Merindukan Kisah Lama

 Merindukan Kisah Lama


Judul: Merindukan Kisah Lama
Genre: Romantis, Drama, Slice of Life
Jumlah Bab: Akan disesuaikan secara berkala
Setting: Kota kecil di Indonesia, era 2010-an hingga masa kini
Sinopsis:
Tahun demi tahun berlalu, namun bagi Dira, satu musim hujan di masa SMA terus menghantui pikirannya. Saat ia kembali ke kampung halamannya setelah sepuluh tahun merantau, kenangan tentang masa lalu, cinta pertama, dan janji yang tak sempat ditepati, perlahan bangkit dari tidur panjang. Apakah semua itu hanya kisah lama yang pantas dikenang—atau masih layak diperjuangkan?


Bab 1: Pulang

Langit sore itu mendung, dan aroma tanah basah menyeruak ketika Dira turun dari bus antarkota. Tas ranselnya sudah lusuh, tapi isinya penuh cerita dari satu dekade terakhir. Ia melangkah pelan melewati gerbang terminal yang tak banyak berubah—kecuali satu hal: tak ada lagi sosok yang menunggunya di sana.

Dira menatap sekeliling. Kota kecil ini, dengan segala ketenangannya, terasa begitu asing dan akrab di saat bersamaan.

"Sudah sepuluh tahun," gumamnya, sambil menarik napas panjang.
Sepuluh tahun sejak ia meninggalkan tempat ini. Sepuluh tahun sejak ia meninggalkan seseorang—yang sampai sekarang, masih sering hadir dalam mimpinya.

Raka.

Nama itu saja cukup untuk membuat dadanya sesak. Mereka berjanji, dulu. Tapi janji itu, seperti banyak hal lainnya dalam hidup, hancur pelan-pelan oleh waktu dan jarak.

Dira berjalan menyusuri jalanan yang dulu biasa ia lewati setiap hari saat pulang sekolah. Pohon beringin besar di depan gerbang SMA mereka masih berdiri kokoh. Ia berhenti sejenak, menyentuh batang pohonnya yang kasar. Di sinilah semuanya bermula. Di sinilah, sebuah kisah lama tertinggal—dan kini mulai memanggilnya pulang.

Bab 2: Hujan dan Kenangan

Rintik hujan mulai turun saat Dira menapakkan kaki di halaman rumah peninggalan orang tuanya. Sejak ibunya wafat tiga tahun lalu, rumah ini lebih sering kosong. Hanya sesekali ditengok oleh paman dari pihak ayah. Kini, rumah itu terlihat seperti kenangan yang dilapisi debu—diam, namun masih menyimpan suara-suara masa lalu.

Dira membuka pintu kayu yang berderit pelan. Bau kayu tua, campur wangi kenangan, menyambutnya. Ia meletakkan tasnya, lalu berjalan ke ruang tamu. Di dinding, masih tergantung foto keluarga mereka, dengan senyum yang membeku oleh waktu.

Ia duduk di sofa lama, membuka jaketnya, dan menatap jendela yang kini mulai berkabut karena hujan.

Tiba-tiba, pikirannya melayang.


Dulu. Tahun 2012.
Hujan deras membasahi halaman sekolah saat Dira duduk di tangga belakang, berteduh sambil membaca buku novel favoritnya.

“Kenapa sendirian?” suara itu datang dari arah samping.

Dira menoleh, dan melihat Raka, basah kuyup, berdiri sambil memegang dua gelas kopi instan dalam plastik bening.

“Untukmu,” katanya, menyerahkan satu. “Hangat.”

Dira menerimanya dengan hati berdebar. Raka selalu seperti itu. Tiba-tiba muncul. Tiba-tiba peduli. Tiba-tiba membuat dunia jadi sedikit lebih hangat meski hujan turun deras.

“Terima kasih...” ucap Dira pelan. “Kenapa kamu ke sini?”

Raka duduk di sampingnya, tanpa berkata apa-apa selama beberapa saat. Hanya suara hujan dan detak jantung yang mendominasi ruang sunyi itu.

“Kamu suka hujan?” tanya Raka akhirnya.

Dira mengangguk. “Suka. Tapi kadang... hujan juga bikin ingat hal-hal yang pengin dilupain.”

Raka menatapnya. “Kalau aku, hujan itu kayak perasaan. Turun aja, nggak bisa ditahan. Tapi setelahnya, semua jadi lebih segar.”


Dira tersentak dari lamunannya. Hujan di luar belum juga reda, dan dadanya terasa hangat oleh kenangan itu.

Ia berdiri, membuka lemari tua di kamar, dan menemukan kotak kecil dari kayu. Di dalamnya, ada hal-hal yang dulu ia simpan rapat: foto bersama Raka saat acara perpisahan, tiket bioskop pertama mereka, dan... secarik kertas kecil dengan tulisan tangan.

“Kalau suatu hari kamu kembali, cari aku di tempat biasa. – R”

Dira menggenggam kertas itu erat. Tempat biasa. Warung kopi di sudut jalan dekat sekolah. Tempat mereka biasa menghabiskan sore.

Dan untuk pertama kalinya sejak ia kembali, Dira merasa... mungkin, sesuatu belum benar-benar selesai.

Bab 3: Raka dan Warung Kopi

Keesokan harinya, hujan reda. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan suara burung-burung yang tak lagi sering Dira dengar di kota. Ia berdiri di depan cermin tua, menyisir rambutnya perlahan, lalu mengambil jaket tipis dan sebuah payung—meski langit tampak cerah, ia tahu hujan di kota ini kadang datang tanpa tanda.

Langkahnya mantap menuju tempat yang dulu mereka sebut “warung biasa”—sebuah kedai kopi kecil di tikungan jalan dekat sekolah. Letaknya tersembunyi, di bawah pohon flamboyan besar, dengan bangku kayu yang dulu penuh coretan nama siswa-siswi SMA.

Saat Dira tiba di sana, warung itu ternyata... masih ada.

Meski catnya sudah pudar, dan papan namanya nyaris tak terbaca, ada rasa hangat yang langsung menyambut. Seolah waktu di sini berjalan lebih pelan, dan kenangan masih duduk di setiap sudutnya.

Dira melangkah masuk. Seorang wanita paruh baya berdiri di balik meja kasir, menyapanya dengan senyum ramah.

“Kamu... Dira, ya?”

Dira terkejut. “Iya... Ibu kenal saya?”

“Ibu Wati. Masih ingat? Dulu suka ngasih kamu dan Raka roti bakar gratis pas hujan-hujan.”

Dira tertawa pelan. “Iya, Bu... Masih ingat. Warung ini nggak berubah ya.”

“Iya, masih seperti dulu. Tapi Raka-nya yang berubah.”

Deg.

Dira diam. Ia ingin bertanya, tapi bibirnya ragu.

Bu Wati seolah bisa membaca pikirannya. “Raka masih sering ke sini. Tapi sekarang warung ini jarang rame. Anak-anak sekarang lebih suka kopi yang mahal-mahal itu, yang ada Wi-Fi.”

Dira tersenyum kecut. “Dia masih tinggal di sini?”

“Iya. Kerja di bengkel ayahnya, dekat lapangan bola.”

Setelah memesan kopi hitam panas, Dira duduk di bangku dekat jendela. Dari tempat itu, ia bisa melihat jalan yang dulu mereka lewati bersama, sambil tertawa, saling bercerita soal mimpi-mimpi masa depan.

Tiba-tiba pintu warung terbuka, dan seseorang masuk.

Langkah itu familiar. Bahunya yang lebar, postur tubuhnya, cara ia mendorong pintu dan menunduk sebentar—semua masih sama.

Raka.

Mata mereka bertemu.

Waktu berhenti.

Tak ada kata-kata yang langsung terucap, hanya diam panjang yang menumpuk oleh satu dekade yang terlewati tanpa kabar. Raka berdiri mematung, sementara Dira hanya bisa tersenyum kecil.

“Hai,” kata Dira akhirnya.

Raka menghela napas, lalu berjalan pelan ke arahnya.

“Kamu pulang juga, akhirnya.”

Bab 4: Jarak yang Tak Pernah Jauh

Mereka duduk di meja kayu yang sama, seperti dulu. Dua cangkir kopi mengepul di antara mereka, tapi tak satu pun dari mereka yang segera menyentuhnya. Hening menggantung, seperti benang tipis yang siap putus jika disentuh terlalu keras.

Dira akhirnya membuka suara. “Kupikir kamu nggak akan ke sini lagi.”

Raka menatap cangkirnya. “Entah kenapa, pagi ini rasanya pengin ke sini. Dan ternyata... kamu di sini.”

Ada senyum tipis di bibir Dira, tapi matanya menyimpan ribuan pertanyaan. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Dan banyak hal bisa berubah.

“Kamu kelihatan... beda,” kata Raka pelan.

“Lebih tua?” Dira mencoba bercanda, meski suaranya agak serak.

Raka tertawa kecil. “Lebih dewasa. Tapi... masih kamu.”

Dira menatap lelaki itu lekat-lekat. Masih ada Raka yang dulu, tapi sekarang ia membawa aura seseorang yang sudah melewati banyak hal. Wajahnya lebih tirus, matanya sedikit lebih redup, tapi sorotnya masih hangat seperti yang ia ingat.

“Kenapa kamu nggak pernah nyari aku?” tanya Dira tiba-tiba.

Pertanyaan itu menggantung di udara, menggetarkan ruang kecil itu.

Raka menunduk, mengusap belakang lehernya. “Aku nyari. Tapi kamu yang pergi tanpa pamit.”

Dira menggigit bibirnya. Ia tahu itu benar. Hari itu, sepuluh tahun lalu, ia memang pergi begitu saja. Dapat beasiswa ke luar kota, lalu sibuk kuliah, kerja, pindah-pindah... semua alasan logis, tapi tak pernah benar-benar menjelaskan kenapa ia tak pernah kembali—hingga sekarang.

“Aku takut,” aku Dira akhirnya. “Takut kalau pulang dan semuanya udah berubah. Takut kamu udah lupa.”

Raka menggeleng. “Aku nggak pernah lupa. Gimana bisa lupa orang yang dulu jadi alasanku berani bermimpi?”

Kata-kata itu menampar lembut, membuat dada Dira sesak.

“Tapi kamu nggak pernah nyusul aku.”

“Aku sempat ke Jakarta, dua kali. Tapi kamu nggak ada. Aku bahkan pernah berdiri di depan kantor tempat kamu kerja, tapi nggak berani masuk.”

Dira terdiam. Jarak selama ini ternyata bukan hanya soal kilometer, tapi soal keberanian untuk menghadapi hal-hal yang tidak selesai.

“Jadi sekarang kamu ke sini... untuk apa?” tanya Raka, serius.

Dira menatap matanya dalam-dalam.

“Aku ke sini... karena hatiku belum pernah benar-benar pergi.”

Dan untuk sesaat, tak ada lagi jarak. Hanya dua hati yang diam-diam masih saling menunggu, di balik tahun-tahun yang hilang.

Bab 5: Surat yang Tak Pernah Dikirim

Setelah pertemuan itu, langit seolah ikut merasakan hangatnya perjumpaan mereka. Sinar matahari sore menembus celah pohon flamboyan, menyinari meja kecil tempat Dira dan Raka berbincang selama hampir dua jam.

Namun tak semua hal bisa diungkap dalam sekali temu.

Dira berjalan pulang dengan hati penuh bunyi, seperti orkestra kenangan yang belum selesai dimainkan. Malam itu, setelah membersihkan debu dari kamar lamanya, ia membuka sebuah laci tua di meja belajar.

Di sana, tersimpan sesuatu yang hanya dia dan waktu yang tahu: sebuah kotak sepatu berisi surat-surat yang tak pernah dikirim.

Ia duduk di lantai, menarik napas panjang, lalu membuka salah satu amplop yang warnanya mulai menguning.


Jakarta, 12 November 2016

Raka...

Apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja di sana. Aku selalu ingin tahu, tapi terlalu takut untuk bertanya.

Malam ini, hujan turun lagi. Dan seperti biasa, aku ingat kamu. Dulu, setiap hujan turun, kamu selalu bilang itu pertanda bahwa kenangan sedang berkunjung. Tapi kenangan macam apa yang terus datang tanpa pernah pergi?

Aku ingin pulang. Tapi setiap kali niat itu muncul, aku seperti kembali dihadapkan pada luka yang belum sembuh. Bukan karena kamu menyakitiku. Tapi karena aku sendiri yang membiarkan semua ini mengambang.

Maaf, kalau aku pergi tanpa pamit. Aku terlalu takut kehilangan arah, jadi aku memilih diam. Tapi kalau suatu hari aku punya cukup keberanian, aku akan kembali. Dan mungkin saat itu... kamu masih di sana.

– Dira


Surat itu ditulis bertahun-tahun lalu, saat Dira masih sibuk mencari jati diri di tengah kota besar yang tak pernah benar-benar membuatnya merasa pulang.

Ia mengambil surat itu, dan beberapa lainnya. Ada yang isinya penuh air mata, ada yang penuh rindu, dan ada pula yang hanya satu kalimat: “Kamu masih di sana?”

Esoknya, ia kembali ke warung kopi.

Raka sudah di sana, duduk sambil menyeruput kopi dan membaca koran. Ia menoleh dan tersenyum saat melihat Dira.

“Aku bawa sesuatu,” kata Dira, lalu meletakkan setumpuk surat di meja.

Raka menatap surat-surat itu, lalu menatap Dira. “Ini...?”

“Surat-surat yang nggak pernah aku kirim. Tapi semuanya untuk kamu.”

Dengan tangan sedikit gemetar, Raka membuka amplop pertama. Ia membaca pelan, dan Dira hanya duduk diam, menunggu. Sesekali Raka menghela napas, kadang tersenyum, dan di beberapa bagian... matanya tampak berkaca-kaca.

Setelah membaca lima surat, ia berhenti. “Kamu tahu, aku juga nulis surat.”

Dira terkejut. “Serius?”

Raka mengangguk. “Tapi bukan di kertas. Di pikiranku. Setiap malam, sebelum tidur. Isinya hampir sama: ‘Apa kabar, Dir? Aku harap kamu bahagia. Tapi kalau kamu belum, kamu tahu jalan pulang.’”

Dira menunduk. Matanya panas, tapi ia tak menangis. Ini bukan tangis sedih. Ini tangis lega—karena akhirnya, semua yang dulu tertahan... kini mengalir.

Bab 6: Jalan yang Mungkin Sama

Sepekan berlalu sejak Dira menyerahkan surat-surat itu.

Hari-hari mereka mulai terisi ulang dengan pertemuan kecil. Kadang hanya duduk di warung kopi, kadang menyusuri jalan-jalan lama yang dulu mereka lewati tanpa berpikir bahwa suatu saat akan jadi kenangan.

Tapi kali ini, semuanya terasa... berbeda. Ada jarak yang telah dipangkas, tapi juga kenyataan yang harus mereka hadapi. Hidup telah berjalan. Luka telah membentuk mereka. Dunia tidak lagi sesederhana “kalau saling cinta, maka bersama.”

Sore itu, mereka duduk di lapangan belakang sekolah yang sudah jarang dipakai. Angin membawa suara nyanyian serangga dan gesekan dedaunan. Mereka duduk berdua di atas rumput yang mulai menguning.

“Aku kadang masih takut,” ucap Dira, menatap langit yang mulai berwarna jingga.

“Takut apa?”

“Takut kalau semua ini cuma nostalgia. Kalau kita sebenarnya cuma rindu pada masa lalu, bukan pada satu sama lain.”

Raka mengangguk pelan. Ia memetik sehelai rumput dan memainkannya di antara jari.

“Aku juga pernah mikir gitu. Tapi setelah baca surat-suratmu... aku sadar, perasaan ini bukan cuma sisa-sisa kenangan. Tapi sesuatu yang masih hidup. Sesuatu yang nunggu untuk diberi kesempatan.”

Dira menoleh padanya. “Lalu... kita ini apa sekarang, Rak?”

Raka terdiam sejenak. Lalu ia menatap Dira, dengan mata jujur yang sama seperti sepuluh tahun lalu.

“Kita ini... dua orang yang pernah hilang arah, tapi sekarang sedang lihat ke jalan yang mungkin... bisa sama lagi.”

Dira terdiam. Kata-kata itu bukan janji manis. Bukan dongeng romantis. Tapi sesuatu yang lebih nyata. Lebih dewasa.

“Maukah kamu jalan pelan-pelan lagi... bareng aku?” tanya Raka, suaranya nyaris seperti bisikan.

Dira mengangguk, perlahan, dengan senyum kecil.

“Mau. Tapi jangan buru-buru. Aku nggak lagi lari dari apa pun sekarang.”

Dan di bawah langit senja yang mulai temaram, mereka duduk berdampingan, tak perlu menggenggam tangan untuk tahu bahwa jarak di antara mereka kini sudah tak sejauh dulu.

Kadang, cinta tidak perlu dimulai dari awal. Cukup dari titik yang tertunda.

Bab 7: Hujan Terakhir di Bulan Agustus

Hujan turun lagi. Deras, tapi tidak menggila. Seperti tahu batas, seperti mengerti bahwa ada yang sedang mencoba menemukan arah di tengah masa lalu dan masa depan.

Hari itu, 30 Agustus, adalah hari terakhir Dira di kampung halaman—setidaknya sesuai rencana awalnya.

Ia sudah membeli tiket kereta untuk kembali ke Jakarta, tempat kerja, kontrakan, dan rutinitas yang menunggu. Tapi hatinya... belum ikut naik ke atas rel keputusan itu.

Pagi hari, Raka mengirim pesan:

“Nanti sore, ke warung ya. Ada sesuatu.”

Dira datang. Dengan jaket panjang dan payung kecil, ia melangkah masuk ke warung yang kini terasa seperti ruang kenangannya sendiri. Bu Wati menyambut dengan anggukan, dan menunjuk ke arah meja paling pojok, dekat jendela.

Di sana, Raka sudah menunggu. Di hadapannya ada dua cangkir kopi, dua potong roti bakar, dan... sebuah buku catatan kecil dengan sampul kulit cokelat tua.

“Apa ini?” tanya Dira sambil duduk.

“Baca aja,” kata Raka, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.

Dira membuka halaman pertama. Di sana tertulis:

“Surat-surat dari Raka — untuk Dira yang selalu aku tunggu.”

Tangannya sedikit gemetar saat membuka lembar berikutnya.


Halaman 2 – 17 Mei 2015

Dir,

Hari ini hujan. Dan aku masih ke warung ini. Bangku kita masih ada, tapi kosong. Aku duduk sendiri, meskipun kursi di depanku selalu terasa kamu masih di sana.


Halaman 9 – 2 Juli 2017

Kadang aku ingin marah. Tapi aku tahu, kamu punya alasan kenapa pergi. Aku cuma harap, kamu tetap hidup baik, makan cukup, tidur cukup. Dan kalau malam-malam kamu merasa sendiri, ingat: kamu nggak benar-benar sendiri.


Halaman 23 – 6 Februari 2020

Kalau suatu saat kamu kembali, dan kita sama-sama belum lupa caranya saling menatap, mungkin itu saatnya mulai lagi.


Dira menutup buku itu dengan perlahan. Matanya basah.

“Kenapa kamu nggak kirim semua ini?”

“Aku nunggu kamu pulang,” jawab Raka. “Aku tahu, kalau aku kirim semua itu, kamu bisa aja nggak pernah balik. Tapi kalau kamu balik... aku pengin kamu tahu semuanya langsung dariku.”

Hening. Hanya suara hujan yang menemani mereka.

Dira menarik napas panjang. “Aku belum tahu harus balik ke Jakarta atau nggak.”

“Kamu nggak harus buru-buru mutusin. Tapi satu hal yang pasti...” Raka menatap matanya dalam-dalam, “aku nggak akan ke mana-mana. Aku udah nunggu sepuluh tahun. Aku bisa nunggu sedikit lebih lama, asal kamu nggak hilang lagi.”

Dira tersenyum kecil. “Aku nggak akan hilang. Aku capek lari.”

Di luar, hujan perlahan mulai reda.

Mungkin... itu adalah hujan terakhir di bulan Agustus. Atau mungkin, awal dari musim yang baru—musim yang tak hanya tentang rindu, tapi tentang keberanian untuk tinggal.

Bab 8: Musim yang Baru

Hari-hari berikutnya tidak penuh dengan adegan dramatis atau janji manis. Justru sebaliknya—semuanya berjalan pelan, tenang, dan nyata. Seperti daun yang jatuh perlahan dari pohon, tanpa suara, tapi punya makna.

Dira memutuskan untuk memperpanjang masa tinggalnya. Tiket kereta ke Jakarta ia batalkan. Ia belum siap kembali, bukan karena takut, tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tahu: hatinya tak lagi berada di sana.

Ia mulai menemukan kembali versi lamanya yang dulu tertimbun oleh hiruk-pikuk kota. Ia kembali menulis. Setiap pagi duduk di beranda rumah, dengan secangkir teh dan buku catatan di pangkuan. Dan setiap sore, ia bertemu Raka—kadang di warung kopi, kadang hanya berjalan kaki menyusuri sawah belakang sekolah, berbicara soal hal-hal kecil, seperti mimpi baru dan kenangan yang tak lagi menyakitkan.

Suatu sore, saat angin mulai dingin menandakan awal musim hujan lagi, Raka mengajak Dira ke bengkel milik ayahnya.

“Ini tempat aku kerja sekarang,” katanya sambil tersenyum. “Nggak sehebat kantormu di Jakarta, tapi... di sinilah aku nemuin arti ‘cukup’.”

Dira melihat sekeliling. Bengkel itu sederhana, tapi bersih dan hangat. Beberapa anak magang menyapanya sopan. Ia bisa melihat bagaimana Raka menjadi sosok yang dihormati, bukan karena gelar atau jabatan, tapi karena ketulusan dan kerja kerasnya.

“Aku sempat berpikir, kamu bakal malu lihat tempat ini,” ucap Raka, setengah bercanda.

Dira menggeleng. “Tempat ini justru nunjukkin kamu nggak pernah berhenti jadi versi terbaik dari dirimu.”

Mereka duduk di bangku panjang dari kayu. Tak banyak kata, tapi ada ketenangan.

Lalu Raka berkata, “Aku nggak tahu hidup kita ke depan kayak apa. Tapi kalau kamu ngerasa kota ini cukup untuk jadi rumah... aku pengin kamu tahu, aku di sini. Nggak ke mana-mana.”

Dira tersenyum.

“Aku belum bisa janji soal selamanya, Rak. Tapi aku bisa janji satu hal: aku nggak akan ninggalin lagi tanpa pamit.”

Hujan mulai turun, rintik kecil seperti berkah dari langit.

Mereka berdiri di bawah atap bengkel, menatap hujan bersama—kali ini bukan sebagai simbol luka, tapi sebagai tanda bahwa sesuatu yang baru sedang tumbuh.

Musim telah berganti.

Dan cinta yang dulu nyaris jadi kenangan, kini mulai menumbuhkan akar.


📚 TAMAT – Buku 1: Merindukan Kisah Lama

"Kadang yang kita cari bukan cinta yang sempurna, tapi cinta yang tetap tinggal meski pernah tersesat."

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh