, tapi karena pikiran-pikiran yang menumpuk.
"Kalau begini terus, kamu nggak akan lulus tepat waktu."
Kalimat dosennya tadi siang terus memantul di kepalanya. Ulang. Ulang. Ulang.
Ia mengembuskan napas panjang, berharap udara sore bisa membersihkan pikirannya. Tapi justru ada sesuatu yang aneh.
Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa... diikuti.
Arka berhenti di persimpangan kecil yang sepi. Matanya menyapu kanan-kiri, memastikan tak ada orang lain. Namun, bulu kuduknya tetap berdiri.
Dari bayangan panjang tubuhnya di aspal, ia melihat sesuatu yang tak seharusnya ada.
Bayangan itu punya sayap.
Ia memutar tubuhnya pelan. Dan di sana, berdiri seekor burung gagak besar. Bulu-bulunya hitam pekat, tapi beberapa di antaranya terlihat terbakar di ujungnya, meninggalkan abu yang melayang di udara. Matanya merah seperti bara yang nyaris padam.
Arka menelan ludah.
“...Phoenix?”
Burung itu mengeluarkan suara tawa rendah. “Bukan lagi.”
Suara itu tak keluar dari paruhnya, melainkan langsung dari dalam kepala Arka.
“Kamu tahu kan, semua usahamu percuma? Kamu nggak akan pernah cukup baik. Dan cepat atau lambat… semua orang akan meninggalkanmu.”
Arka mundur selangkah. “Kenapa... kenapa kamu berubah?”
Gagak itu melipat sayapnya, menatap dengan pandangan yang menusuk. “Karena kamu yang berubah duluan.”
Tiba-tiba, dunia di sekeliling mereka terasa lebih sunyi. Lalu suara klakson mobil dari kejauhan memecah momen itu. Saat Arka berkedip, gagak itu lenyap.
Yang tersisa hanyalah bayangan tubuhnya sendiri di aspal.
Namun, Arka tahu.
Ia tak lagi sendirian—dan itu bukan kabar baik.
Bab 2 – Gadis dengan Bunga Berduri
Pagi berikutnya, Arka datang ke kampus dengan mata sembab. Ia tidak benar-benar tidur—setiap kali terpejam, ia mendengar suara gagak itu berbisik di telinganya, mengulang kata-kata yang menusuk seperti jarum.
Kantin kampus sudah mulai ramai. Bau kopi sachet dan gorengan bercampur di udara. Arka memilih duduk di sudut, membuka laptop hanya untuk menatap layar kosong.
“Arka?”
Sebuah suara riang memanggilnya.
Ia menoleh. Naya berdiri di sana, tersenyum seperti biasa. Rambut hitamnya diikat setengah, ada sedikit rambut yang lepas dan menutupi sebagian wajah. Dia membawa dua gelas kopi dingin.
“Kelihatan banget kamu butuh ini,” katanya sambil mendorong salah satunya ke arah Arka.
Arka mengangguk kecil. “Thanks…”
Namun, saat matanya tak sengaja menatap sedikit lebih lama… ia melihatnya.
Di belakang Naya, ada pohon sakura berwarna merah muda pucat. Anginnya tidak alami—kelopak bunga jatuh perlahan, tapi setiap kelopak yang menyentuh tanah berubah menjadi belati perak kecil. Belati-belati itu menancap di lantai, menimbulkan suara berdenting tipis.
Arka terkejut, nyaris menjatuhkan kopinya.
Naya mengangkat alis. “Eh? Kenapa? Kopinya panas ya? Padahal dingin loh.”
Arka memalingkan pandangan. Ia tahu yang ia lihat bukan nyata… tapi juga bukan halusinasi.
Sama seperti gagak itu.
Naya duduk di depannya, menyeruput kopinya pelan. “Kamu pucat banget. Ada masalah?”
Arka membuka mulut, ingin menjawab, tapi ragu. Kalau dia menceritakan soal gagak itu, apakah Naya akan menganggapnya gila?
Namun, sebelum ia sempat berbicara, Naya berkata, “Kamu juga bisa lihat mereka, kan?”
Arka terdiam. “...Mereka?”
Naya menyandarkan punggung, menatapnya dengan mata yang terlalu tenang. “Makhluk yang selalu mengikuti kita. Bentuknya beda-beda. Mereka disebut… mentalitas.”
Angin di kantin terasa lebih dingin tiba-tiba. Arka merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Naya melanjutkan, “Kalau kita biarkan mereka membusuk, mereka bisa berubah menjadi sesuatu yang… memakan kita dari dalam.”
Arka menatapnya tajam. “Kamu… tahu tentang gagak itu?”
Naya hanya tersenyum tipis. “Kalau mau bertahan hidup, kamu harus belajar menghadapi dia. Dan kebetulan… aku tahu caranya.”
Bab 3 – Badut yang Retak
Sore itu, Arka memutuskan mencari udara segar di lapangan basket kampus. Tempat itu biasanya sepi menjelang magrib, kecuali satu orang—Dimas.
Sahabatnya itu sedang duduk di pinggir lapangan, memantulkan bola ke lantai sambil bersenandung lagu acak yang nadanya fals. Wajahnya santai, seperti tak ada masalah di dunia.
“Woy, akhirnya nongol juga. Gue pikir lo udah hilang ditelan skripsi,” sapa Dimas sambil tertawa.
Arka memaksa tersenyum. “Ya… gitu deh. Lo sendiri nggak ada kuliah?”
“Nggak. Gue lagi latihan biar nggak kaku kalau main sama anak-anak besok. Tapi kayaknya gue emang terlahir nggak jago olahraga,” katanya sambil ketawa lepas.
Ketawa itu terdengar biasa—hangat, bersahabat. Tapi… ada yang lain.
Dari sudut matanya, Arka melihat sesuatu berdiri di belakang Dimas. Sosok itu tinggi, dengan kostum badut warna-warni. Topengnya tersenyum lebar, tapi ada retakan besar di pipi hingga menampakkan kulit pucat di baliknya. Dari retakan itu mengalir cairan hitam kental, menetes ke lantai.
Setiap kali Dimas tertawa, badut itu tertawa juga. Tapi suaranya… kosong.
Arka menelan ludah. “Dimas… lo… pernah merasa kayak lagi pura-pura?”
Dimas berhenti memantulkan bola, tapi tak menoleh. “Pura-pura apa?”
“Pura-pura bahagia.”
Dimas tertawa lagi—tapi kali ini terdengar terlalu cepat. “Halah, lo ngomong apaan. Hidup itu harus dibawa enjoy, bro.”
Badut di belakangnya mengangkat tangan, menyentuh topengnya. Retakan itu makin melebar.
Arka ingin bicara lebih jauh, tapi langkah kaki seseorang memotong momen itu. Naya muncul dari arah kantin, membawa dua botol minuman isotonik.
“Eh, kalian di sini. Cocok, gue lagi nyari,” katanya sambil duduk di antara mereka. “Arka, besok ikut gue ya. Gue mau nunjukin sesuatu yang penting soal… teman kecil kamu.”
Dimas mengerutkan dahi. “Teman kecil?”
Naya tersenyum, tapi matanya menatap serius ke arah Arka. “Kita mulai latihan besok. Kalau nggak… dia akan memakan kamu.”
Dimas tertawa lagi, menganggap itu bercanda. Tapi Arka melihat badut itu menatap Naya… seolah menyadari sesuatu.
Bab 4 – Hukum Mentalitas
Ruang kelas kosong sore itu. Matahari menembus kaca jendela, meninggalkan garis-garis cahaya di lantai. Naya duduk di meja paling belakang, kaki terlipat di kursi, menunggu Arka datang.
Arka masuk dengan wajah bingung. “Kenapa kita ketemuan di sini?”
“Karena di sini sepi. Dan kalau ngomongin ini di tempat rame, orang bisa mikir kita gila,” jawab Naya sambil memainkan bolpoin di jarinya.
Ia memberi isyarat agar Arka duduk. Begitu Arka duduk, Naya mencondongkan tubuh, suaranya menjadi rendah.
“Dengar baik-baik, Arka. Apa yang kamu lihat… gagak itu… bukan halusinasi. Itu mentalitasmu.”
Arka hanya diam, membiarkan Naya melanjutkan.
“Semua orang punya mentalitas. Bentuknya berbeda-beda, tergantung isi hati dan cara kita memperlakukan diri sendiri. Kalau kita rawat, mereka tumbuh kuat dan melindungi kita. Tapi kalau kita biarkan… kalau kita terus menyiksa diri dengan rasa bersalah, takut, atau benci… mereka berubah. Menjadi sesuatu yang menggerogoti kita dari dalam.”
Arka menatap keluar jendela. “Lalu… kalau sudah berubah? Apa masih bisa diselamatkan?”
Naya tersenyum tipis. “Bisa. Tapi butuh keberanian. Dan kadang… kita harus masuk ke tempat yang mereka kuasai. Dunia mentalitas.”
Arka mengerutkan kening. “Dunia mentalitas?”
“Itu dunia di dalam kepala kita. Bentuknya adalah cermin dari pikiran dan emosi terdalam. Tapi ada satu tempat berbahaya… The Void.”
Arka merasa ada hawa dingin saat Naya menyebut nama itu.
“The Void adalah jurang. Kalau mentalitasmu terlalu rusak, mereka akan menyeretmu ke sana. Begitu kamu masuk, kamu nggak akan keluar… kecuali ada orang lain yang datang untuk menarikmu kembali. Tapi itu berisiko besar. Menyelamatkan orang lain berarti mentalitasmu sendiri ikut terkikis.”
Arka menatap Naya lekat-lekat. “Kamu ngomong kayak… kamu pernah masuk ke Void.”
Naya terdiam sejenak, lalu menatap Arka balik. “Aku bukan cuma pernah masuk. Aku pernah kehilangan seseorang di sana.”
Sunyi. Hanya suara jarum jam yang terdengar di ruangan.
Naya berdiri. “Besok kita mulai latihan. Kalau kamu nggak siap… gagak itu akan jadi pintu gerbang menuju Void.”
Arka menggenggam tangannya di atas meja. Entah kenapa, ia merasa seperti baru saja mendengar peringatan terakhir sebelum terjun ke perang yang tak pernah ia bayangkan.
Bab 5 – Luka Pertama
Hujan turun deras malam itu. Arka duduk di meja belajarnya, mencoba mengetik bab skripsi yang tak kunjung selesai. Lampu meja menyinari halaman kosong di layar laptop, membuat matanya makin lelah.
“Kamu nggak akan pernah bisa nyelesain itu…”
Suara gagak itu muncul lagi, berat dan menyusup seperti kabut dingin.
Arka menghela napas, mencoba mengabaikan.
“Semua usahamu sia-sia. Teman-temanmu akan lulus duluan. Kamu akan jadi yang tertinggal.”
Arka menutup laptop dengan keras. “Diam!” serunya.
Tapi kali ini, gagak itu tidak hanya berbisik. Ia muncul—di sudut kamarnya—sayapnya terbentang, bulu-bulunya basah seperti habis keluar dari badai. Tanpa peringatan, ia melompat ke arah Arka.
Cakar-cakarnya menghantam bahu Arka. Rasa sakitnya nyata, panas, seperti kulitnya disobek. Arka berteriak dan jatuh dari kursi.
Saat ia mencoba merangkak mundur, gagak itu menunduk, paruhnya nyaris menyentuh wajah Arka.
“Kamu pikir kamu yang mengendalikan aku? Kamu milikku sekarang.”
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka. Naya berdiri di sana, basah kuyup, napasnya berat. Tanpa bicara, ia berlari ke arah Arka dan meraih tangannya.
“Pegang erat, Arka!” teriaknya.
Sebelum Arka sempat bertanya, dunia di sekitarnya hancur—seperti kaca yang dilempar batu. Warna, bentuk, suara, semua meledak menjadi pecahan yang berputar, lalu tersedot ke dalam kegelapan.
Ketika Arka membuka mata lagi, ia berdiri di tengah sebuah kota yang terbakar. Langitnya kelabu, hujan api turun dari atas, dan jalan-jalannya penuh gedung-gedung roboh.
Naya berdiri di sampingnya, menatap lurus ke depan. “Selamat datang di dunia mentalitasmu, Arka.”
Di ujung jalan, gagak itu berdiri—jauh lebih besar dari sebelumnya. Matanya menyala merah, sayapnya memancarkan asap hitam yang menelan cahaya di sekitarnya.
Arka merasakan tubuhnya gemetar. “Kita… harus melawan itu?”
Naya mengangguk pelan. “Kalau kamu mau tetap hidup, iya.”
Bab 6 – Dunia Mentalitas
Hawa panas menyengat kulit Arka, seolah ia berdiri di tengah kebakaran sungguhan. Namun, udara juga terasa berat, seperti ada lapisan kabut tebal yang memaksa paru-parunya bekerja lebih keras.
Naya berdiri di sebelahnya, menarik sesuatu dari saku jaketnya—sebuah bilah pedang tipis yang terbuat dari cahaya.
“Senjata di sini bukan dari logam atau kayu,” katanya cepat. “Senjatamu adalah keyakinanmu sendiri. Kalau kamu nggak percaya bisa melawan, kamu nggak akan punya apa-apa.”
Arka menelan ludah. “Kalau aku nggak percaya?”
Naya menatapnya datar. “Maka dia akan menang.”
Di ujung jalan, gagak itu mengeluarkan teriakan melengking yang membuat gedung-gedung di sekitar mereka retak. Sayapnya mengepak sekali, dan gelombang udara panas menyapu, hampir membuat Arka terlempar.
“Arka! Fokus!” seru Naya.
Arka mencoba mengingat sesuatu—apa pun—yang bisa memberinya kekuatan. Ia memikirkan masa-masa ia merasa percaya diri, saat ia bisa memecahkan soal sulit, saat ia membantu teman, saat ia merasa… berguna.
Tiba-tiba, cahaya keemasan muncul di tangannya, membentuk sebuah tombak ramping. Ujungnya berkilau, meski bergetar seperti tak stabil.
Naya tersenyum miring. “Lumayan untuk pemula. Sekarang, serang!”
Gagak itu melompat dari kejauhan, sayapnya menebar hujan bulu hitam yang berubah menjadi pisau kecil di udara. Arka mengangkat tombaknya, memukul jatuh beberapa, tapi sisanya menancap di lengannya. Rasa sakitnya nyata—tajam, panas.
Arka hampir jatuh, tapi Naya melompat di depannya, pedangnya membelah udara dan menghancurkan sisa serangan. “Jangan pikir kamu sendirian di sini.”
Mereka berdua berlari menuju gagak itu. Arka menusukkan tombaknya ke sayap kiri makhluk itu, sementara Naya membelah sayap kanannya. Gagak itu mengeluarkan jeritan marah, lalu mengepakkan sayapnya keras-keras, menciptakan badai hitam yang mendorong mereka jauh ke belakang.
Arka terhempas menabrak dinding bangunan. Pandangannya berputar. Saat ia memaksa membuka mata, ia melihat gagak itu menatapnya dengan senyum bengkok.
“Kamu pikir ini cukup untuk menghentikanku? Aku adalah semua rasa takutmu… dan rasa takut itu tidak pernah mati.”
Lalu dunia itu retak seperti kaca, dan semuanya menjadi gelap.
Arka tersadar di kamarnya, terengah-engah, dengan Naya duduk di sebelahnya. “Itu cuma permulaan,” katanya pelan. “Kalau kamu nggak siap, dia akan menyeretmu ke Void lebih cepat dari yang kamu kira.”
Bab 7 – Retakan di Persahabatan
Matahari sore memantulkan cahaya emas di lapangan basket kampus. Arka berdiri di pinggir lapangan, memandang Dimas yang sedang memantulkan bola, tapi kali ini gerakannya lambat dan berat.
Tawa khasnya tetap ada, tapi tidak sepenuh hati.
Sejak Arka belajar tentang mentalitas, ia mulai memperhatikan tanda-tanda kecil—dan pada Dimas, tanda-tanda itu jelas.
Badut bertopeng yang dulu berdiri di belakang Dimas kini tampak lebih rapuh. Retakan di wajahnya melebar, sampai hampir memisahkan topeng menjadi dua. Dari dalam retakan itu, asap hitam tipis merembes keluar.
“Lo nggak ikut main?” tanya Dimas sambil tersenyum, seolah tidak ada yang salah.
Arka menggeleng. “Gue mau ngobrol bentar sama lo.”
“Ngobrol? Wah, formal amat.” Dimas tertawa kecil, tapi matanya tak benar-benar ikut tertawa.
Arka melangkah mendekat. “Lo nggak capek pura-pura?”
Dimas berhenti memantulkan bola. Jemarinya mengetuk permukaannya, seperti mencari kata. “Pura-pura apa?”
“Bahagia.”
Keheningan jatuh di antara mereka. Angin sore membawa bau aspal panas dan dedaunan kering. Dimas menatap bola di tangannya, lalu tersenyum—senyum tipis yang justru terlihat sedih.
“Kalau gue berhenti pura-pura, semua orang bakal nyadar gue… kosong,” ucapnya pelan.
Badut di belakangnya mulai bergetar, retakannya semakin lebar. Arka merasakan hawa dingin yang pernah ia rasakan di dunia mentalitas.
“Dimas, kalau lo terus begini, lo bakal—”
“Terseret ke Void?” Dimas memotong, suaranya setengah bercanda, setengah getir. “Gue nggak peduli, Ark. Mungkin itu malah lebih gampang.”
Arka ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi Naya muncul dari arah belakang, matanya langsung tertuju pada badut retak itu. Raut wajahnya menegang.
“Dia udah di ambang batas,” katanya singkat.
Dimas mengangkat alis. “Lo juga bisa lihat? Wah, rahasia gue ternyata nggak aman lagi.”
Naya tidak tersenyum. “Kalau kita nggak bertindak cepat, dia akan menghilang.”
Arka merasakan perutnya mengeras. Ia tahu Naya benar, tapi… gagaknya sendiri belum jinak. Setiap malam, suara itu semakin kuat. Jika ia memaksa masuk ke Void untuk menolong Dimas sekarang, mentalitasnya sendiri mungkin hancur.
Namun di hadapannya, Dimas hanya berdiri—tersenyum seperti biasa—tanpa tahu bahwa satu langkah lagi, ia akan jatuh ke jurang yang tidak bisa ia panjat kembali.
Bab 8 – Void Pertama
Dimas menghilang.
Tidak ada yang melihatnya di kampus, ponselnya mati, dan keluarganya bilang ia belum pulang sejak kemarin.
Arka duduk di bangku taman kampus, kedua tangannya gemetar. Di telinganya, suara gagak terus membisikkan kata-kata kejam.
“Kalau kamu masuk ke sana untuk dia, kamu akan hancur. Dan aku akan menang.”
Naya datang tergesa, wajahnya tegang. “Aku sudah cek… dia sudah terseret ke Void.”
Tanpa memberi waktu untuk berpikir, Naya menggenggam tangan Arka, dan dunia di sekitarnya pecah seperti kaca, berubah menjadi kegelapan tanpa ujung.
Void itu dingin, basah, dan sunyi… seperti ruang bawah tanah yang tak pernah tersentuh cahaya. Di tengahnya, Dimas berdiri dengan mata kosong, sementara badut retaknya telah berubah menjadi raksasa dengan topeng hancur total. Wajah di balik topeng itu… hanyalah lubang gelap yang menghisap apa pun di sekitarnya.
“DIMAS!” Arka berlari, tapi Naya menahan lengannya. “Kalau kita gegabah, kita ikut terseret.”
Mereka menyerang bersama. Cahaya pedang Naya menebas tangan raksasa itu, sementara Arka menusuk dengan tombaknya. Tapi Void memakan kekuatan mereka—setiap serangan terasa berat dan lambat.
Akhirnya, Arka menembus pertahanan raksasa itu dan menarik Dimas dari tubuhnya. Cahaya emas menyelimuti mereka bertiga, dan Void runtuh menjadi kepingan hitam yang lenyap.
Bab 9 – Harga Sebuah Penyelamatan
Arka terbangun di kamarnya, bahunya perih. Phoenix-nya kini kehilangan setengah bulu emasnya, berubah menjadi campuran bulu hitam kusam dan abu.
Naya memandangnya serius. “Itu yang aku maksud. Menyelamatkan orang lain berarti kehilangan bagian dari dirimu sendiri.”
Dimas masih lemah, tapi berterima kasih. Meski begitu, Arka tahu—ini hanya awal.
Bab 10 – Masa Lalu Naya
Suatu sore, Naya mengajak Arka ke taman kota yang penuh pohon sakura. Ia duduk di bawah pohon dan mulai bercerita.
Dulu, mentalitasnya adalah pohon sakura penuh bunga. Tapi saat adiknya meninggal dalam kecelakaan yang ia salahkan pada dirinya, kelopak bunga itu berubah menjadi belati. Ia mencoba menutup diri, tapi belati itu malah melukai siapa pun yang mencoba mendekat.
“Itu sebabnya aku belajar masuk ke dunia mentalitas,” katanya. “Kalau aku nggak belajar, aku sendiri yang akan mati duluan.”
Bab 11 – Bayangan yang Tumbuh
Gagak Arka semakin berani. Ia muncul bahkan di kelas, menatap dari sudut ruangan. Saat presentasi skripsi, Arka hampir kehilangan kata-kata karena bisikan gagak itu.
Namun, melihat Naya duduk di bangku belakang, tersenyum tipis memberinya kekuatan untuk menyelesaikan presentasinya.
Bab 12 – Perang Mental
Naya memperkenalkan ancaman baru: Mind Eater. Makhluk yang memakan mentalitas orang hingga mereka menjadi manusia kosong tanpa tujuan. Tidak seperti mentalitas rusak biasa, Mind Eater tidak punya tuan—ia berburu siapa saja.
Bab 13 – Korban Pertama Mind Eater
Seorang dosen yang dikenal bijak tiba-tiba menjadi apatis total. Mentalitasnya hilang. Naya memastikan ini adalah ulah Mind Eater.
Bab 14 – Rencana Gila
Naya merencanakan untuk memancing Mind Eater keluar dengan menjadikan dirinya umpan. Ia tahu mentalitasnya yang penuh belati akan menarik makhluk itu. Arka menolak, tapi Naya bersikeras.
Bab 15 – Perang di Void
Pertarungan besar terjadi di Void. Mind Eater muncul sebagai monster tanpa wajah, tubuhnya terdiri dari potongan mentalitas korban. Naya hampir diseret, tapi Arka menggunakan seluruh kekuatan Phoenix-nya untuk menariknya keluar.
Bab 16 – Phoenix yang Mati
Setelah pertarungan, Phoenix Arka menjadi abu. Ia kehilangan kemampuannya masuk ke dunia mentalitas. Depresi mulai merayap masuk.
Bab 17 – Cahaya Kecil
Dimas, yang kini pulih, menjadi penopang semangat Arka. Ia mengingatkan bahwa kekuatan bukan hanya datang dari mentalitas, tapi juga dari orang-orang yang peduli.
Bab 18 – Rebirth
Dengan dukungan Naya dan Dimas, mentalitas Arka lahir kembali—seekor burung hibrida gagak-emas, melambangkan penerimaan dirinya yang utuh dengan kekuatan dan kelemahan.
Bab 19 – Pertarungan Terakhir
Trio ini memasuki Void pusat, sarang Mind Eater. Pertarungan brutal terjadi. Mind Eater mencoba memecah persahabatan mereka dengan ilusi, tapi mereka saling mengingatkan dan menyerang bersama, menghancurkan inti makhluk itu.
Semua mentalitas yang dimakan dilepaskan, dan Void runtuh.
Bab 20 – Warisan Mentalitas
Beberapa bulan kemudian, Arka, Naya, dan Dimas membentuk kelompok rahasia untuk membantu orang memahami dan merawat mentalitas mereka.
Cerita berakhir dengan Arka berjalan di bawah matahari pagi. Burung gagak-emas terbang di atasnya, dan suaranya terdengar di kepalanya:
“Kita akan baik-baik saja.”
Arka tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia benar-benar percaya pada kata-kata itu.
Komentar
Posting Komentar