Rumah di Ujung Jalan

 Rumah di Ujung Jalan


Bab 1 – Rumah di Ujung Jalan

Malam itu, kabut turun lebih cepat dari biasanya. Jalan kecil menuju desa Sukamukti nyaris tak terlihat, seperti ditelan putih pekat yang dingin. Angin berhembus pelan, membawa bau lembap tanah dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—tajam, seperti besi berkarat.

Nadia merapatkan jaketnya sambil menatap ke arah rumah tua di ujung jalan. Rumah itu sudah lama kosong. Begitu kata orang-orang. Namun, setiap malam Jumat, jendela lantai duanya selalu terlihat terbuka, meski tak seorang pun tinggal di sana.

“Cuma cerita kampung, biar anak kecil nggak main jauh-jauh,” pikir Nadia dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia baru pindah dari kota sebulan lalu, dan rasa penasaran lebih besar daripada ketakutannya.

Lampu senter di tangannya bergetar. Bukan karena baterai lemah, melainkan karena tangannya sendiri yang gemetar. Nadia menelan ludah, lalu melangkah mendekati gerbang rumah tua itu.

Pagar besi berkarat berderit pelan saat disentuh. Suaranya seperti teriakan panjang di tengah malam sunyi. Ia berhenti, menunggu—seolah ada sesuatu yang akan menyahut dari dalam rumah. Namun, hanya angin yang menjawab, membawa bau anyir yang menusuk hidungnya.

Nadia melangkah masuk. Rumput liar merayap tinggi di halaman, menyentuh kakinya seperti jari-jari dingin. Sesekali terdengar bunyi kresek-kresek, entah dari tikus atau sesuatu yang lebih besar.

Di teras, pintu kayu lapuk itu terbuka sedikit, meninggalkan celah gelap. Saat ia mendorongnya perlahan, engsel pintu berdecit panjang. Udara dingin menyeruak dari dalam rumah, seperti ruangan yang sudah lama tak bernapas.

Di ruang tamu, perabotan tua masih tersisa. Sofa yang robek, lemari berlapis debu, dan foto keluarga yang tergantung miring di dinding. Wajah-wajah dalam foto itu terlihat kabur, warnanya pudar, namun matanya… matanya seolah mengikuti gerakannya.

Nadia menghela napas pendek. “Hanya bayangan, Nad… cuma bayangan,” bisiknya.

Tapi lalu, dari lantai atas, terdengar suara langkah.

Duk… duk… duk…
Pelan. Berat. Teratur.

Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu rumah ini harusnya kosong. Namun suara itu jelas nyata, menuruni tangga satu per satu.

Senter di tangannya tiba-tiba berkedip, lalu padam. Gelap total.

Dalam kegelapan, suara langkah berhenti. Sunyi.

Sampai akhirnya, sebuah suara berbisik tepat di telinganya:

“Kamu datang juga.”

Bab 2 – Bisikan di Tangga

Nadia membeku. Tenggorokannya kering, seakan semua air ludah lenyap dalam sekejap. Suara itu begitu dekat, padahal ia tak merasakan ada siapa pun di sekitarnya.

Dengan tangan gemetar, ia memukul-mukul senter agar kembali menyala. Sekejap cahaya muncul, bergetar, lalu stabil.

Kosong.

Tangga tua di hadapannya hanya dipenuhi debu tebal. Udara diam, namun dinginnya menusuk sampai ke tulang.

“Siapa di sana?!” Nadia mencoba bersuara, meski nadanya terdengar rapuh.
Tidak ada jawaban. Hanya suara kayu yang berdetak pelan, seakan rumah itu bernapas.

Ia melangkah mundur, ingin segera keluar, tapi matanya menangkap sesuatu di dinding dekat tangga. Coretan-coretan samar, seperti ditulis dengan kuku. Nadia mendekat, menyinari dengan senter.

Tulisan itu terbaca jelas:

“Jangan naik.”

Nadia terdiam. Tulisan itu baru. Garis-garis kayunya masih kasar, serpihan kecil jatuh ke lantai. Itu bukan coretan lama.

Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara lain terdengar. Dari atas tangga.
Bukan langkah kaki. Bukan bisikan.

Tapi suara seperti… sesuatu diseret. Berat, bergesekan dengan kayu. Sraaak… sraaak… sraaak…

Bulu kuduk Nadia berdiri. Senter di tangannya lagi-lagi berkedip. Dan saat cahayanya jatuh ke ujung tangga paling atas, ia melihat…

Sebuah kaki.
Pucat. Kaku. Menjulur dari kegelapan.

Lalu perlahan-lahan, tubuh itu terguling jatuh menuruni tangga, menghantam anak tangga satu per satu dengan suara menyakitkan.
Duk!
Duk!
Duk!

Nadia menjerit dan mundur cepat. Tapi saat tubuh itu berhenti di dasar tangga, ia melihat wajahnya.

Wajah seorang wanita muda, pucat pasi, dengan mata terbuka lebar menatap kosong ke arah Nadia. Bibirnya robek seolah memaksa untuk tersenyum.

Dan lebih mengerikan lagi—wajah itu… mirip sekali dengan wajahnya sendiri.

Nadia terhuyung, hampir menjatuhkan senter. Jantungnya seperti diperas, tubuhnya dingin, tetapi pandangannya terkunci pada sosok itu.

Wanita itu menggerakkan bibirnya. Tidak ada suara, hanya gerakan mulut yang membentuk kata-kata.

“Pergi… sebelum terlambat.”

Lalu, tubuhnya menghitam, meleleh, dan lenyap begitu saja.

Senter di tangan Nadia padam untuk ketiga kalinya. Kali ini gelap benar-benar pekat.

Dan di tengah kegelapan itu, tangga kayu berderit lagi. Langkah kaki turun. Perlahan. Satu per satu. Tapi kali ini, bukan hanya satu orang.

Seperti… banyak sekali.

Bab 3 – Suara dari Dinding

Langkah-langkah itu semakin dekat. Berat. Tidak terburu-buru, tapi penuh kepastian.

Nadia menahan napas. Dalam kegelapan total, ia hanya bisa mengandalkan pendengarannya. Kayu lantai berderit setiap kali diinjak sesuatu yang tak terlihat.

Duk… duk…
Duk… duk…

Lalu berhenti. Tepat di depannya.

Hening panjang merayap.

Nadia menggenggam erat senter yang sudah mati, seolah benda itu bisa melindunginya. Ia mencoba bergerak mundur, tapi tiba-tiba… dinding di sebelahnya bergetar.

“...tolong…”

Suara itu lirih, serak, berasal dari balik dinding. Seperti ada seseorang yang terperangkap di dalamnya.

“...lepaskan aku… jangan biarkan mereka turun…”

Nadia membeku. Jantungnya berdentam keras di telinganya sendiri. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu.

Tiba-tiba, lampu senternya menyala sendiri. Cahaya itu menyorot lurus ke arah dinding, menampakkan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan.

Bekas goresan kuku. Ratusan. Menyilang ke segala arah. Dan di sela-sela retakan kayu, ada jari tangan pucat mencoba keluar, bergerak-gerak lemah.

“...jangan biarkan mereka keluar…”

Jari itu mendadak terpelintir sendiri, patah dengan bunyi krek! yang membuat perut Nadia mual. Darah hitam merembes keluar dari celah papan.

Lalu terdengar tawa.

Tawa perempuan. Namun anehnya, suara itu datang dari arah foto keluarga di ruang tamu.

Nadia menoleh cepat. Foto yang tadi buram kini terlihat jelas. Wajah-wajah dalam foto itu menatapnya lurus, dengan senyum lebar yang tidak alami. Gigi mereka terlalu banyak, matanya terlalu hitam.

Dan di tengah keluarga itu, ia melihat dirinya sendiri.
Berdiri di antara mereka.
Tersenyum.

Cahaya senter kembali berkedip, dan saat stabil lagi, tangga yang kosong tadi kini penuh. Penuh dengan sosok-sosok pucat, berdiri diam, menunduk. Tubuh mereka kaku, kulitnya membiru, seolah sudah lama mati.

Salah satu di antaranya mengangkat kepala. Lehernya berderak keras, tapi matanya menatap lurus pada Nadia.

“Sudah waktunya kau tinggal bersama kami.”

Bab 4 – Bayangan di Balik Jendela

Nadia berlari. Nafasnya tersengal, tubuhnya seakan tak lagi mengikuti perintah. Ia menabrak pintu tua itu dengan bahu, tapi pintu seakan mengunci sendiri.
Berulang kali ia menghantam, berteriak, memohon agar bisa keluar, tapi pintu itu tidak bergerak sedikit pun.

Di belakangnya, suara langkah-langkah itu masih terdengar. Bukan hanya dari tangga, tapi juga dari lorong, dari dinding, dari langit-langit. Seakan seluruh rumah itu hidup, dipenuhi makhluk-makhluk yang tak terlihat.

“Keluar… aku harus keluar…” gumam Nadia, hampir menangis.

Lalu, sesuatu membuatnya terpaku.
Jendela di samping ruang tamu, yang sejak tadi tertutup rapat, kini terbuka sedikit. Tirainya berkibar, memperlihatkan bayangan seseorang berdiri di luar.

Seorang lelaki tua. Ia mengenakan sarung kumal dan peci hitam, wajahnya dipenuhi keriput. Sorot matanya tajam menembus kaca.
Dan yang membuat Nadia terperanjat—lelaki itu memberi isyarat dengan tangan, menyuruhnya… diam.

Nadia tak berani bergerak.

Sosok-sosok pucat yang tadi memenuhi tangga kini berhenti. Kepala mereka menunduk, seakan menunggu perintah. Lalu serentak, mereka menoleh ke arah jendela.

Namun begitu tatapan mereka menyentuh lelaki tua itu, semuanya lenyap. Hilang begitu saja, seperti asap tersapu angin.

Pintu depan berderit terbuka sendiri.

Tanpa pikir panjang, Nadia berlari keluar. Udara malam yang dingin menusuk paru-parunya, tapi ia tak peduli. Ia hanya terus berlari, sampai akhirnya lututnya lemas, jatuh tersungkur di tanah berumput.

Lelaki tua tadi berdiri beberapa meter darinya. Tenang, seolah sudah menunggunya.

“Tidak semua orang bisa keluar dari sana dengan selamat,” ucapnya lirih.
Suara itu serak, dalam, dan membawa beban yang berat.

Nadia berusaha bangkit. “Pak… rumah itu… siapa mereka?! Apa yang terjadi di sana?!”

Lelaki tua itu menatap ke arah rumah di ujung jalan. Jendela lantai duanya kini terbuka lebar, meski angin tidak bertiup. Dari dalam, seolah ada sesuatu yang menatap balik.

“Rumah itu bukan kosong,” katanya pelan. “Itu tempat bagi mereka yang pernah dikorbankan. Dan kalau kau sudah melihat wajahmu sendiri di dalam… berarti mereka sudah menandaimu.”

Wajah Nadia memucat.

Lelaki tua itu menunduk, berbisik hampir tak terdengar:

“Kalau kau masih ingin hidup… jangan pernah kembali ke sana. Jangan pernah.”

Namun saat ia mengangkat wajahnya kembali… lelaki tua itu sudah tidak ada. Hanya kabut tebal yang menyelimuti jalan.

Dari kejauhan, terdengar suara pintu rumah itu menutup pelan.

“Kreeeek…”

Seolah menunggu kedatangannya lagi.

Bab 5 – Mereka Mengikuti

Sejak malam itu, Nadia tidak pernah bisa tidur nyenyak lagi.
Setiap ia memejamkan mata, bayangan wajah pucat itu muncul—wajahnya sendiri, dengan senyum mengerikan dan mata kosong yang menatap dari kegelapan.

Hari-hari di desa Sukamukti pun berubah. Ia mulai menyadari hal-hal kecil yang tidak wajar.
Pagi hari, jendela kamarnya selalu terbuka, meski ia ingat jelas sudah menguncinya.
Di cermin, terkadang bayangan yang memantul tidak bergerak bersamaan dengannya.
Dan setiap malam Jumat, tepat pukul dua belas, terdengar suara langkah berat di teras rumah kontrakannya.

Duk… duk… duk…
Tiga ketukan. Selalu tiga.

Tetapi ketika ia membuka pintu, tidak pernah ada siapa pun. Hanya kabut yang semakin lama semakin tebal.


Suatu sore, Nadia memberanikan diri untuk bertanya pada tetangga sebelah rumahnya, seorang ibu paruh baya bernama Bu Ratna.
“Ibu, maaf… rumah tua di ujung jalan itu, kenapa dibiarkan begitu saja?”

Bu Ratna langsung menatapnya tajam, wajahnya berubah pucat.
“Kamu… kamu sudah ke sana?”

Nadia tercekat. “Cuma sebentar, Bu. Saya—”

“Astaga… Nak!” Bu Ratna langsung menggenggam tangannya erat. “Kenapa kamu lakukan itu?! Rumah itu bukan tempat orang hidup. Itu… itu rumah bekas ritual. Mereka yang mati di sana… tidak bisa pergi dengan tenang. Dan siapa pun yang masuk tanpa izin, akan dianggap bagian dari mereka.”

Tubuh Nadia melemas. Kata-kata lelaki tua malam itu kini terasa semakin nyata.
“Mereka sudah menandaimu…”


Malamnya, Nadia tidak berani tidur. Ia duduk di lantai, lampu kamar dibiarkan menyala terang.
Namun meski begitu, suara itu tetap datang.

Duk… duk… duk…
Tiga ketukan di pintu.

Nadia menggenggam ponselnya, menahan napas. Tapi kali ini berbeda. Setelah ketukan berhenti, terdengar sesuatu merayap di dinding luar rumahnya. Suara kuku menggores pelan, melingkar, mengitari rumah seperti sedang menandai wilayah.

Ia memberanikan diri mengintip lewat jendela.
Dan di sana, di balik kabut, ia melihat sosok-sosok pucat itu lagi.
Berderet. Diam. Menatap lurus ke arahnya.

Namun ada satu yang berbeda.
Di barisan paling depan, berdiri sosok perempuan dengan wajah yang identik dengan wajahnya. Sama persis—hanya lebih pucat, lebih kaku, lebih menyeramkan.

Dan kali ini, bibir sosok itu benar-benar bergerak, mengucapkan kata-kata tanpa suara.
Tapi Nadia bisa membacanya dengan jelas.

“Giliranmu sekarang.”

Lampu kamar mendadak padam.

Gelap total.

Bab 6 – Wajahku yang Lain

Gelap. Sepenuhnya.
Nadia tidak bisa melihat apa pun, tapi ia merasakan kehadiran mereka di sekeliling kamar. Sosok-sosok pucat itu, menempel di dinding, di lantai, di langit-langit—semua diam, tapi menimbulkan tekanan yang membuat dada Nadia sesak.

“Ini… ini tidak nyata… ini mimpi…” gumamnya, suaranya bergetar.

Namun kemudian, sebuah tangan dingin menyentuh bahunya.
Nadia menjerit dan berbalik, tapi tidak ada siapa pun di sana.
Tetapi bayangan di cermin tepat di depannya bergerak.

Bayangan itu… bukan dirinya.
Wajah itu sama persis dengan wajah Nadia, tapi mata kosongnya menatap dengan kebencian. Bibirnya tersenyum, memajukan kepala seperti ingin keluar dari cermin.

“Sudah waktunya kau bergabung…” bisik bayangan itu, suaranya seperti bergaung di seluruh kamar.

Nadia mundur, tersandung ke lantai, dan ponselnya jatuh. Cahaya layar menyala sebentar, menyorot wajahnya sendiri—dan di sudut layar, ada wajah itu menatap, menempel, menyalin setiap gerakannya.

Tubuh Nadia gemetar. Ia mencoba lari, tapi terasa seakan lantai tidak lagi menopang kakinya. Setiap langkah terasa berat, seperti ditarik ke bawah oleh sesuatu yang tidak terlihat.

Bayangan itu kini keluar dari cermin. Tidak secara fisik, tapi seperti bayangan hitam melayang di udara, mengikuti setiap gerakan Nadia.
Sosok itu menempel semakin dekat. Bau anyir darah dan tanah lembap menyeruak ke hidungnya, membuat kepala Nadia pusing.

“Pergi… atau kau akan menjadi seperti kami!” teriak Nadia, hampir menangis.

Bayangan itu berhenti. Hening sesaat.
Kemudian, perlahan, bibirnya bergerak lagi:

“Tidak ada jalan keluar…”

Nadia menutup mata, bertekad. Ia meraih senter yang tadi jatuh, dan menyalakannya.
Cahaya senter memotong kegelapan, dan bayangan itu tersentak, menjerit tanpa suara. Sosok itu memudar sejenak, tapi matanya tetap menempel, menatap, menandai.

Nadia sadar satu hal: ia tidak hanya harus melarikan diri dari rumah itu, tapi dari bayangan dirinya sendiri.
Jika bayangan itu menang, ia tidak akan pernah kembali.

Dan saat Nadia berlari ke arah pintu kamar… suara langkah di luar terdengar lagi. Lebih banyak. Lebih dekat.

Mereka kembali.

Bab 7 – Ritual Terakhir

Nadia berjalan pelan ke arah jalan desa, hati berdebar kencang. Ia tahu hanya satu cara agar bayangan itu tidak menelan hidupnya: mengikuti petunjuk lelaki tua.

Di sebuah pohon tua dekat jembatan, lelaki tua itu muncul lagi. Wajahnya suram, tangannya memegang sebuah kotak kayu kecil berisi sesajen dan lilin.

“Kau tidak boleh takut. Tapi ingat, ini bukan main-main,” katanya. “Ritual ini akan memanggil mereka—mereka yang menunggu di rumah itu. Kau harus berdiri tegak, menghadapi bayanganmu, dan tidak lari. Sekali kau mundur, kau akan hilang selamanya.”

Nadia menelan ludah. Ia menggenggam senter di tangan, dan mengikuti lelaki tua itu kembali ke rumah tua di ujung jalan.

Sesampainya di depan rumah, kabut malam menebal. Pintu terbuka sendiri, seperti menunggu.

“Mulai ritual sekarang!” lelaki tua itu memerintahkan.

Nadia menyalakan lilin-lilin di ruang tengah, mengelilinginya. Aroma dupa dan tanah lembap memenuhi udara. Sosok-sosok pucat muncul, berdiri melingkar di sekelilingnya, menatap lurus.

Dan di tengah cahaya lilin, bayangan itu muncul. Sosok Nadia yang lain, dengan mata kosong dan senyum menyeramkan.

“Kau tidak bisa menghalangiku,” bisik bayangan itu. “Aku adalah dirimu yang sebenarnya.”

Nadia menutup mata, menarik napas dalam, dan berkata keras:
“Aku adalah aku! Aku yang memilih hidupku sendiri!”

Ia menyalakan senter, menyinari bayangan itu langsung. Cahaya putih menembus gelap, membuat bayangan menjerit, tubuhnya bergetar, meleleh seperti asap hitam.

Sosok itu mencoba menyerang, tapi Nadia tetap berdiri tegak. Lelaki tua membimbingnya, membaca mantra tua yang terukir di kotak kayu. Lilin-lilin berkedip semakin terang.

Bayangan itu menjerit sekali lagi, memudar perlahan, dan akhirnya hilang.

Sosok-sosok pucat lainnya ikut menghilang, meninggalkan kesunyian yang berat. Rumah tua itu terlihat kosong, tapi aura gelapnya masih ada, menunggu pengunjung berikutnya.


Bab 8 – Kehidupan Baru

Nadia jatuh terduduk di halaman rumah. Napasnya tersengal, tubuhnya lelah, tapi hatinya lega. Ia menatap rumah itu satu kali terakhir.

Lelaki tua itu berdiri di sampingnya. “Kau selamat. Tapi ingat, beberapa hal tidak bisa diubah. Rumah itu tetap… rumah mereka. Jangan pernah kembali.”

Nadia mengangguk, menahan air mata. Ia berjalan pulang ke desa, kali ini dengan langkah mantap. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia bisa tidur tanpa terbangun oleh bayangan dirinya.

Namun ketika ia melihat cermin di rumah barunya… bayangan itu tersenyum samar, hanya sesaat, sebelum lenyap.
Nadia menelan napas. Ia tahu, hidupnya selamat… tapi rumah tua itu akan selalu menjadi bayangan dalam hidupnya.

Dan di ujung jalan desa, rumah itu tetap berdiri, gelap, diam… menunggu.

Selesai.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh